Minggu, 30 Desember 2012

Banyumas Bershalawat Menyambut Tahun Baru 2013









Album Maulid
Banyumas Bersholawat
Sekalipun berdesak-desakan, puluhan ribu warga Nahdhiyin Banyumas pada Hari Minggu (30/12) tampak antusias untuk mengikuti acara Banyumas Bersholawat dalam rangka menyambut Tahun Baru 2013 yang digelar oleh Pemkab Banyumas

Alun –alun Bannyumas yang biasanya ramai dengan anak-anak muda nongkrong , pada hari Minggu 30 Desember 2012 telah penuh sesak oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah yang menghadiri acara Banyumas Bersholawat bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dari Solo. Selain itu, Banyumas Bersholawat ini digelar untuk menyambut Acara Tahun Baru 2013 dengan tujuan agar masyarakat introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan dalam satu tahun terakhir. Dari hasil evaluasi diri tersebut masyarakat diharapkan dapat menjalani kehidupan satu tahun ke depan.
Sembari menunggu para pembicara hadir, jamaah dihibur oleh Kelompok Hadrah dan Shalawat “Ahbabul Musthofa” yang menampilkan tembang-tembang shalawat pilihan.Sekalipun berdesak-desakan, masyarakat Bannyumas tampak antusias untuk mengikuti acara yang digelar oleh Pemkab Bannyumas. Ribuan pedagang tampak mengelilingi alun-alun mulai dari pedagang VCD, pamlet, minyak wangi, makanan dan minuman dll berbaur menjadi satu memenuhi alun-alun yang terletak di jantung kota Banyumas, Jawa Tengah.
Acara yang bertajuk Banyumas bershalawat ini dihadiri Bupati Banyumas Drs H Marjoko, MM , Kapolres Banyumas AKBP Dwiyono, MSIK dan aparat Muspika Kab Banyumas.
Acara Banyumas Bersholawat dimulai tepat pukul 20.00 dengan pembacaan Maulid Simthud Durar mahakarya Habib Ali bin Muhammad Husein Al Habsyi yang dipimpin langsung oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf. Disela-sela pembacaan Maulid, Habib Syech melantunkan beberapa tembang shalawat yang sontak diikuti secara kompak oleh puluhan ribu jamaah dengan bernyanyi bersama sambil melambaikan tangan bersama. Tampak ratusan liukan bendera berdominasi warna hijau menyemarakan suasan. Mereka mengibarkan bendera Nahdlatul Ulama, Ansor, Jamaah masjid, Majlis Taklim, pondok pesantren dll. Tepat pukul 22.00 Habib Syech sebagai satu-satunya pembicara malam itu menyampaikan maudizah hasanah tentang pentingnya pentingnya kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Selain itu dalam menyambut tahun baru 2013 ini Habib Syech memberikan pesan kepada jamaah Ahbabul Musthofa untuk tidak ikut-ikutan seperti anak muda jaman sekarang yang merayakan Tahun baru dengan acara hura-hura seperti konvoi di jalan, meniup terompet dan pesta anak muda namun mengajak jamaah untuk memperingati tahun baru 2013 ini dengan kegiatan yang positif di lingkungan masing-masing, seperti dengan makan bersama keluarga atau mengaji di lingkungan masing-masing.
Sungguh semoga tahun baru ini diawali dengan kebaikan dan diakhiri dengan kebaikan pula. Janganlah tahun ini diawali dengan maksiat dan diakhiri dengan maksiat.”
Ditambahkan oleh Habib Syech, hidup di dunia ini hanya sementara karena itulah sisa umur ini diisi dengan ketaatan kepada Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam kesempatan itu juga Habib Syech mengajak kepada jamaah untuk menanamkan sifat khusnudzan (prasangka baik) dengan orang-orang yang disekeliling kita. Sebab dengan berprasangka baik, insya allah akan mendapatkan kenikmatan. Menyitir ungkapan Habib Ali Al Habsyi dimana Habib Ali Al Habsyi bernah berkata,”Hatiku ini kalau dibuka dipenuhi dengan khusnudzhan. Allah SWT pasti akan memandang hamba-hamba yang senang berhusnudzan.”
Habib Syech lalu mengisahkan tentang pentingnya khuszundzan seperti yang dialami oleh Abu Yazid Al Bustomi. Suatu hari Abu Yazid dipukuli oleh seorang pemuda yang sedang mabuk. Sehabis dipukuli oleh pemuda yang mabuk hingga berdarah, Abu Yazid pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan orang-orang dan menyatakan baru dipukuli oleh seorang pemuda yang sedang mabuk. Namun, Abu Yazid Al Bustomi melarang orang-orang untuk membalas dendam, bahkan mendoakan pemuda itu kelak bisa bertaubat dan menjadi ahli surga.
Tentu saja orang-orang sangat marah dengan perbuatan pemuda itu. Lalu orang-orang mencari pemuda itu dan akhirnya ketemu.
Kamu tahu siapa orang yang kamuy pukuli itu?”
Tentu saja pemuda pemabuk itu tidak tahu.
Dia adalah orang mulia, Abu Yazid Al Bustomi,”
Pemuda itu lalu menyesal dan lalu menyatakan diri menjadi murid Abu Yazid Al Bustomi.
Demikian pula tantangan berdakwah yang menimpa dengan Rasulullah SAW saat beliau di Thaif, Rasulullah SAW dilepari batu hingga berdarah. Apa kata Rasulullah SAW?
Rasulullah SAW mempunyai sifat pengasih dan mulia itu menjawab,”Saya hanya berharap kepada Allah SWT. Jika mereka tidak menjadi muslim ,semnga pada suatu saat nanti anak-anak mereka akan menjadi orang-orang yg menyembah dan beribadah kepada-Nya.”
Ditambahkan Habib Syech, Rasulullah SAW diutus dengan membawa Rahmat. “Wa ma arsalnaka illa Rahmatan lil ‘alamin.”
Rahmat Allah akan diturunkan karena saling mencintai karena Allah SWT.”Mudah-mudahan Banyumas dan sekitarnya ini semakin mencintai Rasul dengan maraknya majlis-majlis shalawat dan menjadi tempat yang aman, jauh dari ancaman dan bala. Mudah-mudahkan kita Allah menjaga Akidah kita, Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah.”
Sekitar pukul 00.00 dini hari, acara kemudian ditutup dengan pembacaan doa oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dan jamaah kemudian pulang ke rumah masing-masing membaca kecintaan kepada Allah SWt dan Muhammad SAW.(***) Aji Setiawan


