Selasa, 20 Desember 2011

Sufi : Asy-Syaikh Abdul Malik


Sesepuh Mursyid Naqsabandiyah Khalidiyah Tanah Jawa


Ia adalah sosok ulama yang cukup di segani di Banyumas Jawa Tengah.Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Sang ayah adalah KH Muhammad Ilyas bin H Aly Dipowongso. Syaikh Muhammad Ilyas trukah berdakwah di wilayah eks Karsidenan Banumas di mulai dari grumbul Kedungparuk sekembalinya dari menuntut ilmu selama puluhan tahun di Mekkah. Guru Ilyas demikian nama yang lebih dikenal dilahirkan di Kedung Paruk sekitar tahun 1186 H/1765 M dari seorang ibu bernama Siti Zaenab binti Maseh bin KH Abdussamad (Mbah Jombor). Guru Ilyas mulai menyebarkan luaskan thariqah naqsabandiyah khalidiyah sesuai tugas dan amanah gurunya yakni Syaikh Sulaiman Zuhdi Al Makki sekitar tahun 1246 H/1825 M pada usia 60 tahun.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, Dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Konon beliau mengamalkan lebih dari 12 thariqah,hanya yang diturunkan paling tidak 4 thariqah yaitu naqsyabandi al-khalidi, syadziliyah, qairiyah naqsyabandiyah dan alawiyah. Di samping memberikan pelajaran tentang ilmu tashawuf (Thariqah), beliau juga mengembangkan ilmu al-qur’an (tahfidul-qur’an dan qira;ah sab’ah). Tidak sedikit para hafidh dan qari’ datang kepada beliau untuk mengambil ilmu al-qur’an atau sekedar tabarukan.

Mbah Malik tidak meninggalkan harta ataupun karya tulis, namun karya agung beliau adalah karya yang dapat berjalan yaitu murid-murid beliau yang kini menjadi tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kiyai, rijalul qaum (tokoh panutan) seperti diuangkapkan oleh al ‘alaamah al-mursyid al-habib Muhammad Luthfi bin Hasyim bin Aly bin Yahya.

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

atu hal yang sering diungkapkan dalam berbagai kesempatan oleh murid kesayangan Mbah Malik yakni Habib Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya (Pekalongan) bahwa beliau memiliki ratusan guru ruhani, tapi yang “kemantil-kantil” di pelupuk mata beliau adalah Mbah Malik.

Tiga hal yang diwasiatkan kepada penerus Mbah Malik yaitu; jangan tinggalkan shalat, jangan tinggalkan al-qur’an dan jangan tinggalkan shalawat. Disamping itu dalam berbagai kesempatan Mbah Malik sering menyampaikan pesan-pesannya kepada murid-murid dan cucu-cucu beliau untuk melakukan dua hal, yaitu pertama agar selalu membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan kedua agar sellau mencintai serta menghormati dzuriyyah (cucu-cucu ) Rasulullah SAW.

Penerus Mbah Malik

Mbah Malik adalah guru besar Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan As-Syadziliyah Indonesia. Silsilah kemursyidan diserahkan kepada murid kesayangan beliau (Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya dan cucu beliau Abdul Qadir bin Lyas Noor).

Kalau kepadasang cucu hanya kemursyidan thariqah An-Naqsabandiyah al-Khalidiyahnya saja, namun kemursyidan kedua thariqah besar tersebut (Naqsyabandi dan Syadzili) diserahkan kepada muridnya yakni Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya.

Mbah Malik menurunkan seorang anak laki-laki dari Nyai Siti Warsiti yang lebih dikenal Mbah Johar (putri syaikh Abubakar bin H Yahya, kaliwedi, guru mbah Malik) yakni Ahmad Busyairi, namun meninggall dalam usia 36 tahun (1953). Sedang dari mBah Mrenek Maos Cilacap, tidak dikaruniai anak. Dari perkawainannya dengan Nyai Siti Hasanah putri H Abdul Khalil (Kedung Paruk), ia menurunkan seorang putri yaitu Nyai Khairiyah. Sang putri tunggal ini Nyai Khairiyah menurunkan sembilan anak. Dengan Kyai Anshor Sokaraja, satu orang putri yaitu Hj Siti Fauziyah dan dariKyai Ilyas Noor, delapan anak tiga laki-laki dan lima perempuan yaitu Hj Siti Faridah, KH Abdul Qadir, Siti Fatimah, Siti Rogayah, KH Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor , Hj Isti Rochati dan Nurul Mu’minah.

Tiga penerus Mbah Malik yang meneruskan amaliah Mbah Malik masing-masing yakni pertama, KH Abdul Qadir bin KH Ilyas Noor Subtil Malik lahir di Kedung Paruk 11 Oktober 1942 wafat pada hari Selasa 19 Maret 2002 (5 Muharam 1423 H dalamusia 60 tahun) dan dimakamkan dibelakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-uf-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 22 tahun (1980-2002).

Penerus kedua yakni yakni KH Sa’id bin KH Ilyas Noor Subtil Malik lahir diKedung Paruk pada tanggal 15 April 1951 wafat pada hari kamis tanggal 3 Juli 2004 dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-uf-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 2 tahun (2002-2004). Selepas itu kemursyidan thariqah dari tahun 2004 sampai sekarang dipegang oleh KH Muhammad bin KH Ilyas Noor Subtil Malik.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) pada usia 99 tahun dan dimakamkan di belakang masjid Bahaaul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien, Kedung Paruk Purwokerto Banyumas dan memangku kemursyidan selama 68 tahun (1912-1980). (*)Aji Setiawan


KCP Bank Mandiri Purbalingga a/n Aji Setiawan No rek : 139-00-1091517-5

http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/syaikh-abdul-malik-sesepuh-mursyid-naqsabandiyah-khalidiyah-tanah-jawa.sufi

Kearifan Rasulullah SAW

Sabtu, 17 Desember 2011 pukul 08:25:00
Kearifan Rasulullah SAW

Oleh Aji Setiawan

Suatu hari kaum Muhajirin dan Anshar mendatangi Nabi Muhammad SAW di rumahnya. Setelah mereka masuk dan duduk di majelis, Rasulullah mempersilakan mereka mengutarakan maksud kedatangannya.

"Ya Rasulullah, tuan tentu memerlukan barang-barang untuk nafkah dan kebutuhan pribadi, juga untuk menjamu para utusan yang datang menghadap tuan. Ambillah harta kekayaan kami dan pergunakanlah menurut kemauan tuan, atau simpanlah jika Rasul ingin menyimpannya," kata salah seorang sahabat.

Mendengar itu, Rasulullah SAW dengan wajahnya yang putih bersih menyampaikan kepada para sahabatnya tentang wahyu yang baru saja diterimanya melalui Malaikat Jibril AS. "Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah apa pun kepada kalian atas (dakwah yang kusampaikan) selain agar kalian berkasih sayang kepada kerabatku." (QS asy-Syuura: 23).

Kemudian, mereka mendengarkan dakwah Rasulullah SAW. Dan, saat pulang dari majelis tersebut, beberapa sahabat saling berbincang-bincang. "Yang membuat Rasulullah SAW tidak mau menerima tawaran itu ialah karena beliau hendak mendesak supaya kita mencintai kerabatnya setelah beliau wafat." "Jangan berprasangka begitu, wahai sahabatku," kata yang lain, karena menganggap itu sebagai fitnah.

Tak berapa lama, Rasul SAW menerima wahyu surah asy-Syuura ayat 24. Ayat tersebut menerangkan supaya umat Islam tidak terjebak dalam perbuatan fitnah. "Bahkan, mereka mengatakan, 'Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah.' Maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu, dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Alquran). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati."

Setelah wahyu diterima, Rasul langsung menemui seorang sahabat dan menanyakan berita bohong yang beredar. Kemudian, beberapa orang di antara rombongan datang menghadap Rasulullah SAW. "Ada beberapa orang di antara kami yang berkata kasar dan kami sendiri tidak menyukainya."

Rasul SAW lalu membacakan Alquran surah asy-Syura ayat 24 kepada para sahabat yang hadir. Setelah mendengar wahyu itu, para sahabat pun menangis dan menyesali semua fitnah yang mereka lontarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Rasul pun memaafkan mereka. Beliau lalu membacakan ayat ke-25 surah asy-Syuura. "Dan Dia (Allah SWT) yang berkenan menerima taubat dari hamba-hamaba-Nya, mengampuni mereka atas kesalahan-kesalahan mereka, dan Dia mengetahui apa-apa yang kalian perbuat."

Setelah mendengar kalam Ilahi itu, para sahabat bersalaman dan saling berangkulan dengan Rasululah SAW. Kemudian, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan lapang. Itulah salah satu kemuliaan Rasulullah SAW yang begitu pemaaf terhadap siapa saja yang memfitnahnya. (HR Imam Ahmad bin Hambal, Tabrani, dan Hakim dari Ibnu Abbas).

Betapa mulianya akhlak Rasulullah SAW. Beliau memberikan teladan kepada umatnya dalam menyelesaikan setiap permasalahan. "Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS al-Ahzab [33]: 21).

http://koran.republika.co.id/koran/0/150190/Kearifan_Rasulullah_SAW

Minggu, 06 November 2011

NU dalam Persiapan dan Setelah Kemerdekaan Indonesia



NU dalam Persiapan dan Setelah Kemerdekaan Indonesia


Keterlibatan NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik terus berlanjut ketika Jepang datang menggantikan penjajah Belanda pada tahun 1942.


Penguasa Jepang sejak awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin Islam, ketimbang pemimpin tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondongan ini terjadi karena Jepang menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan pendidikan masyarakat pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imbalannya para pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang yang seperti itu tidak diabaikan oleh NU.

Alasannya bukan karena mau dijadikan sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan kesempatan untuk mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika Jepang membentuk kantor urusan agama (shumubu) yang membentuk jaringan langsung para kyai pedesaan dan memberi pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olah raga senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai tunduk pada Jepang tetapi sebaliknya, terjadi politisasi di kalangan kyai.

Siasat yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang. K.H. Hasyim Asyari ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Terjadi kegoncangan di tubuh organisasi NU. Kegoncangan bertambah hebat ketika K.H. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan tuduhan melakukan gerakan anti Jepang. Penangkapan itu terus terjadi pada ulama-ulama lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan yang sama yakni gerakan anti Jepang. K.H. Wahab Hasbullah mengeliminir kegoncangan yang terjadi dalam NU dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang, seperti Saiko Siki Kan (Panglima tertingi bala tentara Jepang di Jakarta), Gunseikan (Kepala Pemerintahan militer Jepang di Jakarta) dan Shuutyokan (Residen Jepang di Surabaya). Usaha keras K.H. Wahab untuk membebaskan K.H. Hasyim, K.H. Mahfudz Shiddiq dan beberapa kiai lainnya membuahkan hasil dibebaskannya kiai-kiai itu. Usaha untuk pembebasan ini memakan waktu sampai enam bulan.

Untuk memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indonesia yakni Peta yang diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalangan tak terkecuali umat Islam dan para kiai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi Peta, padahal mereka tahu pembentukan Peta dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang menghadapi Sekutu yang akan datang ke Jawa? Masuknya banyak orang Indonesia ke Peta lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk kemiliteran dan mengangankan mendapat peranan politik yang lebih besar di masa yang akan datang, bukan karena semata ingin membantu Jepang.

Selain itu, pemerintah Jepang akan membubarkan organisasi sosial-politik-keagamaan yang tidak mau diajak bekerjasama, sebaliknya yang masih mau diajak kerjasama akan dikooptasi. MIAI dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya NU dan Muhammadiyah yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota Masyumi.

Pada tahun 1944, NU pertama kalinya masuk ke dalam struktur pemerintahan dengan diangkatnya K.H. Hasyim Asyari sebagai Ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama). Pada tahun itu juga K.H. Wahid Hasyim berhasil melobi Jepang untuk memberikan pelatihan militer khusus kepada para santri dan mengizinkan mereka membentuk barisan pertahanan rakyat tersendiri yakni Hizbullah dan Sabillilah. Sejak saat itu ormas Islam memiliki pasukan tersendiri. Kaum nasionalis yang netral agama menguasai tentara nasional (Peta) yang dibentuk Jepang.

Baik Peta, Hisbullah ataupun Sabilillah yang diharapkan Jepang bisa membantu Perang Asia Timur Raya, ternyata yang terjadi malah kebalikan, kemampuan ketika komponen ini dipergunakan untuk memukul Jepang. Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuaki Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji itu dilontarkan karena di beberapa medan pertempuran, Jepang mengalami kekalahan terhadap Sekutu. Janji itu kemudian direspons secara positif oleh Pimpinan Kongres Umat Islam se-Dunia, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dari Palestina mengirimkan surat kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang untuk Jerman. Surat itu juga ditembuskan kepada K.H. Hasyim Asy’ari (Rais Am Masyumi). Dengan cepat K.H. Hasyim menyelenggarakan rapat khusus Masyumi pada tanggal 12 Oktober 1944, yang menghasilkan resolusi ditujukan kepada pemerintah Jepang.

Resolusi tersebut berisi; pertama, mempersiapkan umat Islam Indonesia agar mampu dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan agama Islam. Kedua, mengaktifkan kekuatan umat Islam Indonesia untuk memastikan terlaksananya kemenangan final dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indonesia dan agama Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jepang Raya di jalan Allah untuk mengalahkan musuh. Keempat, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara Jepang dan kepada segenap bangsa Indonesia. (Choirul Anam, 1999: 126). Berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak politiknya di masa depan.

Jauh hari sebelum persiapan kemerdekaan dilakukan, NU pada Muktamarnya ke-15 yang diselenggarakan bulan Juni 1942 (muktamar terakhir masa kolonial Belanda) diadakan rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 orang ulama yang dipimpin oleh K.H. Mahfudz Shiddiq untuk membicarakan calon yang pantas untuk dijadikan presiden pertama Indonesia. Sebelas tokoh NU menentukan pilihan dua nama yang disebut, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta. Para ulama memilih Soekarno banding Hatta dengan perbandingan suara 10:1.

Pembicaraan mengenai calon pemimpin pertama Indonesia itu dilakukan pada saat Indonesia belum bisa memastikan kapan akan merdeka. NU melakukan pembicaraan dini mengenai pemimpin bangsa Indonesia dikarenakan NU menganggap pemimpin itu sangat penting. Ada ajaran (Islam) yang menyebutkan bahwa pemimpin yang lalim masih lebih baik ketimbang tidak ada pemimpin.

Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Dalam badan itu juga tercantum nama K.H. Wahid Hasyim sebagai anggota. BPUPKI selain menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) juga muncul pembicaraan mengenai bentuk negara. Polarisasi pendapat di dalam BPUPKI mengenai bentuk negara; satu pihak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan dasar-dasar bakal negara Indonesia.

Sebagian umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan dilaksanakannya syariat Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan tentang bentuk negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder (tanpa) demokrasi atau demokrasi tetapi staat dipisahkan dari agama.

Soekarno condong memilih pilihan yang kedua. Menurutnya, negara demokrasi dengan memisahkan agama dari negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama. (Nilai-nilai) agama bisa dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga undang-undang yang dihasilkan parlemen sesuai dengan Islam. Pemikiran Soekarno ini substansialistik yang menginginkan dilaksanakannya ajaran Islam, tetapi tidak setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.

Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yakni; 1) kebangsaan; 2) Internasionalisme, perikemanusiaan; 3) Permusyawaratan, perwakilan, mufakat; 4) Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.

Polarisasi di BPUPKI tidak berhenti begitu saja. Perdebatan sengit tentang sila Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang diajukan dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata terakhir mendapat tentangan keras dari kelompok nasionalis-sekuler-kristen. Perdebatan ini menurun ketika para pemimpin nasionalis-muslim seperti Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuannya dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, sepakat untuk mencabut tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta yang menjadi titik sengketa dengan kelompok nasionalis-sekuler-kristen.

Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim sembilan anggota PPKI (di dalamnya KH. Wahid Hasyim) yang bertugas merumuskan tentang dasar negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalais-muslim tersebut merupakan kelanjutan dari diskusi antara KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur (NU) dan Kahar Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei 1945.


Pasca Proklamasi

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata perjuangan masih terus berlanjut. Kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara diliputi ketegangan setelah kekalahan Jepang dari Sekutu. Sekutu yang datang ke Indonesia untuk melakukan pelucutan senjata terhadap Jepang dilihat sebagai musuh yang akan mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda kembali. Terbukti tentara Sekutu diboncengi oleh tentara Belanda (NICA). Selama periode 1945-1949, Tentara Nasional dan laskar-laskar rakyat melakukan perlawanan sengit terhadap Sekutu dan Belanda.

Para kiai dan pengikutnya dalam jumlah yang sangat besar sejak awal terlibat aktif dalam perang kemerdekaan. Banyak dari mereka yang tergabung dalam barisan Hizbullah yakni kelompk semi-reguler yang dilatih kemiliteran oleh tentara Jepang. Komandan Hizbullah adalah Zainul Arifin tokoh NU dari Sumatera Utara. Pada saat yang sama laskar-laskar yang terdiri dari kiai desa bersama dengan pengikutnya muncul dengan nama Sabilillah yang dikomandani KH. Masykur, tokoh NU yang kelak menjadi politisi terkenal dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama berkali-kali. Pada permulaan tahun 1944 setelah empat bulan Hizbullah terbentuk, seluruh Jawa-Madura dan beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera juga sudah terbentuk. Sabilillah adalah laskar pendamping Hisbullah yang terdiri dari kelompok rakyat non reguler.

Tentara Inggris mendarat pada bulan September 1945 yang menduduki Jakarta atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada pertengahan bulan Oktober tentara Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa (Semarang dan Bandung) yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan menyerahkan kepada Inggris. Pemerintah Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan penyelesaian secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja ketika bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Kondisi dan kenyataan ini membuat para pempimpin Indonesia sangat marah, termasuk para ulama NU.

NU kemudian ikut terlibat aktif dalam perjuangan ini dengan fatwa yang sangat terkenal “Resolusi Jihad”. Pada tanggal 21-22 Oktober wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad. Resolusi jihad ini meminta pemerintahan RI mendeklarasikan perang suci dengan Resolusi tentang jihad Fisabilillah.

Isi resolusi Jihad itu adalah,”berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak (bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km dari tempat masoek dan kedodoekan moesoeh.Bagi orang-orang jadi berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalau dikerdjakan sebagian sadja).Apabila kekoetan dalam no 1 beloem dapat mengalahkan moesoeh, maka orang-orang jang berada diloear djarak lingkaran 94 Km wajib berperang djoega membantoe No 1, sehingga moesoeh kalah. Kaki tangan moesoeh adalah pemedjah teqat dan kehendak ra’jat, dan haroes dibinasakan, menoeroet hoekoem Islam sabda Chadist, riwajat Moeslim.”

Resoloesi ini disampaikan kepada: P.J.M Presiden Repoeblik Indonesia dengan perantaraan Delegasi Moe’tamar; Panglima Tertinggi T.R.I.; M.T. Hizboellah; M.T. Sabilillah dan Ra’jat Oemoem

Resolusi Jihad sangat berpengaruh besar terhadap umat Islam, khususnya NU. Banyak santri dan pemuda NU ataupun rakyat umum yang kemudian bergabung ke pasukan-pasukan non reguler seperti Hizbullah dan Sabillilah. Pada tanggal 10 Nopember, dua minggu setelah Surabaya kedatangan Inggris (diboncengi Belanda) pecah perang, yang dikenal sebagai perang 10 Nopember 1945.

Banyak santri dan kaum muda NU terlibat aktif dalam perang tersebut. Banyak pejuang-pejuang NU ini ‘memakai jimat’ yang diberikan kiai-kiai mereka di pesantren atau di desanya. Bung Tomo yang menggerakkan massa melalui pidato radio, mungkin tidak pernah menjadi santri, tetapi diketahui meminta nasehat kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Perang juga terjadi dibeberapa daerah seperti di Ambarawa dan Semarang.

Dengan Resolusi Jihad dan kritiknya terhadap pemerintahan RI yang dianggap pasif menghadapi serangan kaum agresor penjajah, NU telah menampilkan dirinya sebagai kelompok yang cinta tanah air dengan membangun kekuatan radikal melawan musuh dengan perang. Sikap ini muncul berkali-kali dengan terus mengkritik pemerintah yang menandatangani “Perjanjian Linggarjati dan Renville” dengan Belanda. Perubahan sikap NU yang berpegang pada tradisi Sunni, yang kadang bisa moderat dan kadang bisa radikal dipicu oleh sebuah kaidah fikih yang menjadi dasar pegangan keagamaan mereka.

Dalam konteks ini penguasa sah adalah pemimpin-pemimpin RI, walaupun dalam sejarahnya NU juga mengakui pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah de facto yang sah yang wajib ditaati (walaupun bukan muslim) selama masih memperbolehkan umat Islam menjalankan agamanya. Jepang telah mengakhiri pemerintahan Hindia Belanda, dan ketika Belanda ingin kembali, sebuah pemerintahan pribumi sudah menggantikannya.

Dari sudut pandang ini, Belanda dan sekutunya tidak lain adalah musuh kafir yang harus dilawan. Perang suci menjadi kewajiban agama. Muktamar NU yang pertama setelah perang adalah pada bulan Maret 1946, dan NU kembali mengeluarkan resolusi yang kali ini dikhususkan kepada mereka yang diwajibkan agama untuk ikut serta dalam memperjuangkan mempertahankan Negara Kesatuan Indonesia. (***) Aji Setiawan Rekening: BANK MANDIRI: 139-00-1091517-5

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik



Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik

Wali Quthb Yang Menghadirkan Cinta Illahi

Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Al-Habib Umar bin Segaf as-Segaf adalah seorang imam di lembah Al-Ahqof. Garis keturunannya yang suci ini terus bersambung kepada ulama dari sesamanya hingga bermuara kepada pemuka orang-orang terdahulu, sekarang dan yang akan datang, seorang kekasih nan mulia Nabi Muhammad S.A.W .



Habib Abu Bakar terlahir di kampung Besuki (salah satu wilayah di kawasan Jawa Timur) tahun 1285 H. Ayahnya wafat di kota Gresik, sementara ia masih berumur kanak-kanak. Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf tumbuh besar dalam asuhan dan penjagaan yang sempurna. Cahaya kebaikan dan kewalian telah tampak dan terpancar dari kerut-kerut wajahnya, sampai-sampai di usianya ke-3 tahun mampu mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu tak lain karena power (kekuatan) dan kejernihan rohaninya, serta kesiapannya untuk menerima curahan anugerah dan Fath (pembuka tabir hati) darinya.

Tahun 1293 H., atas permintaan neneknya yang sholehah Fatimah binti Abdullah (Ibunda ayahnya), ia merantau ditemani oleh al-Mukaram Muhammad Bazamul ke Hadramaut meninggalkan tanah kelahirannya, Jawa. Di kala Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf akan sampai di kota Sewun, ia di sambut di perbatasan kota oleh paman sekaligus gurunya yakni Habib Abdullah bin Umar berikut para kerabat.

Dan yang pertama kali dilantunkan oleh sang paman bait qosidah Habib al-Arifbillah Syeh bin Umar bin Segaf seorang yang paling alim di kala itu dan menjadi kebanggaan pada jamannya. Dan ketika telah sampai ia dicium dan dipeluk oleh pamannya. Tak elak menahan kegembiraan atas kedatangan sang keponakan dan melihat raut wajahnya yang memancarkan cahaya kewalian dan kebaikan berderailah air mata kebahagiaan sang paman membasahi pipinya.

Hati para kaum arifin memiliki ketajaman pandang. Mampu melihat apa yang tak kuasa dilihat oleh pemandang. Perhatian dan didikan sang paman telah membuahkan hasil yang baik pada diri sang keponakan. Ia belajar kepada sang paman Habib Abdullah bin Umar ilmu fiqh dan tasawuf, sang paman pun suka membangunkannya pada akhir malam ketika masih berusia kanak-kanak guna menunaikan shalat tahajjud bersama-sama, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mempunyai hubungan yang sangat kuat dalam menimba ilmu dari para ulama dan pemuka kota Hadramaut. Mereka (para ulama) telah mencurahkan perhatiannya pada Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf.

Maka Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf banyak menerima dan memperoleh ijazah dari mereka. Diantara para ulama terkemuka Hadramaut yang mencurahkan perhatian kepadanya, adalah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, (seorang guru yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya kepada Al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf).

Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi telah menaruh perhatian kepada Al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf semenjak masih berdomisili di Jawa sebelum meninggalkannya menuju Hadramaut.

Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata kepada salah seorang murid seniornya, “Perhatikanlah! Mereka bertiga adalah para wali, nama, haliyah, dan maqom (kedudukan) mereka sama. Yang pertama adalah penuntunku nanti di alam barzakh, ia adalah Quthbul Mala Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Aidrus, yang kedua, aku melihatnya ketika engkau masih kecil ia adalah Habib Al-Ghoust Abu Bakar bin Abdullah al-Atthos, dan yang ketiga engkau akan melihat sendiri nanti di akhir dari umurmu.”

Tatkala memasuki tahun terakhir dari umurnya, ia bermimpi melihat Rosulullah S.A.W. sebanyak lima kali berturut-turut selama lima malam, sementara setiap kali dalam mimpinya Rasulullah S.A.W. mengatakan kepadanya (orang yang bermimpi) : “ Lihatlah di sampingmu, ada cucuku yang sholeh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf " ! Sebelumnya orang yang bermimpi tersebut tidak mengenal Habib Abu Bakar Assegaf kecuali setelah dikenalkan oleh Baginda Rasul Al-Musthofa S.A.W. didalam mimpinya. Lantas ia teringat akan ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dimana beliau pernah berkata “Mereka bertiga adalah para wali, nama dan kedudukan mereka sama “. Setelah itu ia (orang yang bermimpi) menceritakan mimpinya kepada Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari gurunya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sampai-sampai Habib Ali sendiri yang meminangkan dan sekaligus menikahkannya. Selanjutnya (diantara para masyayikhnya) adalah Habib Abdullah bin Umar Assegaf sebagai syaikhuttarbiyah, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sebagai syaikhut taslik, juga Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Quthban sebagai syaikhul fath. Guru yang terakhir ini sering memberi berita gembira kepadanya, ”Engkau adalah pewaris haliyah kakekmu Habib Umar bin Segaf.”

Sekian banyak para ulama para wali dan para kaum sholihin Hadramaut baik itu yang berasal dari Sewun, Tarim dan lain-lain yang menjadi guru Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, seperti Habib Muhammad bin Ali Assegaf, Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas, Habib Abdurrahman Al-Masyhur, juga puteranya Habib Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur, dan juga Habib Syekh bin Idrus Al-Idrus dan masih banyak lagi guru-guru yang lainnya.

Pada tahun 1302 H, ditemani oleh Habib Alwi bin Segaf Assegaf , Habib Abu Bakar Assegaf pulang ketanah kelahirannya (Jawa) tepatnya di kampung Besuki. Selanjutnya pada tahun 1305 H, ketika itu berumur 20 tahun beliau pindah ke kota Gresik sambil terus menimba ilmu dan meminta ijazah dari para ulama yang menjadi sinar penerang negeri pertiwi Indonesia, sebut saja Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Atthas, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdlar, dan lain sebagainya.

Kemudian pada tahun 1321 H, tepatnya pada hari jum'at ketika sang khatib berdiri diatas mimbar beliau mendapat ilham dari Allah S.W.T. bergeming dalam hatinya untuk mengasingkan diri dari manusia semuanya. Terbukalah hatinya untuk melakukannya, seketika setelah bergeming ia keluar dari masjid jami’ menuju rumah kediamannya. Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ber-uzlah atau khalwat (mengasingkan diri) dari manusia selama lima belas tahun bersimpuh dihadapan Ilahi Rabbi. Dan tatkala tiba saat Allah mengizinkan ia untuk keluar dari khalwatnya, gurunya Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi mendatanginya dan memberi isyarat kepadanya untuk mengakhiri masa khalwatnya, Habib Muhammad Al-Habsyi berkata : “Selama tiga hari kami bertawajjuh dan memohon kepada Allah agar Abu Bakar bin Muhammad Assegaf keluar dari khalwatnya", lantas ia menggandeng Habib Abu Bakar Assegaf dan mengeluarkannya dari khalwatnya. Kemudian masih ditemani Habib Muhammad Al-Habsyi menziarahi Habib Alawi bin Muhammad Hasyim, setelah itu meluncur ke kota Surabaya menuju ke kediaman Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Sambil menunjuk kepada Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi memproklamirkan kepada para hadirin “ Ini Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf termasuk mutiara berharga dari simpanan keluarga Ba’Alawi, kami membukanya agar bisa menularkan manfaat bagi seluruh manusia”.

Setelah itu ia membuka majlis ta'lim dirumahnya, ia menjadi pengayom bagi mereka yang berziarah juga sebagai sentral (tempat rujukan) bagi semua golongan diseluruh penjuru, siapa pun yang mempunyai maksud kepadanya dengan dasar husnudz dzan niscaya ia akan meraih keinginannya dalam waktu yang relatif singkat. Di rumahnya sendiri, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf telah menghatamkan kitab Ihya’ Ulumuddin lebih dari 40 kali.

Pada setiap kali hatam ia selalu menghidangkan jamuan yang istimewa. Habib Abu Bakar Assegaf betul-betul memiliki ghirah (antusias) yang besar dalam menapaki aktivitas dan akhlaq para aslaf (pendahulunya), terbukti dengan dibacanya dalam majlisnya sejarah dan kitab-kitab buah karya para aslafnya.

Adapun maqom (kedudukan) Al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, telah mencapai tingkat Shiddiqiyah Kubro. Hal itu telah diakui dan mendapat legitimasi dari mereka yang hidup sezaman dengannya. Berikut ini beberapa komentar dari mereka.

Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar berkata : ”Demi fajar dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil. Sungguh al Akh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah mutiara keluarga Segaf yang terus menggelinding (maqomnya) bahkan membumbung tinggi menyusul maqom-maqom para aslafnya.”

Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad berkata :”Sesungguhnya Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang Quthb al Ghaust juga sebagai tempat turunnya pandangan (rahmat) Allah SWT.”

Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi pernah berkata di rumah Habib Abu Bakar Assegaf dikala ia membubuhkan tali ukhuwah antaranya dengan Habib Abu Bakar Assegaf, pertemuan yang diwarnai dengan derai air mata. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi berkata kepada para hadirin ketika itu : “Lihatlah kepada saudaraku fillah Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Lihatlah ia..! Maka melihat kepadanya termasuk ibadah.”

Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad berkata :”Sesungguhnya Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang khalifah. Ia adalah penguasa saat ini, ia telah berada pada Maqom As Syuhud yang mampu menyaksikan (mengetahui) hakekat dari segala sesuatu. Ia berhak untuk dikatakan “Dia hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya (sebagai nikmat).”

Kalam salaf Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf diantaranya.... “Keberkahan majlis bisa diharapkan bila yang hadir beradab dan duduk di tempat yang mudah mereka capai. Jadi keberkahan majlis itu pada intinya adalah adab, sedangkan adab dan pengagungan itu letaknya di hati. Oleh karena itu, wahai saudara-saudaraku, aku anjurkan kepada kalian, hadirilah majlis-majlis kebaikan. Ajaklah anak-anak kalian ke sana dan biasakan mereka untuk mendatanginya agar mereka menjadi anak-anak yang terdidik baik, lewat majlis-majlis yang baik pula.

Sekarang ini aku jarang melihat para pelajar yang menghargai ilmu. Banyak ku lihat mereka membawa mushhaf atau kitab-kitab ilmu lainnya dengan cara tidak menghormatinya. Lebih dari itu mereka mendatangi tempat-tempat pendidikan yang tidak mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mencintai ilmu, tapi mencintai nilai semata-mata ...... Aku pun teringat pada nasihat Habib Ahmad bin Hasan al-'Aththas: “Ilmu adalah alat. Meskipun ilmu itu baik, ia hanya alat, bukan tujuan. Oleh kerananya, ilmu harus diiringi adab, akhlak dan niat-niat yang shalih. Ilmu demikianlah yang dapat mengantarkan seseorang kepada ketinggian maqam ruhaniah.”

Di saat terakhir hayatnya Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf melakukan puasa selama 15 hari, setelah itu ia wafat pada tahun 1376 H. dalam usia 91 tahun, dimakamkan di pemakaman Masjid Jami’ Alun-Alun, Greasik, Jawa Timur. (*) Aji Setiawan


Rek Bank Mandiri a/n Aji Setiawan no : 139-00-1091517-5

Minggu, 28 Agustus 2011

Tip Sehat Murah Meriah



Tip Agar Tubuh Sehat dan Fit
Sampai tahun 2014 cuaca panas dingin tidak menentu akibat global warming, isue global yang patut disikapi dengan cara yang hemat dan sederhana, tidak perlu panik.
Kearifan lokal yang perlu dijaga yakni dengan kembali ke kebun menanam buah sedini mungkin dan memberdayakan keanekaragaman pangan di saw ah-saw ah kita serta produktivitasnya ditingkatkan.
Menuju 2014 swa sembada pangan. 2045 , seabad kemerdekaan. Trubus nya benih-benih nasionalisme, menyongsong era kemandirian, kebangkitan teknologi dan energi dalam kancah percaturan global (dunia)
Jangan lupa kesehatan tubuh dijaga...
serba serbi hijau untuk sehat...
Kata Kuncinya: key words: (1) efektif; (2)efisien;(3) produktif dan (4) inovatif.
a. Makanlah makanan yang beraneka ragam, jangan fanatik pada jenis makanan tertentu saja karena bisa jadi tubuh kekurangan nu trisi yang diperlukan: Perbanyak makan sayur dan buah-buahan; Kurangi makanan berlemak;Perbanyak makanan yang mengandung zat tepung seperti biskuit dan roti; dan batasi makanan manis yang mengandung gula murni.
b. Bagi penderita kencing manis: Makanlah yang cukup, secara teratur dan beraneka ragam; Kalori makanan disesuaikan dengan beratnya penyakit; Hindari makanan berupa gula pasir/merah, sirup, jeli, buah-buahan yang diawetkan dengan gula, susu kental, es krim, kue manis, dodol, cake dan dendeng manis; Terus mengikuti diet masing-masing.
c. Makanan penderita Jantung Koroner; Makanlah makanan yang beraneka ragam dalam jumlah dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan tubuh; Jangan makan yang berlemak dan gurih; Hindari kue-kue yang terlalu manis, sayuran yang mengandung banyak serat (kangkung) dan gas (kol), cabe, dan bumbu lain yang merangsang; Jangan minum minuman bersoda, kopi atau teh kental dan mengandung alkohol; Batasi makanan yang mengandung garam.
d. Makanan Penderita Tekanan Darah Tinggi: Makanlah makanan yang beraneka ragam. Bil Makanlah makanan yang beraneka ragam kegemukan, kurangi makanan yang mengandung karbohidrat (nasi, jagung dll); Gunakan minyak jagung, minyak wijen, minyak biji matahari untuk memasak makanan; Makanlah sayuran dan buah buahan segar yang banyak mengandung vitamin (Jeruk, apel, pir); Batasi pemakaian garam.

Tips menghadapi musim dingin
a. Mempersiapkan perlengkapan seperti jaket/pakaian hangat (lengan panjang) yang tebal, selimut, krem pelembab kulit, vaseline, masker (penutup mulut dan hidung), sarung tangan dan kaca mata hitam.
b. Obat-obatan: Antisipasi yang perlu dilakukan adalah pemerikasaan kesehatan di Puskesmas atau rumah sakit terdekat, sehingga diketahui status kesehatannya
c. Membawa obat-obatan yang biasa digunakan /diperlukan sesuai kondisi penyakit masing-masing. Selalu lah dipersiapkan obat demam, flu, alergi, maag dan multi vitamin
d. Bagi yang mempunyai penyakit (resiko tinggi) harus segera BEROBAT dan mengikuti anjuran dokter agar penyakit yang diderita terkontrol serta mengkonsumsi makanan yang cukup mengandung nu trien (gizi) sesuai status kesehatan. Apabila ada gejala atau terasa sakit segeralah konsultasi atau berobat kepada dokter atau Rumah Sakit
e. Membiasakan selalu minum air putih setiap satu jam, walaupun tidak terasa haus. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi
f. Sebaiknya selalu minum air hangat. Hindari minuman dingin.
g. Mengkonsumsi multivitamin setiap hari.
h. Mengkonsumsi makanan yang berasal dari daging, hati, sayur-sayura, buah-buahan (jeruk , apel, pir, melon, semangka) dan minum susu setiap hari sehingga memenuhi pola makanan empat sehat lima sempurna
i. Jangan menunda makan. (Jangan mengubah pola makan). Segera makan, sehingga terhindar diare.
j. Memperbanyak olahraga atau latihan kebugaran jasmani. Tentu harus bangun pagi agar disiplin, mendapatkan pasokan udara segar pagi hari...


Pilihan serba hijau yang sehat dan pintar 0812-2966-7400
2011-2014-2045

Sabtu, 27 Agustus 2011

Selamat Idul Fitri


Tiada yang seindah ketika hati tersucikan
Bersih tanpa noda kebencian
yang terbasuh oleh ramadhan
dan kemurnian hati untuk saling memaafkan
selamat hari raya idul fitri, minal aidzin wal fa idzin
mohon maaf lahir batin.

Aji Setiawan

Rabu, 03 Agustus 2011

0812 29 667 400



Anda boleh menelpon atau sms dengan sebutkan nama mu jelas. 0812 29 667 400
رَبِّ فَانْفَعْنَا بِبَرْكَتِهِمْ وَاهْدِنَا الْحُسْنَى بِحُرْمَتِهِمْ
Ya Tuhanku, berilah kami manfaat dengan keberkahan mereka,

Dan tunjukkanlah kami kebaikan dalam menghormati mereka.


وَاَمِتْنَا فِيْ طَرِيْقَتِهِمْ وَمُعَـافَـاةٍ مِـنَ الْفِـتَـنِ
Dan matikanlah kami di dalam jalan yang ditempuh mereka,

Dan berilah kami keselamatan dari segala fitnah.


يَا رَبِّ وَاجْمَعْنَـا وَاَحْبَابًا لَنَا فِيْ دَارِكَ الْفِرْدَوْسِ يَا رَجْوَانَا
Ya Tuhanku, kumpulkanlah kami bersama kekasih-kekasih kami

di dalam surga Firdaus-Mu , Wahai Dzat tempat kami berharap.




Aji Setiawan

Jumat, 29 Juli 2011

Marhaban Ya Ramadhan 1432 H

Marhaban Ya Ramadhan 1432 H

Sucikan Hati Menuju Fitri, Selamat menunaikan ibadah Puasa

Kamis, 14 Juli 2011

Rembulan Bertabur Bintang di Banyumas






Rembulan Bertabur Bintang di Banyumas

Rembulan bertabur bintang di langit menemani suasana malam menyambut hari lahirnya organisasi yang didirikan oleh para ulama itu. Peringatan Harlah NU ke 88 di Kabupaten Banyumas berlangsung Khikmat dan semarak

Rabu (13/7) bertepatan 11 Sya’ban 1432 H, suasana malam peringatan lahirnya Nahdhlatul Ulama ke 88 di Kabupaten Banyumas berlangsung semarak. Rembulan bertabur bintang di langit menemani suasana malam menyambut hari lahirnya organisasi yang didirikan oleh para ulama itu. Sementara ribuan kaum muslimin dari berbagai penjuru Kabupaten Banyumas memadati Lapangan Mersi, Purwokerto Wetan , Banyumas tak kunjung berhenti berdatangan sejak pukul 20.00 hingga berlangsung acara.
Usai shalat Isya’, acara dibuka dengan hiburan grup hadrah rebana Baiturrohman pimpinan Hj Renik Rohimah dari Mersi, Purwokerto Wetan sampai jam 20.00 WIB. Usai itu, acara langsung bersambung dengan Istighotsah Kubro oleh para ulama dan habaib yang dipimpin oleh KH Abdul Mu’thi, Rois Syurih PCNU Kabupaten Banyumas dan diikuti oleh ribuan jamavh yang hadir.
Pembacaan kalam ilahi dan shalawat badar oleh KH Makmun al-Kaffi al-Hafid yang bersambung dengan sambutan oleh panitia yakni H Munir Sarbini, Spdl.
Bupati Banyumas dalam sambutannya menyatan bergembira dengan peringatan Harlah NU yang diselenggarakan oleh PCNU.”Dengan ridho dan Rahmat Allah SWT serta bimbingan ulama inilah yang bisa mersuk dalam sendi-sendi kehidupan, sehingga Rahmat dan keberkahan Allah SWT senantiasa turun kepada kita semua,” kata Drs.H. Marjoko, MM, Bupati Banyumas.
Sambutan kedua oleh KH Thoefur Arofat yang lebih menekankan tentang pentingnya persatuan dan warga Nahdhliyin. ”Saya dan seluruh jajaran Pengurus Cabang NU Banyumas mensyukuri kekompakan dan persatuan warga NU. Karena dengan kekompakan dan persatuan itul kekompakan dan persatuanh menjadi modal yang sangat berharga bagi suksesnya program-program NU,” kata Ketua Tanfidiyah PCNU Kab Banyumas ini berapi-api.
Dilanjutkan, dengan semangat kebersamaan ini cita-cita NU bisa diwujudkan.” PCNU senantiasa melaksanakan program-program dengan semakin meneguhkan semangat Ahlussunah Sunnah Wal Jama’ah. Semakin banyak masjid dan langgar-langgar NU direbut oleh kelompok lain atau dirongrong dan diinjak, semakin teguh orang NU untuk memperkokoh ajaran Ahlussunah Sunnah Wal Jama’ah.”
Dalam kesempatn ini ketua PCNU Kab Bnayumas ini juga menyampikan program PCNU Kab Banyumas yang sedang dilaksakan yakni program pembuatan kartu NU.”Kartu Anggota NU (Kartanu) harus dimiliki warga NU sebagai KTP nya orang NU,”katanya.
Program kedua, PCNU membuat jadwal sholat abadi khusus Kabupten Banyumas. “Saya harapkan semua masjid-masjid dan langgar-langgar NU untuk memasang jadwal sholat yang berlogo NU. Itu digratiskan, hanya mengganti ongkos buatnya saja,” katanya disambut gerr hadirin.
Program ketiga, PCNU Banyumas sedang merehab Kantor NU yang berfungsi ganda sebagai gedung Politeknik Maarif NU Kabupten Banyumas.
Program keempat, PCNU sangat menaruh perhatian yang tinggi dlm bidang pendidikan.”Saat ini NU Kab Banyumas memiliki 152 sekolah dan 250 TK Diponegoro di bawah binavn Muslimat NU Banyumas. Dalam bidang dakwah, KBIH Arofah dan al Wardah memberangkatkan sekitar 700 jamaah haji, separuh lebih jamaah haji asal kabupaten Banyumas.”
Dalam bidang membentengi aqidah, NU tetap berkomitmen melalui program-program pengajian dan menerbitkan buku-buku yang disebarkan kepada warga NU. Dalam rangka meneguhkan ajaran Ahlussunah Sunnah Wal Jama’ah d Ahlussunah Sunnah Wal Jama’ah dan kebhinekaan ia mengajak jamaah istigotsah yang hadir untuk menengok sejarah ke belakang ,”NU lahir sebelum Indonesia merdeka. NU lahir untuk merebut kemerdekaan dan menjalankan syariat Islam yang berdasar ajaran Ahlussunah Sunnah Wal Jama’ah. Oleh karena itulah NU mengambil jalan Islam yang Rahmtan lil Alamin. Oleh karena itulah NU menganggap membela dan mempertahankan NKRI adalah wajib. NKRI sudah final dan tidak dapat digugat oleh siapa pun,” katanya penuh semangat mengakhiri sambutan mewakili PCNU Kabupaten Banyumas.
Taushiyah utama disampaikan oleh KH Yahya Staquf Cholil, Wakil Khatib Syuriyah PBNU yang mengupas tentang sejarah berdirinya NU. ”Kiai -kiai membentuk NU untuk membuat rombongn bangkitnya para ulama. Kita yang orang awam ini biasa berkumpul atau berombongan supaya dapat ikut rombongannya para ulama,” kata Wakil Khatib Syuriah PBNU kepada ribuan jamaah istigotsah.
Dilanjutkan, “Besok di hari kiamat orang-orang akan digiring oleh para malaikat ke negeri akhirat dengan berombongan. Kita akan ikut rombongan yang mana? Sebab yang akan digiring berombongn itu bermacam-macam. Calon-calon ahli neraka juga berombongan. Ini persoalannya kita ikut rombongan yang mana?” tanyanya kepada hadirin.
“KH Hasjim Asya'ri dan KH Wahab Hasbullah membuat jamiyyah NU untuk membuat rombongannya. Sehingga dengan dibiasakan berombongan dan berkumpul seperti ini diharapkan kita dapat diikutkan dengan para kiai Ahlussunah Sunnah Wal Jama’ah. Dalam rombongan kiai dan para ulama yang dapat menunjukan jalan yang benar,” pesannya.
Sambil mengeluarkan joke-joke segar, KH Yahya Staquf Cholil menceritakan prosesi talqin jenazah yang dilakukan oleh seorang ketua ranting NU di Kabupaten Rembang Jawa Tengah.”Saat pelepasan jenazah, sang ketua ranting memberikan talqin,'hai mayit kalau ada pertanyaan malaikat siapa Tuhanmu? Nabi mu? Imam mu? jawablah rombongan. Kok begitu, ketua ranting NU itu dengan enteng menjawab, kita ikut rombongannya KH Hasyim Asya'ri. Kalau malaikatnya protes, tanya saja sama KH Hasyim Asya'ri , biar beliau yang menjelaskan,” kata ketua ranting NU dengan enteng. Sontak joke segar KH Yahya Staquf disambut derai tawa hadirin.
Pesan PBNU kepada jamiyyah NU di Kabupaten Banyumas, “Untuk semakin mantap ikut NU. Para ulama mencontohkan tahlil, istigotsah , tawasulan karena itu sesuai dengan ajaran Aswja,” katanya.
Kedua, NU sudah 88 tahun secara hitungan tahun Hijriah dan 85 tahun miladiyah (hitungan tahun Masehi). NU tidak pikun! NU tetap eling (ingat) di mana kiai-kiai mendirikan NU untuk berjuang merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Itu berarti para Kiai NU ikut mendirikan NKRI , Pancasila dan UUD 945.Bangsa Indonesia kalau ingin bersatu dari Sabang sampai Merauke harus menghargai perbedaan, sekalipun berbeda-beda tetap satu Indonesia,” tegasnya.
“Para ulama mengeluarkan resolusi Jihad adalah dalam rangka mempertahankan NKRI. Dalam sejarah, orang NU terkenal paling depan dalam mempertahankan NKRI. Ini dibuktikan dalam 10 Nopember Surabaya, menumpas DI/TII, PKI 1965. NU berdiri paling depan dalam mempertahankan NKRI. Ini perlu diperbincangkan karena banyak orang lupa dengan Indonesia.Orang berebut menjadi pejabat, pemimpin, banyak menjadi individualis dan bermental korup, karena tidak eling dengan Indonesia,” katanya mengingatkan.
“Kalau orang jadi pejabat, kalau eling dengan Indonesia, orang tidak akan korupsi. Dan orang NU tidak boleh lupa dengan Indonesia,” lanjutnya.
Yang ketiga, sambung Wakil Khatib Syuriah PBNU ini.”Dalam rapat pleno di Yogyakarta dan rapat-rapat PBNU. NU selalu mempertanyakna kembali kesetiaan kita dalam NKRI, Pancasila, UUD 45 dan berbhinek Tunggal Ika,” katanya.
“Maka dalam rangka ulang tahun ke 88 th NU ini, dengan mengambil tema menegakan kebhinekaan. PBNU tidak sependapat dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena HTI ingin mempersoalkan NKRI. NU tidak mau dengan Negara Islam Indonesia (NII), Sebab NI I merongrong NKRI. NU menolak FPI , FPI merongrong Bhineka Tunggal Ika,” tegas Wakil Ketua Khatib Syuriah PBNU.
Dilanjutkan, “NU ingin bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bersatu. Karennya kalau pemimpin-pemimpin lupa dengan Indonesia. Orang-orang NU siap mengingatkan para pemimpin. Ini tnggung jawab NU,” katanya.
PBNU dan PP Ansor NU membuat program bela negara bekerjasama dengan pihak-pihak pemerintah dan ABRI di seluruh Indonesia ini dalam rangka untuk membela NKRI,” lanjutnya.
“Kita ikut ulama Aswaja, insya Alloh. Allah SWT akan memberikan Barokah yang Agung kepada kita sebab kKita menjalankan agama ikut meniru dengan yang dicontohkan guru-guru kita dalam menjalankan agama.Dengan mengikuti tradisi NU, kita ikut dalam rangka menggapai surga Allah SWT. Dan dalam rangka mengisi kemerdekaan seperti yang dicita-citakan oleh Proklamasi RI,” katanya mengakhiri pengajian istigotsah.
Tepat pukul 24.00 dinihari acara ditutup doa oleh Habib Husein bin Salim dan jamaah bubar ke rumah masing-masing untuk semakin memantapkan ajaran Aswaja dan kebhinekaan dalam NKRI.(*)Aji Setiawan

Rabu, 22 Juni 2011

Majlis Taklim al Mutaalimin




alKisah N0 11, Juni 2011

Mengharap Berkah Khataman Qur’an

Tiap tanggal 15 bulan Hijriyah di majlis ini diadakan khataman (menderes atau nderes) Al Qur’an. Jama’ah yang hadir mengharap keberkahan dari al Qur’anul Karim yang dibaca

Majelis Al Mutaalimin adalah majlis taklim dan dzikir terletak di dusun terpencil dusun Kembaran, Desa Cipawon Kabupaten Purbalingga.Majelis yang diasuh oleh Kyai Anwarudin ini memang terkenal dengan acara khataman Al Qur’an tiap bulannnya. Setiap tanggal 15 bulan hijriah diadakan khataman Al Qur’an di kediaman rumah Kyai Anwaruddin.

Keberkahan dari majelis Khatmil Qur’an ini dirasakan benar oleh Kyai kelahiran Cipawon tahun 1949 ini. Sebab katanya, disebutkan Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah berkumpul sekelompok orang untuk berdzikir kepada Allah SWT, melainkan para malaikat mengerumuni mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan (sakinah) menhampiri mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisinya ( Hadist HR Tirmidzi)”.

Dilanjutkan oleh Kyai Anwar bahwa setiap mukmin wajib percaya dan meyakini seseorang yang membaca Al-Qur’an meskipun tidak memahami arti dan maknanya itu termasuk sudah melakukan satu ibadah yang mendatangkan banyak pahala serta mengantarkan kepada kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan kata Kyai Anwar,”Setiap mukmin hukumnya wajib kifayah dalam seharinya untuk membaca Al-Qur’an.” Ditambahkan, Rasulullah SAW sendiri bersabda, ”Barang siapa membaca satu huruf yang terdapat dalam Al Qur’an, maka ia memperoleh satu khasanah (kebaikan) dan setiap kebaikan pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim adalah satu huruf, akan tetapi alif merupakan satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf. (HR Tirmidzi).”

Disamping berpahala besar, membaca Al Qur’an merupakan salah satu amal yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit hati. “Sahabat Rasulullah SAW yakni Adullah bin Umar bin Khatab menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,’Sesungguhnya hati ini akan berkarat seperti besi berkarat’. Seorang sahabat bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah yang dapat menjadikannya bersinar kembali?’ Beliau menjawab,’Membaca Al Qur’an”.

Majelis Tadarus atau Khatmil Qur’an tidak hanya dihadiri oleh manusia dan malaikat, bangsa jin pun tidak mau ketinggalan. Mereka sangat terkesan tatkala mendengarkan pembacaan al-Qur’an; hati mereka dipenuhi dengan kecintaan dan penghargaan kepadanya, dan mereka bersegera mengajak kaumnya untuk mengikuti isinya, sebagaimana yang difirmankan oleh SWT,”Katakanlah (wahai Muhammad), Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya sekumpulan jin telah mendengarka (Al-Qur’an), lalu mereka berkata, ’Sesungguhnya kami mendengarkan al Qur’an yang menakjubkan (QS Al Jin:1)’,” kata Kyai Anwar.

Sehabis khataman biasanya acara berlanjut dengan taushiah dari ulama atau habaib yang hadir. Saat pengajian khamil Qu’ran di bulan maulid itu kebetulan yang mengisi taushiyah adalah KH Muhammadun Lc, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, desa Cipawon, Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga memaparkan secara detil proses detik-detik sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kyai juga menyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW ke dunia ini memang untuk mengemban tugas khusus merubah masyarakat Arab kala itu yang semula jahiliyah menjadi masyarakat yang berkeadaban. “Bagaimana tidak jahiliyah, patung disembah. Punya bayi perempuan langsung dibunuh. Abu Jahal dan Abu Lahab orangnya sangat pintar. Maunya kaya tetapi tidak dengan cara-cara yang benar, mereka tidak lelah. Maunya menang sendiri. Mereka berdagang sebagaimana pekerjaan masyarakat Arab pada umumnya. Tapi mereka merampas, merampok, memperkosa dan membunuh masyarakat yang tidak patuh dengan Abu Jahal dan Abu Lahab.”

Sejarah masyarakat jahiliyah pada waktu sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak saja di Arab Saudi yang menyembah berhala dari patung dan kayu. Masyarakat Mesir juga mempraktikan hal serupa. Di Mesir, sebagian masyarakatnya bahkan menyembah danyang dengan mengorbankan gadis tercantik kemudian diceburkan ke Sungai Nil sebagai sesaji atau sesembahan untuk mendatangkan hujan sehingga masyarakat sekitar sungai Nil bisa bercocok tanam dan panen juga berlimpah.

“Sungguh kelahiran Nabi Muhammad SAW ke dunia ini untuk merubah praktik-praktik masyarakat jahiliyah untuk digantikan ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam baik dunia maupun kelak smapai akhirat. Ini merupakan nikmat Allah SWT yang wajib kita syukuri, salah satunya dengan memperingati kelahiran beliau (maulid) dan mengamalkan ajara-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, ” Kata KH Muhammadun Lc, yang juga adalah alumnus dari pesantren Darul Musthofa Hadramauth Yaman.

KH Muhammadun Lc juga berpesan kepada Jamaah mulai dari sekarang untuk bisa membagi waktu. Baik waktu untuk beribadah, bekerja dan waktu untuk keluarga. Sebab dengan keseimbangan waktu itu, maka keberkahan akan terwujud kehidupan ini. Dalam kesempatan itu, KH Muhammadun juga menguraikan tentang Syafaat Rasulullah SAW. ”Kita tentu berharap syafaat kanjeng Nabi Muhammad SAW. Setiap manusia di akhirat kelak ada tiga golongan yang akan mendapat jaminan syafaat dari Rasulullah SAW yakni orang-orang yang banyak membaca al-Quran, ahli ilmu dan ibadah serta orang-orang yang banyak bershalawat kepada Kanjang Nabi Muhammad SAW.’

KH Muhammadun juga berpesan kepada jama’ah untuk kembali menyemarakan syiar-syiar Islam seperti melalui peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, banyak berdzikir, membaca Al-Qur’an untuk menghadapi situasi jaman sekarang yang sedemikian bobrok dan hampir serupa dengan masa-masa jaman jahiliyah (jahiliyah modern). Seusai acara taklim acara berlanjut dengan ramah tamah dengan tuan rumah sahibul bait (tuan rumah) majlis taklim dan dzikir Al Mutaalimin yakni Kyai Anwaruddin.

Majlis taklim dan dzikir

Awal ia mendirikan majelis ini sekitar tahun 1971 sehabis ia mondok pesantren di Jombor, Desa Gumelar Lor Kecamatan tambak Kabupaten Banyumas. Saat itu yang mengasuh pondok Jombor adalah KH Tahrir. Kyai Anwar mengenyam pendidikan dimulai dari kecil. Awalnya ia belajar di Sekolah Dasar di Cipawon. Sembari sekolah ia juga ikut belajar di Madrasah Diniyah yang diajarakan ilmu-ilmu mengaji dengan kyai-kyai kampung.

Lulus dari Sekolah dasar ia melanjutkan Madrasah Tsanawiyah NU 05 (dusun Telarpucung), desa Majasari Kecamatan Bukateja Kab Purbalingga lulus tahun 1969. Lepas Madrasah Tsanawiyah (MTS), Kyai Anwar belajar lagi ke Pondok Jombor untuk memperdalam ilmu gramatikal bahasa Arab yakni ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Tasawuf dengan KH Tahrir selama tiga tahun. Di Pondok itu, putra pasangan Ahmad Redja dan Tinem ini menamatkan (menghatamkan) beberapa kitab pegangan wajib untuk menguasai dan membedah ilmu-ilmu agama mulai dari kitab Taqrib, Safinah, Jumriyah sampai Imriti.

Pulang Pondok, ia langsung mendirikan taklim mengajar anak-anak agar bisa membaca al-Qur’an dan kitab-kitab salaf seperti Sulam Taufiq, Safinah, Duror Bariyyah, Jumriyah dan lain-lain teruama ilmu-ilmu fiqh. “Alhamdulillah, sampai sekarang masih ada anak-anak mau belajar ilmu agama terutama ilmu-ilmu shalat benar, al Qur’an dan fiqh yang setiap ba’da shalat Magrib berjamaah di Mushola al Mutaalimin,” kata Kyai Anwar.

Adapun metode mengajar dari majelis ini beanr-benar menerapkan metode pesantren atau cara salaf pada umumnya yakni dengan model sorogan dan bandongan. Di mana seorang murid berhadapan langsung dengan sang guru yang mengajar untuk menelaah dan mendalami kitab kuning. Menurut kyai yang terkenal menguasi ilmu fiqh ini, sekarang sudha jarang orang mempelajari dan mengasai ilmu-ilmu fiqh agama. “Pendidikan agama terutama ilmu fiqh kalah oleh ilmu-ilmu umum.”

Selain mengajar ilmu fiqh, Bapak 3 putra dua cucu ini memang dikenal ahli mengenai ilmu-ilmu hikmah. Kyai Anwar selama di pondok pesantren Jombor, desa Gumelar Lor, kec Tambak Kabupaten Banyumas yang diasuh KH Tahrir ini memang mempelajari dan mendalami kitab-kitab mengenai ilmu hikmah seperti Syamsul Ma’arif dan Manba’ul Usul Al-Hikmah yang dikarang Syaikh Ali Al-Buni. Menurutnya mempelajari ilmu tasawuf dan hilmah itu adalah sebuah jalan untuk membaguskan amal-amal kita kepada Allah SWT. “Keluar dari jalan keburukan menuju jalan yang diridhai Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya,” kata Kyai Anwar.

Aji Setiawan, Purbalingga

KCP Bank Mandiri Purbalingga a/n Aji Setiawan No rek : 139-00-1091517-5

Kamis, 16 Juni 2011

Isro Mi'roj di Kembangan Kec Bukateja Purbalingga






MT Raudlotul Qur’an Purbalingga

Jauhkan Indonesia dari Bala dan Bencana

Peringatan Isro Mi’roj Nabi Besar Muhammad SAW tidak saja diselenggarakan di kota-kota besar. Suasana kesyahduan dan kekhusyukan dalam memperingati perjalanan Isro dan Mi’roj Muhammad SAW juga terasa di pedesaan.
Pada hari Rabu, 15 Juni 2011 atau bertepatan dengan 14 Rajab 1432 H di halaman Majlis Taklim Raudlotul Qur’an pimpinan Kyai Munawar desa Kembangan, kecamatan Bukateja Kab Purbalingga Jawa Tengah menyelenggarakan Haflah Attasyakur Lil Ikhtitam Majlis Taklim Raudlatul Qur’an ke III dan sekaligus peringatan Isro Mi’roj Nabi Muhammad SAW.
Selepas shalat Isya, acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dimulai dengan Khatmil Qur’an dan kitab Aqidatul Awam oleh santri-santri Majlis Taklim Raudlotul Qur’an dan ditutup dengan doa Khotmil Qur’an oleh Ibu Nyai Hj Qomariah pimpinan Pondok Putra Putri Pesantren (PPP) Nurul Qur’an, Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga. Sambil menunggu acara dimulai, jamaah dihibur dengan iringan musik Hajir Rabana Syafaat dari Purbalingga.
Lepas pembacaan Kalam illahi oleh Ustadz Syamsul Bashori acara berlanjut dengan sambutan dari ketua panitia yakni Kyai Sulaiman. Sambutan mewakili Bupati Purbalingga, Drs H Heru Sujatmoko disampaikan oleh Budi Darmoyo. Dalam sambutannya, Bapak Bupati Purbalingga Jawa Tengah menyatakan bergembira dengan peringatan Isro Mi’roj yang berjalan dengan sukses. Selain itu, dengan adanya majlis taklim –majlis taklim yang ada sekarang ini merupakan bentuk pendidikan dasar bagi anak-anak di bidang agama. “Dengan dididik agama sejak kecil, harapannya nanti setelah dewasa atau menjadi orang tua yang bisa melaksanakan agama dengan baik. Peringatan Isro Mi’roj Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa yang mengagumkan dan bagi yang percaya adalah pertanda bagi manusia-manusia yang beriman,” lanjut Budi Darmoyo.
Tepat pukul 22.00 acara inti peringatan Isro Mi’roj dengan taushiyah oleh KH Ahmad Sobirin Syamsuri, Pengasuh Pondok Pesantren (PPP) Al Mujahidin, Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas. Selain memaparkan secara detil proses detik-detik Isro Mi’roj Nabi Muhammad SAW ke langit ketujuh dan bertemu langsung dengan Allah SWT, KH Sobirin mengungkapkan kondisi dunia sekarang sudah mendekati tanda-tanda kiamat. Seperti diungkapkan dalam Hadist Nabi Muhammad SAW, tanda-tanda kiamat diantaranya adalah dicabutnya ilmu (dengan diwafatkannya ahli-ahli ilmu). Kedua, Orang mukmin banyak yang bodoh karena banyak ulama yang wafat. Ketiga, perbuatan zina merajalela. Keempat, banyak orang yang minum minuman keras (khamr).
Banyaknya musibah yang menimpa bangsa Indonesia sekarang ini menandakan kita sedang diuji oleh Allah SWT. Dalam kesempatan malam itu, KH Sobirin banyak mengajak jamaah berdoa bersama dengan doa sifat-sifat khusus Nabi Muhammad SAW sehingga akan dihindarkan bala dan bencana.
Dalam ceramah yang banyak dibumbui guyonan segar ala Banyumasan itu KH Sobirin banyak menyelipkan canda-canda segar sehingga mampu mengocok perut pengunjung yang menghadirinya dan membuat betah jamaah pengajian yang membludak sampai jalan raya itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Apalagi sembari berceramah kadang-kadang diiringi tembang-tembang sholawat yang diringi musik campursari ala Banyumasan sehingga tidak membuat jamaah mengantuk.
Dalam kesempatan itu, KH Ahmad Sobirin Syamsuri juga mengajak jamaah untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT sebab jelas dalilnya siapa yang bersyukur kepada Allah maka akan ditambah nikmat-Nya. Namun sebaliknya, siapa yang tidak bersyukur maka ia akan menjadi kufur nikmat. Agar Allah SWt tidak marah yang luar biasa, lanjut KH Sobirin, orang mukmin harus menerima Qodar-Nya Allah SWT dan bila banyak diuji musibah senantiasa harus bersabar.
“Sebaliknya, sebagai orang mukmin ada lima perkara yang tidak boleh sabar yakni menghormati tamu, menguburkan jenazah, menikahkan anak perempuan, menepati hutang dan bila berdosa segera bertaubat kepada Allah SWT ,” lanjut KH Sobirin.
Tentang pembacaan dan pengajaran Al Qur’an, KH Sobirin sangat menyambut baik dengan berdirinya majlis-majlis taklim yang mengadakan acara khotmil Qur’an. “Membaca Al Qur’an merupakan salah satu dzikir yang sangat dianjurkan. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda,’Tidaklah berkumpul sekelompok orang untuk berdzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengerumuni mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan (sakinah) menghampiri mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisinya’.” (HR Tirmidzi).
“Doa khotmil Qur’an itu mustajab (dikabukan Allah SWT). Barangsiapa membaca Al-Qur’an setelah itu ia berdoa, maka para malaikat datang ke langit dunia untuk mengaminkan doanya, “ kata KH Sobirin.

Menjelang berakhirnya acara, KH Sobirin mengajak ribuan jamaah pengajian yang masih setia menunggu itu untuk mendawamkan doa bulan Rajab dan Sya’ban yang dibaca setiap shalat lima waktu yakni Allohuma barik lana fi rajab wa sya’ban wa ballighna ramadhan.(Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan). “Nanti pada malam 27 Rajab, saya mengajak jama’ah untuk melakukan muhasabah dan mengamalkan serta membaca doa Rajab wa Sya’ban sebanyak 1001 kali ba’da shalat malam (hajat). Semoga Indonesia jauh dan bala dan bencana serta doa-doa kita diijabah oleh Allah SWT, Amin!” tutup KH Sobirin.
Tepat dinihari pukul 01.00 suasana kabut malam semakin dingin. Acara ini kemudian ditutup doa oleh KH Ahmad Sobirin Syamsuri dan ja’maah kemudian pulang ke rumah masing-masing untuk semakin mencintai Allah SWT dan Rasulullah SAW. (*) Aji Setiawan, Purbalingga

http://majalah-alkisah.com/index.php/berita-terhangat/879-isra-miraj-mt-raudlotul-quran-purbalingga-jauhkan-indonesia-dari-bala-dan-bencana

Syekh Akbar Abdul Fatah, Cidahu Tasikmalaya Jawa Barat


“Si Linggis” dari Desa Cidahu

Ia adalah salah seorang wali besar di Tanah Jawa. Sejak muda ia sudah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya yang sangat tajam setiap kali mengkaji ilmu-ilmu agama dengan pendekatan tasawuf.

