Rabu, 30 Mei 2012

Kemabruran Haji

Aji Setiawan
Kesempatan emas menjadi tamu Allah SWT haruslah dijalankan dengan kesungguhan . “Barang siapa mengerjakan haji kemudian ia tidka berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia kembali bersih  seperti saat dilahirkan ibunya. (HR Bukhari dan Muslim).
Beberapa hari ini kita mulai menyaksikan saudara-saudara kita yang super sibuk mempersiapkan diri untuk memenuhi panggilan  ilahi. Tentunya ibadah yang satu ini bukanlah ibadah yang mudah dan ringan untuk dilakukan . Untuk bisa melaksanakannya tidak hanya dibutuhkan kemampuan secara fisik, tapi juga materi. Berbeda dengan ritual keagamaan lainnya. Dalam ibadah yang satu ini tergabung dua  unsur sekaligus yaitu unsur Badaniyyah (fisik) dan unsur maliyah (materi). Yang merupakan bagian dari syarat istitho’ah. Kemampuan untuk melaksanakannya.
Apa sebenaranya yang dicari oleh mereka yang menunaikan ibadah ya rupiah dikurs mata uang Saudi Arabia yang sekitar 2800 real (3500 U$) atau dalam mata uang rupiah (konon sekarang sekitar 30 juta lebih). Belum lagi mereka harus mengeluarkan biaya tasyakuran , pamit-pamit kepada tetangga serta nantinya akan menentang baang bawaan yang tidak sedikit.
Betapa capeknya mereka sejak keluar dari rumah –rumah hingga berjejal-jelal di pos--pos pemberangatan dan embarkasi. tentu saja hal itu bukan untuk sekedar plesiran atau berwisata. Dan yang pasti mereka tidak ingin semua kepayahan itu akan sia-sia..
Kita tidak hendak mencoba untuk menjadi penatar “manasik haji”, karena calon  jammaah haji (calhaj) sudah kenyang dengan kurikulum manasik yang dari dulu tidak pernah berubah. Coba kita gali bersama lebih dalam lagi . Sebenarnya apa sih esensi ibadah haji yang suci dan ada dampak positif yang bisa didapatkan dan apa dampak positif yang bisa didapatkan darinya.Hal ini akan mengarahkan manusia pada satu titik dimensi spiritual yang merupakan tujuan utama ibadah haji yang dilakukan oleh kaum muslimin.
Kita juga berkhusnudon  (positif thingking) bahwa motivasi mereka menunaikan ibadah itu ingin memperoleh predikat “Haji Mabrur”  yang akan menghantarkan mereka menuju kebahagiaan dan kemuliaan dunia dan akhirat. Sayangnya, tidak semua orang orang yang pergi ke Mekkah itu bisa menyandang predikat mulia. Setelahnya mereka tidak canggung lagi mengenakan peci putih,  dan sorban atau kerudung yang disimbolkan bahwa nereka telah melaksanakan ibadah haji.
“Hajun Mabrur” merupakan pangkat yang mahal. Saking mahalnya Rasulullah SAW bersabda ‘”al-hajju mabruru laisa lahu jazaan illal Janah,” Haji yang mabrur itu tiada balasanya tiada lain Surga. Sudha barang tentu untuk mencapai reward  (penghargaan) rabbani itu tiada cukup dengan persiapan lahiriyah saja tapi juga pemahaman dan penghayatan intensif akan ruh dan hakekat berhaji. Sehingga kita bisa menikmati energi positifnya.
Intinya dalam setap ibadah kita dalam beribadah kita harus memahami apa yang menjadi tujuan kita diperintah auntuk mengamalkannya. Hal ini perlu agar kita tidak terjebak hanya dalam ritual belaka, tanpa ada nya interaksi  fungsional antara ibadah formal  dengan sepak terjang kehidupan konkritnya. Sebab,  agama bukan hanya untuk ritus-ritus dan simbol-simbol. Ritus dan simbol-simbol. Ritus dan simbol itu adalah ungkapan ungkapan budaya atas ruhani muatan agama.
Dalam konteks riwayat hadist tentang kemabrurah Haji , Nabi SAW ditanya oleh seorang sahabat,”wama birul hajj ya Rasululloh SAW ? Apa sebenarnya kebaikan haji  itu wahai Rasul Alloh?”
Beliau Rasulullah SAW bukannya menjawab dengan menyebut ritual –ritualnya,seperti Thawaf, Sa’i, Wuquf di Arofah , Tahalull,dan lain sebagainya. Nabi SAW malah menjawab ada tiga hal kebaikan haji yang lebih banyak berkaitan dengan hubungan baik sesama jama’ah atau bisa juga kita artikan tiga hal ini sebagai haji mabrur.
Pertama, Tiybul kalam (ucapan yang baik). Kedua, it’amut tho’am (memberi makan, loman) dan ketiga : Ifsyaus Salam (menebarkan salam. Dari ketiga hal ini , kita dapat memahami ternyata seorang yang mabrur hajinya tidak hanya memilki kekhuyu’an yang total kepada Allah SWT. Tapi dia juga mampu mengontrol lisannya untuk berkata kecuali hal-hal yang baik , memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama ,  sekaligus senantiasa menebarkan salam yang juga berarti kedamaian yang pasif juga kedamaian aktif.
Imam al-Hasan r.a pernah ditanya apakah sebenarnya haji Mabrur? Jawabnya yaitu jika engkau telah pulang , kamu menjadi orang  yang  yang zahid (Tidak terbelenggu dalam cinta dunia) dan bersemangat untuk mencapai kebahagiaan abadi di akhirat. (Zuhud) tidak berarti anti materi , tapi kesanggupan rohani untuk mengalahkan ambisi pribadi, keserakahan kepemilikan benda, serta kebanggaan eksistensial. Hal tersebut di atas. Hal tersebut di atas memberikan gambaran yang konkret kepada kita, betapa pentingnya memahami filosofi “ruh ibadah haji” agar kita mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga saja kaum muslimin yang saat ini sedang menjadi duta Allah SWT akan  pulang kembali ke tanah
airnya dengan membawa , ”wa hajjun mabrur, wa sa’yun masykur wa dzanbun magfur wa tijarotun lan tabur. Selamat jalan wahai para tamu Allah dengan semangat talbiyah yang senantiasa mengiringi mu “Labaik Allohuma Labbaik.”  Hamba datang memenuhi panggilan Mu ya Alloh Jalajalluhhu warohmatuhu, hamba datang memenuhi panggilan-Mu.

Tidak ada komentar: