Selasa, 05 Juni 2012

Kerusuhan: Konflik Pelanggaran Hukum Yang Tak Kunjung Usai


Oleh : Aji Setiawan

Kerusuhan massa di Indonesia telah banyak menelan korban jiwa dan harta benda. Kasus Mesuji, Bima, Ternate, Ambon, Temanggung ambilah suatu contoh kasus –kasus yang masih tersisa akhir-akhir ini. Kerusuhan biasanya dimulai dari konflik antarwarga masyarakat yang dipicu masalah sepele, saling ejek dan mencemooh. Kemudian membesar dengan adanya provokator yang ingin mengambil keuntungan. Namun kerusuhan terus terjadi dalam masyarakat tanpa pemerintah dan aparat menanggulanginya. Apakah kekerasan dan pelanggaran hukum dalam era sekarang ini telah menjadi budaya bangsa untuk menyelesaikan masalah?
Pelbagai amuk massa, kekerasan dan kerusuhan yang diikuti agresifitas massa melakukan penjarahan, pembakaran dan tindak kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air sungguh memprihatinkan. Masih kita ingat di penghujung tahun 1997 konflik bernuansa SARA begitu mudah menyulut kerusuhan dari ujung Sabang sampai Merauke. Namun peristiwa amuk massa ini ternyata tidak saja berhenti begitu reformasi bergulir, sisa-sisa konflik paergantian rejim orde baru ke orde reformasi ternyata juga masih menyisakan masalah.
Semua peristiwa tersebut akhirnya menimbulkan spekulasi tentang apa, siapa , mengapa dan tujuan yang dicapi dari latarbelakang pelbagai kerusuhan dengan adanya pendapat adanya provokator yang mengatasi massa agar menjadi beringas melakukan amuk massa. Keadaan ini didorong pula dengan munculnya pelbagai isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, ketika rakyat masih dihadapi krisis moneter , kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi dazn budaya dalam kehidupan masyarakaat Indonesia, seolah-olah semakin mengukuhkan spekulasi tersebut.
Pelbagai diskusi dan pendapat dilontarkan untuk mencari akar masalah amuk massa ini. Namun sampai sekarang tidak ada satu pun dapat mengungkapkan siapa sesungguhnya dalang di balik kerusuhan itu. Pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan gamblang menuding semua ini adalah ulah provokator tanpa mampu menyeret ke depan meja hijau. Benang kusut yang melilit persoalan ini tampaknya begitu rumit dan kompleks diungkapkan dalam waktu singkat. Anehnya, kerusuhan yang bermotifkan ekonomi antara pihak kepentingan pemodal versus rakyat di sisi lain dengan membenturkan aparatus keamanan (kepolisian) dengan rakyat ini terus terjadi tanpa pemerintah Indonesia mampu menanggulanginya dengan menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak dapat dihitung banyaknya dengan tetap menyembunyikan akar masalah kerusuhan dan amuk massa melalui simpul-simpul realitas sosial.
Jika diperhatikan lebih jauh, pelbagai kerusuhan dan agresifitas massa merupakan fenomena (gejala) sosial yang rill dalam kehidupan bangsa yang sedang mengalami perubahan. Artinya, setiap bentuk kerusuhan dan pelanggaran hukum di negeri ini dapat saja terjadi dalam waktu singkat, antara lain karena adanya perubahan hukum disebabkan pengaruh akulturasi internal (Soekanto: Antropologi Hukum 1984). Secara langsung orang dapat merasakan akibat kerusuhan yang meninggalkan luka cukup peduli dengan penderitaan para korban menjadi pengungsi, kehilangan tempat tinggal, harta benda, saudara, orang tua dan anak-anak bagi kehidupan masa depan mereka.
Sebuah gejala sosial dengan dimensi hukum yang memiliki jangkauan pengaruh cukup luas terhadap kehidupan masyarakat. Kerusuhan merupakan suatu bagian integral sisa kebudayaan lama dalam antropologi hukum dari masalah dan konflik suatu bangsa (Pospisil, Leopold, 1968). Bukan saat ini saja tapi juga masa depan bangsa yang tercabik-cabik dengan adanya pertikaian yang dipicu masalah sepele dengan akibat sangat mengenaaskan hati. Sampai jauh ke depan peristiwa kerusuhan di berbagai daerah ini akan menggoreskan tinta hitam bagi perjalan hidup bangsa Indonesia yang menggambarkan adanya budaya kekerasan dalam kehidupan masyrakat yang multietis dan multikultural ini.
Timbul pertanyaan, mengapa bangsa kita begitu mudah melakukan kekerasan ataukah kekerasan telah menjadi budaya bangsa? Apakah pendekatan hukum oleh aparat keamanan tidak mampu mengungkap dalang dan latar belakang kerusuhan? Bagaimanakah mencari akar masalah kekerasan dengan terjadi nya kerusuhan tersebut?