1. Lead
2. Suasana Mahalul Qiyam. Mengharap rahmat dan barakah maulid .
3. Jamaah membludak menutupi alun-alun. Tidak beranjak hingga larut malam

Minggu, 09 Desember 2012

Foto-foto Pengajian Budaya Bersama Cak Nun dan Kyai Kanjeng , Lap Karanggambas, Purbalingga. Sabtu (8/12) , 2012










Pengajian Budaya Bersama Cak Nun di Karanggambas Padamara

Anak-anak muda yang berjoged ria mengikuti dendang rebana, seolah melupakan sejenak kepenatan kehidupan. Tembang shalawat mengalun merdu diiringi rampak rebana. Sontak ribuan jamaah ikut menyanyikan senandung merdu lagu shalawat yang dibawakan, menjadi koor yang indah membawa suasana penuh kecintaan dan puncak kehasyahduan ruhani kepada sang Pencipta kehidupan.
Tampak Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU  menjaga tempat acara dari sekitar 2 kilo sebelum acara digelar sampai lapangan Karanggambas demi tertibnya acara. Para penonton menitipkan kendaraan baik roda dua maupun roda empat di pinggir jalan sepanjang menuju tempat acara. Muda-mudi, baik tua maupun muda berjalan beriringan dengan memakai baju takwa dan mereka lalu menempati duduknya di atas tikar di dalam komplek lapangan.
Demikianlah panggung pengajian budaya bersama Emha dan Kyai Kanjeng yang digelar , malam itu, Sabtu (8/12) suasana pengajian yang digelar di lapangan Karanggambas, Kec Padamara Kab Purbalingga menjadi sarana bertemu berbagai kalangan masyarakat baik itu dari pejabat maupun kalangan masyarakat biasa. Acara dibuka ba’da shalat Isya dengan pembacaan Maulid Simthud Durar yang diiringi hadrah rebana Darul Falah dari Ds Karang Gambas, Kec Padamara.
Acara bersambung dengan pengajian budaya yang dipimpin langsung oleh Emha Ainun Nadjib. Dalam kesempatan itu budayawan, Emha Ainun Najib alias Cak Nun mengungkapkan, tidak ada orang atau kelompok orang yang melarang manusia untuk beribadah sesuai agamnya. Orang Islam juga tidak boleh menilai bahwa cara yang dilakukan oleh organisasi tertentu itu termasuk haram.
Cak Nun mengibaratkan Islam itu sebagai sepotong ketela. Dari ketela itu diolah oleh manuia menjadi berbagai macam penganan. Ada getuk, cimplung, ciwel, kripik dan sebagainya. Aneka makanan itu menjadi kiasan bagi cara manusia untuk mendalami agama.
Menurut Cak Nun, NU, Muhammadiyah, LDII lan sedayanipun, niku sanes agama, namung dalan kangge ngaji sinau agama (NU, Muhammadiyah, LDII dan sebagainya, itu bukan agama, hanya jalan untuk ngaji belajar agama).
“Jadi, yang berhak menyatakan haram itu Alloh. Bila masing-masing menganggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, berarti mereka belum bisa membedakan apa itu ketela, apa itu getuk. Ia menegaskan, bahwa manusia tidak usah menggantikan perannya Alloh,” kata Cak Nun pada pengajian dalam rangka peringatan 1 Muhaaram di lapangan Desa Karanggambas Kecamatan Padamara, Purbalingga (Jateng), Sabtu (8/12/2012) malam.
Diungkapkan Cak Nun, jika ada yang makan getuk itu marah-arah dengan yang makan kripik, itu berarti tidak baik. “Lah wong asale nggih sami, asale niku saking tela, nggih napa mboten? (Sebab asalnya juga sama. Jadi jangan bertengkar hanya karena perbedaan makan getuk dan kripik)," kata penyair kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 itu.
Tausiah yang santun dan berwibawa itu diselingi dengan menampilkan sholawat atas Nabi Muhammad SAW. Dengan iringan musik gamelan yang dibawakan oleh Kyai Kanjeng, ribuan pengunjung pun ikut bersholawat. Sebut saja syair Sidnan Nabi, Sholli Wasalimda, Sholawat Badar, Lir Ilir dan Tola'al Badru . Tidak ketinggalan pula lagu modern dimainkan seperti Pak Tani (Koes Plus) dan Musik (Rhoma Irama).
Sementara KH Supono Mustajab yang mendapat kesempatan kedua mengingatkan tentang celakanya orang yang mempunyai ilmu, kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Celakanya orang-orang yang mengamalkan ilmunya, kecuali orang-orang yang mengamalkannya dengan ikhlas.
Dilanjutkan oleh KH Supono, “Sungguh surga merindukan empat golongan yang jamin masuk surge; orang-orang yang membaca al Qur’an, orang yang menjaga lisan, orang yang member makan dan orang yang puasa di bulan Ramadhan.”
Penceramah ketiga walau singkat, KH AKBP Imam Sutiyono mewakili Kapolres Purbalingga, menyampaikan pentingnya shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.”Senandung shalawat yang dilantunkan sungguh mendamaikan hati dan membuat hati menjadi lembut. Apalagi senandung yang dilantunkan adalah shalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW. Shalawat sesungguhnya dicontohkan langsung Allah SWT dan termasuk bagian dari dzikir sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imron:191.
Dalam kesempatan terakhir Wakil Bupati Purbalingga, H. Sukento Ridho M, MM, yang turut menemani jama’ah dari awal acara sampai akhir acara menyambut dengan rasa kegembiraan atas pengajian budaya yang digelar.”Ini menunjukan masyarakat Purbalingga berakhlaq mulia. Dengan digelarnya acara ini semoga masyarakat Purbalingga semakin makmur, jauh dari bencana dan keluarga menjadi mawadah, warohmah dan sakinah.”
Acara kemudian dipungkasi dengan mahalul Qiyam dan ditutup dengan doa oleh KH Supono Mustajab tepat pukul 12.00 malam. (Aji Setiawan).   

Sabtu, 06 Oktober 2012

Gema Shalawat Bersama Jamrud Lider

 
Indonesia Diuntungkan Dakwah Kyai dan Habaib

“Inilah yang mempererat kebersamaan di antara kita, agar masyarakat tidak saling bermusuhan dan terpecah belah. Ini sudah diteliti oleh para peneliti bangsa Jepang, bahwa Indonesia ternyata diuntungkan oleh dakwah Kyai dan Habaib. Kalau tidak ada majlis-majlis seperti ini, dijamin masyarakat bejad moralnya!” kata KH Budi dengan penuh semangat.

Lantunan shalawat dan nyanyian senandung rindu berkumandang dari ribuan manusia yang memadati ruas-ruas jalan di pertigaan Desa Kutawis Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga-Jawa Tengah. Malam itu, Sabtu malam(6/10)  t2012, jama'ah rutin Maulid Simthud Duror Lintas Daerah (Jamrud Lider) mengadakan acara tabligh akbar bertajuk gema shalawat Bersama Jamrud.
Acara rutinan Jamrud memang menjadi arena pengajian yang mampu mengisi ruang ruhani masyarakat sehingga acara ini tersebar luas tidak hanya di wilayah Kab Purbalingga saja, namun sudah menyebar sampai Kab Banjarnegara, Banyumas, Wonosobo bahkan Cilacap. Jamaah tidak hanya didominasi oleh kalangan muda saja, namun juga oleh bapak-bapak dan ibu-ibu bahkan anak-anak kecil ikut larut dalam senandung shalawat bersama. 
Kurang lebih satu kilometer sebelum tempat acara digelar 3 ruas jalan utama telah ditutup dan sebagian dijadikan area parkir untuk kendaraan roda dua maupun roda empat. Prkatis, jamaah harus berjalan kaki menuju tempat acara dan mulai menempati tempat duduknya masing-masing di jalan raya Kutawis-Banjarnegara dengan bergelarkan karpet atau tikar.  
Acara yang berlangsung selepas waktu shalat Isya itu dibuka dengan tembang shalawat diikuti dengan iringan kibaran bendera dominasi wana hijau dari berbagai majlis taklim dan jamaah maulid yang tersebar di wilayah perbatasan Kab Purbalingga dan Banjarnegara itu. Ribuan manusia larut dalam suasana khidmat dan kesyahduan menyenandungkan rasa mahabah kepada Rasulullah SAW.
Selepas pembacaan maulid Simthud Durar maha karya Habib Ali bin Muhammad Husein Al Habsyi, acara bersambung dengan sambutan dari KM Ali Charisudddin mewakili Panitia yang bersambung dengan sambutan Wakil Bupati Purbalingga, H Sukento M, MM. Dalam sambutannnya Wakil Bupati menyambut gembira adanya acara-acara keagamaan dan maulid yang ada di Kab Purbalingga.
”Acara ini merupakan wujud nyata dari salah satu visi Kabupaten Purbalingga agar masyarakat Purbalingga akhlaqnya semakin baik. Sehingga Purbalingga aman, makmur dan sejahera serta pembangunan di harapkan lancar,” kata Wakil Bupati Kab Purbalingga, Jawa Tengah kepada jama'ah yang hadir.
Selepas sambutan dari Ketua Jamrud, Habib Ali bin Umar Al Quthban, pembicara utama yang ditunggu-tunggu KH Budi Harjono yang juga pengasuh  Pondok Pesantren Al Islah, Meteseh, Tembalang dari Semarang sekitar 1,5 jam menyampaikan tausyiah utama.
Dalam muidzah hasanah yang disampaikan dengan gaya santai itu selain mengungkap pentingnya majlis-majlis pengajian dan shalawatan, KH Budi Harjono juga mengajak jamaah untuk semakin mencintai Rasulullah SAW.
KH Budi Harjono berkisah di mana beberapa hari yang lalu baru bertemu Muryid Thariqah Naqsabandiyah Haqqaniyah , Syekh Hisyam Kabbani di daerah Condet, Jakarta Timur. Dalam pertemuan itu, Syeikh Hisyam mengungkap kegembiraan dan kecintaannya kepada tanah air Indonesia.”Di dunia ini ada dua tempat yang saya cintai. Pertama, kota Mekkah-Madinah karena di sana ada Ka’bah dan makam Rasulullah SAW. Kedua, Indonesia. Karena di langit Indonesia ini bertabur bintang-bintang cahaya. Majlis-majlis maulid dan ilmu tersebar di berbagai pelosok Indonesia,” kata KH Budi menirukan Syaikh Hisyam.
KH Budi melanjutkan orasinya, bahwa Majlis-majlis maulid yang banyak digelar di Indonesia ini. Sesungguhnya menjadi arena “srawung”(semacam bertemu dan berkumpul bersama) agar perjalanan kehidupan ini tidak sepi.
“Inilah yang mempererat kebersamaan di antara kita, agar masyarakat tidak saling bermusuhan dan terpecah belah. Ini sudah diteliti oleh para peneliti bangsa Jepang, bahwa Indonesia ternyata diuntungkan oleh dakwah Kyai dan Habaib. Kalau tidak ada majlis-majlis seperti ini, dijamin masyarakat bejad moralnya!” kata KH Budi dengan penuh semangat.       
Diselingi dengan shalawatan dengan sulukan langgam tembang jawa dan disambut dengan koor bersama dan diringi tetabuhan rampak rebana jamaah Simthud Durar  yang membawa jamaah pada samudra kecintaan kepada Rasulullah SAW.
KH Budi Harjono juga mengingatkan jamaah untuk tidak gumunan (heran) dengan gerakan gelombang budaya dan agama yang terjadi di Barat. “Shalawatan dengan diiringi musik rebana di Indonesia jauh lebih tua di bandingkan dengan apa yang terjadi di Barat. Lagu sulukan dan shalawatan telah dikembangkan Wali Songo sejak Islam pertama masuk Indonesia. Cat Steven atau yang dikenal Yusuf Islam baru belajar rebana dan mengembangkan di Eropa, ini setelah ia masuk Islam dan berkunjung ke Indonesia. Bahkan thoriqoh dan aliran tasawuf yang berkembang di Amerika yang sekarang sedang marak, ternyata aliran thoriqoh di Indonesia jauh lebih dahulu berkembang.”
Ia juga mengingatkan pentingnya shalawat, di mana dalam majlis-majlis semacam shawalatan bersama ini tiada lain untuk menumbuhkan kedalaman cintanya kepada Rasulullah SAW. “Nabi Muhammad SAW diutus sebagai petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat, lahir dan bathin. Semoga masyarakat Purbalingga dikaruniai sifat-sifat mahmudah (baik) yang pernah dianugrahkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Meteseh ini kepada ribuan jamaah.
Jama'ah tidak beranjak dari tempat duduknya, karena gaya ceramah KH Budi Harjono penuh ger-geran yang menyegarkan sehingga tidak membuat ngantuk. Di akhir acara KH Budi Harjono mengijazahkan doa mahabbah kepada jamaah agar semakin dicintai Rasulullah SAW dan meraih cinta Allah SWT. Wirid doa itu adalah “Allahumma inni as-aluka hubbaka wa hubba man yuhibuka wal ‘amalal ladzi yuballlighuni ila hubbika.” (Ya Allah, aku memohon limpahan cinta-Mu,, cinta orang yang mencintai-Mu, dan setiap amal yang menyampaikanku kepada cinta-Mu). Acara pun ditutup derngan doa oleh KH Budi Harjono tepat pukul 01.00 dini hari.(***)

Aji Setiawan, Purbalingga
  
Caption :

1.   Lead
2.   Iringan rebana Jamrud Lider, Menyemarakan suasana
3. KH Budi Harjono. Diuntungkan dakwah Kyai dan Habaib
3. Jamaah membludak menutupi jalan raya. Menyimak mauidzah hasanah
             

Sabtu, 29 September 2012

Purbalingga Bersholawat 2012



Syeikh Hisyam dan  Habib Syech Shalawatan di Purbalingga
Habib Syeikh Hisyam Al Kabbani bersama Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf (Solo) menggelar Mawlid dan Shalawatan bersama di Alun-Alun Kabupaten Purbalingga. Acara yang bertajuk “Purbalingga Bersholawat” ini pun tak pelak dipenuhi puluhan ribu pengunjung.

Kedatangan Mursyid Thariqah Naqsabandi Al Haqqani Syaikh Hisyam Al Kabbani di Indonesia dari Amerika Serikat, disambut secara semarak oleh jamma’ah umat Islam Indonesia. Sejak kedatangannya di tanah air Indonesia medio 24 September 2012, beserta rombongan Syaikh Hisyam mengadakan silaturahmi di Majid Raya Pondok Indah, Jakarta Selatan. Acara berlanjut Hari Selasa (25/9) di Zawiyah Haqqul Mubbin, Bintaro. Tak kenal lelah, Hari Rabu (26/9) ia bertemu debgan jama’ahnya di Zawiyah Nurul Haq, Cinere dan Hari Kamisnya (27/9) bersama KH Amir Hamzah mengadakan Maulid bersama di Pondok Pesantren Daarul Ishlah, Buncit, Jakarta Selatan. Menurut rencana, Syaikh Hisyam di Indonesia sampai dengan 3 Oktober 2012.
Hari Sabtu bertepatan dengan 29 September kembali Habib Syeikh Hisyam Al Kabbani bersama Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf (Solo) menggelar Mawlid dan Shalawatan bersama di Alun-Alun Kabupaten Purbalingga. Acara yang bertajuk “Purbalingga Bersholawat” ini pun tak pelak dipenuhi puluhan ribu pengunjung. Jama’ah rela berdesak-desakan memadati areal alun-alun Kab Purbalingga sejak ba’da shalat Isya.
Acara dibuka tepat pukul 21.00 dengan pembacaan Simthud Durar yang dibaca secara estafet oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, Habib Alwi bin Ali bin Alwi Al Habsyi, Habib Umar Bilfagih, Habib Ali bin Umar Al Qitban dan diiringi hadrah rebana Ahbabul Musthofa.
Berlanjut dengan sambutan pembuka oleh Wakil Bupati Purbalingga Jawa Tengah H. Sukento Ridho Marhaendrianto MM, MM yang disambung dengan mauidzah hasanah utama oleh Syaikh Hisyam Kabbani dalam berbahasa arab yang diterjamakan oleh Habib Alwi bin Ali bin Alwi bin Muhammad Husein Al Habsyi dari Surakarta.
Dalam tausyiahnya Syaikh Hisyam menyampaikan pesan cinta kepada jama’ah yang hadir.”Kita berkumpul di tempat yang mulia ini karena panggilan cinta kepada Rasulullah SAW,” kata Syaikh Hisyam.
“Wahai para kekasih Rasulullah SAW, kalian datang pada hari ini karena malam ini bersama Rasulullah SAW. Saat ini kita bershalawat bersama dalam majlis mujtama’ yang sangat besar. Malam ini tangan Allah SWT bersama kita. Allah SWT telah memuliakan Nabi Muhammad SAW dadlam kedudukan yang istimewa. Saat kita menyebut nama Rasulullah SAW, Rasulullah SAW membalas setiap shalawat yang kita sampaikan. Rasulullah SAW bersabda,’Orang yang bakhil atau kikir adalah orang yang apabila disebut namaku, orang tersebut tidak bershalawat kepadaku’.”
Syaikh Hisyam juga mengisahkan tentang keberuntungan para sahabat yang hidup semasa Rasulullah SAW.”Lihatlah para sahabat Rasul SAW yang berkumpul dalam majlis-majlis Rasulullah SAW. Mereka mencapai kedudukan mulia karena mereka duduk dan dapat memandang wajah Rasul dan Rasulullah SAW memandang wajah mereka. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat memandang wajah Rasulullah SAW.”
Kemudian Syaikh Hisyam kembali bercerita tentang kedudukan mulianya umat Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Musa AS mengatakan kedudukan yang mulia umat Nabi Muhammad SAW, Nabi Musa memohon kepada Allah SWT agar dipertemukan dengan umat Nabi. Nabi Muhammad SAW lalu mengutus Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali untuk menemui Nabi Musa AS.
Nabi Musa AS bertanya kepada Imam Ghazali,”Siapa namamu?”
Imam Ghazali menjawab,”Abu Hamid bin Muhamad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali.”
Mendapat jawaban yang sedemikian panjang, Nabi Musa AS kembali bertanya,”Kenapa engkau ini? Kenapa engkau sebut semua kakekmu, bapakmu dan moyangmu?”
Al Ghazali menjawab,”Ya Musa, bagaimana aku hendak menjawab namaku yang sedemikian panjang. Karena namaku ada Muhammad. Dengan nama itu, aku diangkat di sisi Allah SWT. Adapun engkau Ya Musa, padahal Allah SWT maha tahu. Apa yang ada di tangan kanan mu. Itu tongkat. Kenapa engkau menjawab panjang lebar?”
Musa AS menjawab,”Aku menjawab ini dengan panjang lebar, karena aku lebih nikmat. Demikianpun ketika aku menyebut namamu Abu Hamid bin Muhamad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Karena aku merasakan kenikmatan saat menyebut namamu.”
Dilanjutkan,”Inilah umat sejati yang meraih kedudukan mulia di sisi Allah SWT. Kita adalah para pencinta Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf untuk lebih banyak menyebut nama Rasulullah SAW membuat kita semakin dimuliakan oleh beliau. Rasulullah SAW hadir di tengah-tengah kita saat kita sebut namanya. Ketahuilah Allah SWT melimpahkan rahmat Nya saat kita sebut nama Rasulullah SAW. Sekali kita menyebut Rasul SAW, Allah SWT melimpahkan sepuluh rahmat kepada kita. Kita sebut sepuluh, dibalas seratus. Kita sebut seratus, Allah SWT melimpahkan seribu Rahmat-Nya dan seterusnya. Begitulah yang dialami oleh para sahabat Rasulullah SAW saat mereka menyebut Rasulullah SAW.”
Selanjutnya Syaikh Hisyam Al Kabbani menguraikan makna yang terkandung dalam kalimat basmallah. “Di dalam Basmallah ada tiga tempat (huruf mim) yang mempunyai makna tersendiri. Mim pada bismi, merupakan kedudukan sang kekasih Allah SWT yakni Ahmad. Kedua mim pada Ar-Rahman, adalah panggilan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diabadikan dalam Al Qur’an,”Sungguh Aku mengutus seorang Rasul tiada lain untuk menyebarkan rahmat bagi alam semesta (Rahmatan lil Alamin).  Dan ketiga mim pada Ar-Rahiem adalah menandakan sifat Nabi Muhammad SAW. Sungguh Nabi Muhammad SAW mempunyai sifat yang sangat penyayang kepada umat yang beriman.” 
Sealin mengupas tentang kandungan makna ayat Al Qur’an, Syaikh Hisyam tidak lupa mengajak jamaah untuk semakin mendawamkan shalawat. “Kita menjunjung tinggi Rasulullah SAW itu karena perintah Al Qur’an. Jadikan shawalat sebagai dzikir setiap saat agar hati kita tentram dan tidak lupa kita meneladani ahlak Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari,” demikian pesan terakhir Habib Syeikh.
Selepas beberapa lagu shalawat yang mendapat antusiasme dari jamaah dengan melambaikan bendera atau tangan sambil menggerakan badan ikut bershalawat bersama berbarengan dengan iringan rebana yang rampak. Habib Syech tepat pukul 24.00 menutup Purbalingga Bersholawat dengan mahalul Qiyam dan doa.(*) Aji Setiawan, Purbalingga

Sabtu, 22 September 2012

Merindu Nasionalisasi Indonesia

Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.

Manusia berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidakpeduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin "siapa tahu" dan "kalau-kalau" menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan 'wi' telah menyekunderkan 'Joko'. 'Wi' itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.
Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
"Jokowi" itu nama yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam "harus jelek" bahkan "miskin, bodoh, dan pemarah". Ditambah Bowo pula.
Kalau "Prabowo" masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum "wong Jowo".
Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus "mudik ke Jawa". Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.

Bukan kendaii manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak liniei; meskipun kita menitinya melalui garis Tinier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang balk dan benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka balk terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi "Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah."

Mencari asal.
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur "sangkan paran", bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada din sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka is yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Se-mar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, "Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di, Bumi". Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa "bukan ini Indonesia". Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
(EMHA AINUN NADJIB, KOMPAS, 22 September 2012)

Sabtu, 09 Juni 2012

Selingan

















Ahbaabul Mushofa Fans Club
Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf

Keunikan penggemar Habib Syech selain berpakaian, sarung, baju, sorban, dan songkok putih syechermania juga membawa bendera dari ukuran kecil, sedang sampai besar yang siap dilambai-lambaikan saat alunan rebana berpadu dengan suara emas Habib Syech. Mereka juga melambaikan tangan dan badan mengikuti alunan musik mirip fans band-band papan atas

Band-band ternama Indonesia mempunyai fans club masing-masing. Sebut saja Iwan Fals mempunyai OI, Slank dengan Slankernya. Demikian pula klub sepakbola punya fansclub fanatik seperti Persebaya dengan Arek-arek Suroboyo (bonek), Persija dengan Jakmania, Arema dengan Aremania dll. Namun tak ketinggalan dengan suara emas Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf , habib asal Solo ini mempunyai jutaan penggemar yang tersebar seantero negeri dan mereka tergabung dalam Jamaah Ahbaabul Mushofa Fans Club.
      Kreatifitas itu tidak terbatas pada orang-orang yang banyak bergerak seperti band-band papan atas yang mempunyai organisasi penggemar. Sebut saja Iwan Fals mempunyai organisasi Orang Indonesia (OI) yang terorganisasi rapi hingga daerah-daerah. Demikian juga band-band papan atas lainnya yang mempunyai banyak penggemar yang cukup banyak meski belum terorganisasi dengan rapi. Rupanya fans-fans berat itu yang jumlahnya sangat banyak itu kemudian membentuk organisasi penggemar.
    Penggemar berat Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkan kecintaan kepada Habib yang sedang naik daun ini. Di setiap acara ada ribuan pedagang tampak mengelilingi alun-alun mulai dari pedagang VCD, pamlet, minyak wangi, makanan dan minuman dll berbaur menjadi satu dengan jamaah memenuhi tempat acara shalawatan. Mereka turut menyumbang besar akan keberhasilan dan memeriahkan acara shalawatan Habib Syech ini.
    Syech Abdul Qadir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf (tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Assegaf di Pasar Kliwon Solo). Berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayahnya, Habib Syech mendalami ajaran agama dan akhlak leluhurnya.
    Syech Abdulkadir juga memperoleh pendidikan dari paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout. Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Habib Muhammad Anis bin Alwiy al Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rosul yang diawali dari Kota Solo.
    Waktu demi waktu berjalan mengiringi syiar cinta Rosulnya, tanpa di sadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama’ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosul SAW dalam kehidupan ini, mereka kadang biasa disebut sebagai Syecher mania dari Ahbaabul Mushofa Habib Syech.
    Ahbaabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rosul SAW, berdiri sekitar Tahun1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan. Berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthud Duror Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .
    Kegiatan pengajian rutin dan zikir serta sholawat berkembang di berbagai kota seperti Sragen, Kudus, Jepara, Jogja, Solo, Kediri, Sidoarjo, Surabaya dan mulai merambah ke kota-kota Purwokerto, Banjarnegara dan banyak kota lainnya dalam majelis-majelis zikir dan sholawat. Berbagai majelis shalawat yang ia hadiri selalu dijubeli puluhan hingga ratusan ribu jamaah.
Keunikan penggemar Habib Syech selain berpakaian, sarung, baju, sorban, dan songkok putih mereka juga membawa bendera dari ukuran kecil, sedang sampai besar yang siap dilambai-lambaikan saat alunan rebana berpadu dengan suara emas Habib Syech. Mereka juga melambaikan tangan dan badan mengkuti alunan musik mirip fans band-band papan atas. Mereka juga mengorganisir diri sebagai pecinta Habib Syech. Selain bendera, mereka membawa juga poster dan memakai atribut pin yang bergambar Habib Syech.
Seperti diungkapkan seorang Muhibbin, Nur Cholis pemuda asal Purbalingga. Dia mengatakan kecintaan para penggemar kepada Habib Syech mungkin mirip dengan para penggemar Habib Syech. “Tapi para penggemar Habib Syech, adalah gerakan yang positip. Ajakan dan taushiyah Habib Syech selalu menyejukan dan dapat membentengi generasi muda untuk semakin mencintai Rasululloh SAW,”ujar Nur Cholis. Nur Cholis yakin , jamaah Ahbaabul Mushofa ini menjadi salah satu kampanye cinta shalawat dan menjadi pengobat hati jamaah yang ampuh.
Apalagi didukung oleh suara emas Habib Syech yang memang tergolong istimewa dan enak di dengar, meyejukan dan nyaman serta membuat suasana tenang bagi siapa saja yang mendengarnya. Terkadang jamaah menirukan lantunan shalawat Habib Syech menjadi alunan suara koor ribuan jamaah yang merdu dan kompak membawa ke sebuah suasana penuh kesyahduan dan puncak ekstase kerinduan yang mendalam kepada Rasulullah SAW. Kegembiraan dan kesyahduan berbaur menjadi satu sebagai ungkapan penuh cinta kepada Rasulullah SAW.
Sebenarnya isi taushiyah Habib Syech dalam menyampaikan dakwah terbilang biasa-biasa saja bahkan banyak berisi guyonan segar yang membuat jamaah betah duduk di tempatnya hingga akhir larut malam. Namun yang paling penting, suara Habib Syech memang merdu dan mendayu-dayu berbeda dengan pelantun shalawat pada umumnya, sehingga amat wajarlah bila ia mempunyai jutaan penggemar seantero Nusantara bahkan Mancanegara.
Munculnya jutaan fans berat (Syecher) Habib Syech yang bernaung di bawah Majelis Sholawat Ahbaabul Musthofa ini perlu kita sambut positif. Di tengah kepungan jaman yang serba konsumtif dan permisif seperti sekarang ini, dengan syiar Habib Syech melalui gerakan cinta Shalawat, mereka akan semakin cinta kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. (***)


Selasa, 05 Juni 2012

Kerusuhan: Konflik Pelanggaran Hukum Yang Tak Kunjung Usai


Oleh : Aji Setiawan

Kerusuhan massa di Indonesia telah banyak menelan korban jiwa dan harta benda. Kasus Mesuji, Bima, Ternate, Ambon, Temanggung ambilah suatu contoh kasus –kasus yang masih tersisa akhir-akhir ini. Kerusuhan biasanya dimulai dari konflik antarwarga masyarakat yang dipicu masalah sepele, saling ejek dan mencemooh. Kemudian membesar dengan adanya provokator yang ingin mengambil keuntungan. Namun kerusuhan terus terjadi dalam masyarakat tanpa pemerintah dan aparat menanggulanginya. Apakah kekerasan dan pelanggaran hukum dalam era sekarang ini telah menjadi budaya bangsa untuk menyelesaikan masalah?
Pelbagai amuk massa, kekerasan dan kerusuhan yang diikuti agresifitas massa melakukan penjarahan, pembakaran dan tindak kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air sungguh memprihatinkan. Masih kita ingat di penghujung tahun 1997 konflik bernuansa SARA begitu mudah menyulut kerusuhan dari ujung Sabang sampai Merauke. Namun peristiwa amuk massa ini ternyata tidak saja berhenti begitu reformasi bergulir, sisa-sisa konflik paergantian rejim orde baru ke orde reformasi ternyata juga masih menyisakan masalah.
Semua peristiwa tersebut akhirnya menimbulkan spekulasi tentang apa, siapa , mengapa dan tujuan yang dicapi dari latarbelakang pelbagai kerusuhan dengan adanya pendapat adanya provokator yang mengatasi massa agar menjadi beringas melakukan amuk massa. Keadaan ini didorong pula dengan munculnya pelbagai isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, ketika rakyat masih dihadapi krisis moneter , kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi dazn budaya dalam kehidupan masyarakaat Indonesia, seolah-olah semakin mengukuhkan spekulasi tersebut.
Pelbagai diskusi dan pendapat dilontarkan untuk mencari akar masalah amuk massa ini. Namun sampai sekarang tidak ada satu pun dapat mengungkapkan siapa sesungguhnya dalang di balik kerusuhan itu. Pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan gamblang menuding semua ini adalah ulah provokator tanpa mampu menyeret ke depan meja hijau. Benang kusut yang melilit persoalan ini tampaknya begitu rumit dan kompleks diungkapkan dalam waktu singkat. Anehnya, kerusuhan yang bermotifkan ekonomi antara pihak kepentingan pemodal versus rakyat di sisi lain dengan membenturkan aparatus keamanan (kepolisian) dengan rakyat ini terus terjadi tanpa pemerintah Indonesia mampu menanggulanginya dengan menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak dapat dihitung banyaknya dengan tetap menyembunyikan akar masalah kerusuhan dan amuk massa melalui simpul-simpul realitas sosial.
Jika diperhatikan lebih jauh, pelbagai kerusuhan dan agresifitas massa merupakan fenomena (gejala) sosial yang rill dalam kehidupan bangsa yang sedang mengalami perubahan. Artinya, setiap bentuk kerusuhan dan pelanggaran hukum di negeri ini dapat saja terjadi dalam waktu singkat, antara lain karena adanya perubahan hukum disebabkan pengaruh akulturasi internal (Soekanto: Antropologi Hukum 1984). Secara langsung orang dapat merasakan akibat kerusuhan yang meninggalkan luka cukup peduli dengan penderitaan para korban menjadi pengungsi, kehilangan tempat tinggal, harta benda, saudara, orang tua dan anak-anak bagi kehidupan masa depan mereka.
Sebuah gejala sosial dengan dimensi hukum yang memiliki jangkauan pengaruh cukup luas terhadap kehidupan masyarakat. Kerusuhan merupakan suatu bagian integral sisa kebudayaan lama dalam antropologi hukum dari masalah dan konflik suatu bangsa (Pospisil, Leopold, 1968). Bukan saat ini saja tapi juga masa depan bangsa yang tercabik-cabik dengan adanya pertikaian yang dipicu masalah sepele dengan akibat sangat mengenaaskan hati. Sampai jauh ke depan peristiwa kerusuhan di berbagai daerah ini akan menggoreskan tinta hitam bagi perjalan hidup bangsa Indonesia yang menggambarkan adanya budaya kekerasan dalam kehidupan masyrakat yang multietis dan multikultural ini.
Timbul pertanyaan, mengapa bangsa kita begitu mudah melakukan kekerasan ataukah kekerasan telah menjadi budaya bangsa? Apakah pendekatan hukum oleh aparat keamanan tidak mampu mengungkap dalang dan latar belakang kerusuhan? Bagaimanakah mencari akar masalah kekerasan dengan terjadi nya kerusuhan tersebut?