Di Desa Cidahu, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1884, lahirlah seorang jabang bayi yang kelak menjadi ulama besar. Orangtuanya memberinya nama Abdul Fatah. Sejak muda ia sudah tertarik pada kehidupan rohaniah dengan menimba ilmu tarekat pada K.H. Sudja’i, guru mursyid Tarekat Tijaniyah, selama tujuh tahun sejak 1903.
Selama menjadi santri, Abdul Fatah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya terhadap berbagai ilmu agama yang sangat tajam. Terutama ketika ia menganalisis dengan menggunakan ilmu nahu dan saraf dengan pendekatan tasawuf. Ia suka belajar dengan membaca berbagai kitab, sehingga beberapa pelajaran yang belum sempat disampaikan oleh gurunya sudah ia kuasai.
Suatu hari, ia membaca ayat 17 surah Al-Kahfi, “Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, dia termasuk orang yang diberi petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, dia sekali-sekali tidak akan mendapatkan seorang wali yang mursyid.” Ia lalu bertanya kepada Kiai Sudja’i, “Siapakah wali mursyid yang dimaksud dalam ayat ini?” Kiai Sudja’i menjelaskan perihal wali mursyid sebagai guru tarekat, sementara mencari wali mursyid merupakan keharusan. Tapi, karena Kiai Sudja’i mengaku bukan wali mursyid, Abdul Fatah disarankan untuk mencari wali mursyidnya.
Maka berangkatlah Abdul Fatah mencari wali mursyid dengan mengunjungi para ulama di Jawa dan Sumatra. Karena belum menemukan, ia lalu mencarinya ke Timur Tengah, khususnya Mekah. Maka pada 1922 ia pun berangkatlah, dengan membawa seluruh anggota keluarganya. Sampai di Singapura, kapal yang mereka tumpangi rusak. Terpaksalah ia bermukim di Negeri Singa itu. Ia tinggal di Kampung Watu Lima, kemudian di Kampung Gelang Serai, selama lima tahun. Di sanalah ia, suatu hari, bertemu Syekh Abdul Alim Ash-Shiddiqy dan Syekh Abdullah Dagistani, yang mengajarkan Tarekat Sanusiyah.
Pada 1928, setelah memulangkan keluarganya ke Tasikmalaya, ia berangkat ke Mekah bersama beberapa jemaah haji Indonesia, seperti K.H. Toha dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, dan K.H. Sanusi dari Pesantren Syamsul Ulum, Gunungpuyuh, Sukabumi (lihat Alkisah edisi 17/III/2005, Khazanah). Selama di Mekah, Abdul Fatah bergabung dengan Zawiyah Sanusiyyah di Jabal Qubais, mengaji kepada Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi selama lima tahun.
Karena sangat alim, belakangan Abdul Fatah mendapat kepercayaan membaiat atau menalkin murid tarekat yang baru masuk. Selama belajar tarekat kepada Syekh Ahmad Syarif, ia sempat mengalami berbagai ujian. Suatu hari, ketika tengah mengajar, Syekh Ahmad Syarif mengamuk dalam majelisnya. Apa saja yang ada di dekatnya dilempar ke arah murid-muridnya. Semua muridnya lari berhamburan karena takut. Namun, ada seorang murid yang bergeming, tetap diam di tempat. Dialah Abdul Fatah.

Kursi Istimewa
Sebagai guru mursyid tarekat, Syekh Ahmad Syarif biasa duduk di kursi istimewa, dan tak seorang pun berani mendudukinya. Mengapa? Sebab, siapa yang berani mendudukinya, badannya akan hangus. Suatu hari Syekh Ahmad memerintahkan Abdul Fatah untuk menggantikannya mengajar. Maka dengan tenang Abdul Fatah duduk di kursi istimewa itu, tanpa ada kejadian apa pun yang mencelakakannya.
Akhirnya, pada suatu hari, Syekh Ahmad Syarif memanggilnya. Ia menceritakan, semalam Rasulullah SAW memerintahkan untuk melimpahkan kekhalifahan Tarekat Sanusiyah kepada Abdul Fatah Al-Jawi untuk dikembangkan di negerinya. Sejak itu Abdul Fatah mendapat gelar Syekh Akbar Abdul Fatah. Setelah itu, lebih kurang dua tahun kemudian, Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi pun wafat.
Pada 1930, Syekh Akbar Abdul Fatah pulang kampung dengan membawa ajaran Tarekat Sanusiyah, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tarekat Idrisiyah karena tiga alasan. Pertama, untuk berlindung dari tekanan politik kaum kolonialis Belanda. Kedua, kandungan ajaran kedua aliran itu sama, karena Idrisiyah juga merupakan anak Tarekat Sanusiyah, yang sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad bin Idris. Ketiga, untuk mendapatkan berkah Syekh Ahmad bin Idris atas keistimewaan lafaz zikirnya yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan Nabi Khidlir, yaitu Fi kulli lamhatin wa nafasin ‘adada ma wasi’ahu ‘ilmullah.
Di Cidahu, Syekh Akbar Abdul Fatah menghadapi berbagai tantangan, baik dari penjajah Belanda maupun para jawara. Namun semua itu ia hadapi tanpa takut sedikit pun. Tiga tahun kemudian ia mulai mendirikan beberapa zawiah di beberapa tempat, terutama di Jawa Barat, masing-masing dilengkapi dengan sebuah masjid, Al-Fatah. Pada 1930, ia sempat berdakwah sampai ke Batavia, singgah di Masjid Kebon Jeruk, kini di kawasan Jakarta Kota. Ia juga sempat mengembangkan tarekat di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Suatu hari ia mengembangkan tarekat di Masjid Al-Falah di Batutulis, kini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Di sana ia juga harus menaklukkan para jawara. Dan sejak itu syiar dakwah Islam terus berkembang. Banyak muridnya yang kemudian mewakafkan tanah untuk digunakan sebagai zawiah. Ia juga membangun sebuah asrama untuk tempat tinggal para santri dari jauh. Di tengah kesibukannya mengajar di Batavia, dua minggu sekali ia menyempatkan diri mengajar di kampung halamannya.
Pada 1940, karena pesantrennya di Cidahu sudah tidak bisa menampung jemaah, ia lalu memindahkannya ke Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya.
Sebagai wali, Syekh Akbar Abdul Fatah memiliki banyak karamah. Suatu hari, dalam perang kemerdekaan, pasukan Hizbullah, yang terdiri dari para santri pimpinan Syekh Akbar Abdul Fatah, dibombardir oleh pesawat Belanda. Namun, bom-bom itu tidak meledak. Apa pasal? Karena Syekh Akbar Abdul Fatah telah membekali para santrinya dengan air yang telah didoainya. “Air doa” sang wali inilah yang, atas izin Allah SWT, menangkal bom-bom penjajah kafir tersebut.

Perampok Arab
Suatu hari seorang nelayan terdampar sampai ke pantai Australia. Ia kemudian berdoa, “Ya Allah, mengapa Engkau asingkan aku yang lemah ini di sini? Padahal, aku hanya bermaksud mencari nafkah buat anak-istriku. Ya Allah, datangkanlah penolong.” Ketika itulah ia melihat seorang ulama bertubuh tinggi besar berpakaian serba putih. Tiba-tiba ia memindahkan perahu nelayan itu ke tempat asalnya. Setelah selamat, nelayan itu menawarkan ikan besar yang baru saja ditangkapnya kepada ulama penolongnya itu.
Dengan tersenyum, ulama tersebut berkata, “Aku tidak membutuhkan ikan itu. Jika engkau ingin menjumpaiku dan menjadi muridku, datanglah ke Pagendingan, Tasikmalaya.” Setelah itu ulama tinggi bear itu pun lenyap dari pandangan mata. Selang beberapa minggu kemudian, nelayan itu datang ke Pesantren Pagendingan. Di sana ia bertemu seorang ulama yang fisik dan gerak-geriknya persis seperti yang ia lihat di pantai Australia. Ia tiada lain adalah Syekh Akbar Abdul Fatah.
Karamah yang lain terjadi ketika Syekh Akbar Abdul Fatah berada di Mekah. Suatu hari ia ingin berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah. Membawa bekal secukupnya, bersama beberapa kiai dari Jawa, ia berjalan kaki menuju Medinah. Di tengah perjalanan, rombongan itu diadang perampok bersenjata lengkap. Rombongan peziarah itu terkepung oleh perampok yang mengendarai kuda dengan menghunus pedang. Syekh Akbar lalu memerintahkan rombongannya melepaskan apa saja yang ada di tangannya ke kanan dan kiri, sebagai kepasrahan seorang hamba yang lemah tak berdaya.
Sambil melepaskan apa yang dimiliki, Syekh Akbar berteriak dengan suara lantang, ”Ash-shalatu was salamu ‘alaika ya Rasulallah! Qad Dhaqat hilati, adrikni ya Rasulallah!” (Selawat dan salam serajahtera atas Tuan, wahai Rasulullah! Mohon lenyapkan rintangan jalan kami menuju engkau, wahai Rasulullah!). Ajaib! Kontan para perampok itu berteriak-teriak kesakitan sambil memegang leher mereka, “Ampun ya Syekh Jawa, ampun ya Syekh Jawa! Panas, panas!”
Pemimpin perampok itu lalu minta maaf, mohon dibebaskan dari siksaan. Maka Syekh Akbar pun mendekati dan menepuk pundak para perampok itu satu per satu. Barulah rasa sakit karena panas tak terkirakan di tenggorokan itu reda. Seketika itu pemimpin perampok menyatakan bertobat, dan bersedia mengantarkan rombongan ke mana saja. “Kalian adalah bangsa Arab yang berdekatan dengan kampung Rasulullah SAW, sedangkan kami datang dari negeri yang sangat jauh – tapi demi berziarah kepada Rasulullah SAW. Tidakkah kalian malu melakukan hal yang tidak terpuji ini? Sudah sepantasnya kalian lebih berbangga daripada kami, karena negeri kalian dikunjungi banyak orang dari seluruh pelosok negeri.”

Syekh Akbar Abdul Fatah wafat pada 1947 dalam usia 63 tahun, dimakamkan dalam kompleks Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Jalan Raya Ciawi Km 8, Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sejak itu pemimpin Tarekat Idrisiyah diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Dahlan. Pada 11 September 2001 Syekh Dahlan wafat, dan tongkat kepemimpinan tarekat diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan. (***)Aji Setiawan

KH. Ahmad Djazuli Utsman, Ploso Kediri


Sang Blawong Pewaris Keluhuran

Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala KH. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyarakat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
(***) Aji Setiawan