Masyarakat Anomie
Satu hal yang menjadi pusat perhatian dengan merebaknya pelbagai kerusuhan dan amuk massa adalah mencari sumber latar belakang kerusuhan tersebut di ruang pengadilan dan menyeret pelaku kerusuhan untuk mengungkap dalang atau provokator sebenarnya.
Untuk mengungkapnya dapat dilacak dalam setiap gejala sosial yang ada dapat berkembang menjadi fakta hukum untuk terjadinya kegiatan kejahatan yang mengandung asumsi adanya motif dan peran individual atau kelompok menggerakan suatu peristiwa pidana sebagai pokok persoalan terjadinya suatu kejahatan, ini berarti setiap keruhan yang menimbulkan kejahatan dalam kehidupan manusia selalu ada latar belakang menyebabkan terjadinya peristiwa pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan sebagai faktor pencetus suatu pelanggaran hukum.
Alasannya sangat sederhana. Sangat kecil kemungkinan bahwa suatu pelanggaran hukum terjadi begitu saja tanpa ada yang memicunya atau pencetus dari suatu relasi sebba akibat dengan terjadinya kerusuhan tindak kriminal murni, tapi juga memiliki unsur politis dan ekonomi dengan adanya perbedaan kesenjangan ekonomi, sosial dan dominasi budaya suatu etnis terhadap etnis lain yang sengaja ditiupkan agar terjadi kerusuhan.
Selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan santun dan pemaaf. Terjadinya perubahan demi perubahan di negeri ini banyak menyebabkan sifat tersebut di atas hilang dalam sekejap mata. Bangsa ini terpuruk pada sifat aslinya yang pemberang dan kejam. Perilaku suku terasing saja, Malanesia yang hidup liar dan nomaden di kepulauan Trobriand Papua Nugini saja masih menjunjung tinggi tertib sosial dan menjauhi tindak kekerasan. Mereka memiliki semangat kelompok dan solidaritas kebanggaan atas kelompok dan keturunan. Tertib sosial dapat dipelihara dengan baik dalam suku tersebut, hukum primitif tidak melulu larangan negatif berupa hukum pidana, tapi juga mengandung tertib sosial dalam kebudayan mereka yang sederhana.
Dalam teori sosiologi, ada pandangan mengasumsikan bahwa kejahatan dalam masyarakat disebabkan oleh faktor tidak ditaatinya hukum dan undang undang yang berlaku, karena masyarakat itu dalam anomie (Durkim: 1964) yang menggambarkan keadaan tanpa aturan atau deregulasi dalam masyarkat. Keadaan deregulation, menurut Durkeim diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain.
Keadaan masyarakat tanpa aturan atau undang-undang sering menimbulkan konflik dalam kehidupan sosial, karena ada dorongan orang untuk melakukan penyimpangan yang melanggar hukum (Becker: 1966). Konflik itu sebenarnya sudah dipelihara sejak lama, namun belum membesar dan hanyakonflik kecil-kecilan --semacam tawuran antar warga di Jakarta-- misalnya.
Namun konflik ini kemudian bisa merebet dan membesar dan akhirnya meletus sebagai kerusuhan akibat krisis kepercayaan masyarakat dengan sistem hukum yang diskriminatif dan tidak mencerminkan penegakkan hukum yang sama. Sementara masyarakat melihat dengan mata telaanjang adanya perbedaan perlakukan di depan hukum bagi mereka yang memiliki kekuatan politis dan ekonomis (mantan pejabat, pejabat dan konglomerat) dengan rakyat biasa yang melanggar hukum.