Masyarakat Anomie
Satu hal yang menjadi pusat perhatian dengan merebaknya pelbagai kerusuhan dan amuk massa adalah mencari sumber latar belakang kerusuhan tersebut di ruang pengadilan dan menyeret pelaku kerusuhan untuk mengungkap dalang atau provokator sebenarnya.
Untuk mengungkapnya dapat dilacak dalam setiap gejala sosial yang ada dapat berkembang menjadi fakta hukum untuk terjadinya kegiatan kejahatan yang mengandung asumsi adanya motif dan peran individual atau kelompok menggerakan suatu peristiwa pidana sebagai pokok persoalan terjadinya suatu kejahatan, ini berarti setiap keruhan yang menimbulkan kejahatan dalam kehidupan manusia selalu ada latar belakang menyebabkan terjadinya peristiwa pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan sebagai faktor pencetus suatu pelanggaran hukum.
Alasannya sangat sederhana. Sangat kecil kemungkinan bahwa suatu pelanggaran hukum terjadi begitu saja tanpa ada yang memicunya atau pencetus dari suatu relasi sebba akibat dengan terjadinya kerusuhan tindak kriminal murni, tapi juga memiliki unsur politis dan ekonomi dengan adanya perbedaan kesenjangan ekonomi, sosial dan dominasi budaya suatu etnis terhadap etnis lain yang sengaja ditiupkan agar terjadi kerusuhan.
Selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan santun dan pemaaf. Terjadinya perubahan demi perubahan di negeri ini banyak menyebabkan sifat tersebut di atas hilang dalam sekejap mata. Bangsa ini terpuruk pada sifat aslinya yang pemberang dan kejam. Perilaku suku terasing saja, Malanesia yang hidup liar dan nomaden di kepulauan Trobriand Papua Nugini saja masih menjunjung tinggi tertib sosial dan menjauhi tindak kekerasan. Mereka memiliki semangat kelompok dan solidaritas kebanggaan atas kelompok dan keturunan. Tertib sosial dapat dipelihara dengan baik dalam suku tersebut, hukum primitif tidak melulu larangan negatif berupa hukum pidana, tapi juga mengandung tertib sosial dalam kebudayan mereka yang sederhana.
Dalam teori sosiologi, ada pandangan mengasumsikan bahwa kejahatan dalam masyarakat disebabkan oleh faktor tidak ditaatinya hukum dan undang undang yang berlaku, karena masyarakat itu dalam anomie (Durkim: 1964) yang menggambarkan keadaan tanpa aturan atau deregulasi dalam masyarkat. Keadaan deregulation, menurut Durkeim diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain.
Keadaan masyarakat tanpa aturan atau undang-undang sering menimbulkan konflik dalam kehidupan sosial, karena ada dorongan orang untuk melakukan penyimpangan yang melanggar hukum (Becker: 1966). Konflik itu sebenarnya sudah dipelihara sejak lama, namun belum membesar dan hanyakonflik kecil-kecilan --semacam tawuran antar warga di Jakarta-- misalnya.
Namun konflik ini kemudian bisa merebet dan membesar dan akhirnya meletus sebagai kerusuhan akibat krisis kepercayaan masyarakat dengan sistem hukum yang diskriminatif dan tidak mencerminkan penegakkan hukum yang sama. Sementara masyarakat melihat dengan mata telaanjang adanya perbedaan perlakukan di depan hukum bagi mereka yang memiliki kekuatan politis dan ekonomis (mantan pejabat, pejabat dan konglomerat) dengan rakyat biasa yang melanggar hukum.
Melihat sosiologis masyarakat sekarang, maka ada tiga penyebab orang melakukan kerusuhan. Pertama, mereka menganggap dirinya merupakan alat dari kaum kelas berkuasa yang dapat diperlakukan seenaknya. Artinya hak untuk mmeperoleh keadilan bagi kelas tertindas sudah tidak ada lagi dengan eksploitasi kekuasaan oleh pihak berkuasa. Kedua, mereka melihat semua kerusuhan sebagai jalan untuk merebut kekuasaan dari pencerminan sikap individualisme dan kompetisi warga yang ingin berkuasa. Ketiga, perebutan kekuasaan dengan kekerasan termasuk melakukan kerusuhan adalah perbuatan legal untuk mencapai semua tujuan.
Arus sosial semacam ini yang berwujud kemarahan atau luapan emosi yang tak terkendali dan menghanyutkan massa dalam melakukan tindak kekerasan merupakan luapan kemarahan sesaat, sementara. Kemarahan itu akann terhenti jika diperoleh solusi atau pemecahan masalah yang tepat oleh para pengambil keputusan. Namun, semua muara dari kerusuhan itu tidak lain adalah perlakuan tidak adil atau diskriminatif dalam penerapan hukum atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang ekonomi, politik, sosial budaya.
Apa pun bentuknya, kekerasan harus dikutuk habis-habisan. Suatu sistem budaya yang dianut dengan kekerasan dalam menyelesaikan masalah tentu akan menyebabkan suatu maslaah baru, yakni tindak kekerasan itu sendiri. Karena itu perlu bangunan sistem budaya baru, tanpa kekerasan yang berperan sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia sebagai pedoman kehidupan; norma-norma, hukum dan aturan.
Upaya keras penegakan hukum perlu dibuktikan dengan kesungguhan aparat pemerintah untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement) terhadap mereka yang melakukan tindak kejahatan dan kerusuhan. Penegakan hukum itu akan berhasil bila (1) Hukum atau peraturan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan hukum rakyat yang mendambakan keadilan; (2) mentalitas petugas penegak hukum harus baik; (3) Fasilitas kerja aparat hukum yang memadai; (4) Kesadaran dan kepatuhan hukum serta perilaku masyarakat dan apararat keamanan yang mau bersungguh-sungguh dalam menegakan hukum dan HAM secara konsisten dan konsekwen.
Kalau persyarakat tersebut dipenuhi, maka masalah kerusuhan akan dapat ditanggulangi untuk meniptakan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu. Upaya melakukan kerukunan antar warga dan golongan diantara masyarakat dapat dilakukan melalui jalur silaturahmi, dialog dan rekonsiliasi yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dibantu pemerintah dan aparat keamanan. Kegiatan ini hendaknya melembaga dari mulai grass root sampai lapisan atas sehingga mampu mencairkan suasana rasa permusuhan dan menyelesaikan perselisihan antar warga masyarakat kita.
Kita memerlukan masyakarat yang menjunjung tinggi solidaritas organik, hukum yang berlaku bersifat hukum restitutif (memperbaiki) dari budaya masyarakat bukan hukum yang otoriter dan restruktrif. Artinya, hukum yang muncul adalah sesuai aspirasi rakyat dan ditegakan dengan otoritas moral aparat penegak hukum yang baik serta pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas KKN.
Untuk menata kembali kehidupan masa depan bangsa diperlukan juga tipe hukum responsif denga kebutuhan hukum masyarakat yang menginginkan keadilan bagi semua orang tanpa perlakuan diskriminatif. Semoga Indonesia kembali menjadi Indonesia yang aman , damai, adil dan makmur! []