Melihat sosiologis masyarakat sekarang, maka ada tiga penyebab orang melakukan kerusuhan. Pertama, mereka menganggap dirinya merupakan alat dari kaum kelas berkuasa yang dapat diperlakukan seenaknya. Artinya hak untuk mmeperoleh keadilan bagi kelas tertindas sudah tidak ada lagi dengan eksploitasi kekuasaan oleh pihak berkuasa. Kedua, mereka melihat semua kerusuhan sebagai jalan untuk merebut kekuasaan dari pencerminan sikap individualisme dan kompetisi warga yang ingin berkuasa. Ketiga, perebutan kekuasaan dengan kekerasan termasuk melakukan kerusuhan adalah perbuatan legal untuk mencapai semua tujuan.
Arus sosial semacam ini yang berwujud kemarahan atau luapan emosi yang tak terkendali dan menghanyutkan massa dalam melakukan tindak kekerasan merupakan luapan kemarahan sesaat, sementara. Kemarahan itu akann terhenti jika diperoleh solusi atau pemecahan masalah yang tepat oleh para pengambil keputusan. Namun, semua muara dari kerusuhan itu tidak lain adalah perlakuan tidak adil atau diskriminatif dalam penerapan hukum atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang ekonomi, politik, sosial budaya.
Apa pun bentuknya, kekerasan harus dikutuk habis-habisan. Suatu sistem budaya yang dianut dengan kekerasan dalam menyelesaikan masalah tentu akan menyebabkan suatu maslaah baru, yakni tindak kekerasan itu sendiri. Karena itu perlu bangunan sistem budaya baru, tanpa kekerasan yang berperan sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia sebagai pedoman kehidupan; norma-norma, hukum dan aturan.
Upaya keras penegakan hukum perlu dibuktikan dengan kesungguhan aparat pemerintah untuk melakukan penegakan hukum (law enforcement) terhadap mereka yang melakukan tindak kejahatan dan kerusuhan. Penegakan hukum itu akan berhasil bila (1) Hukum atau peraturan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan hukum rakyat yang mendambakan keadilan; (2) mentalitas petugas penegak hukum harus baik; (3) Fasilitas kerja aparat hukum yang memadai; (4) Kesadaran dan kepatuhan hukum serta perilaku masyarakat dan apararat keamanan yang mau bersungguh-sungguh dalam menegakan hukum dan HAM secara konsisten dan konsekwen.
Kalau persyarakat tersebut dipenuhi, maka masalah kerusuhan akan dapat ditanggulangi untuk meniptakan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu. Upaya melakukan kerukunan antar warga dan golongan diantara masyarakat dapat dilakukan melalui jalur silaturahmi, dialog dan rekonsiliasi yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dibantu pemerintah dan aparat keamanan. Kegiatan ini hendaknya melembaga dari mulai grass root sampai lapisan atas sehingga mampu mencairkan suasana rasa permusuhan dan menyelesaikan perselisihan antar warga masyarakat kita.
Kita memerlukan masyakarat yang menjunjung tinggi solidaritas organik, hukum yang berlaku bersifat hukum restitutif (memperbaiki) dari budaya masyarakat bukan hukum yang otoriter dan restruktrif. Artinya, hukum yang muncul adalah sesuai aspirasi rakyat dan ditegakan dengan otoritas moral aparat penegak hukum yang baik serta pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas KKN.
Untuk menata kembali kehidupan masa depan bangsa diperlukan juga tipe hukum responsif denga kebutuhan hukum masyarakat yang menginginkan keadilan bagi semua orang tanpa perlakuan diskriminatif. Semoga Indonesia kembali menjadi Indonesia yang aman , damai, adil dan makmur! []

Tidak ada komentar: