Jumat, 29 April 2011

KH Ihya Ulumiddin


Senyum terkembang dan wajah yang senantiansa bergembira nan sejuk terpancar dari tamu kita kali ini. Dari wajahnya tang teduh ini tergambar keluasan dan kelapangan dadanya dan mencerminkan jiwa tarbiyah dan hidmah besar untuk umat Islam yang bertanya dan curhat dengannya. Dialah KH Ihya Ulumiddin , mudir Ma’had Nurul Haromain Pujon Malang.
KH Ihya dilahirkan di desa Parengan Lamongan Jawa Timur pada bulan Agustus 1952. Sedari kecil ia telah dididik dalam lingkungan yang sangat agamis dari kedua orang tua......
Ia mengenyam pendidikan dasar Sekolah Rakyat di dan lulus tahun 1964. Semangat belajarnya tergolong tinggi terutama ilmu-ilmu agama, sebab ia sejak kecil termasuk orang yang cinta ilmu pengetahuan. Ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Langitan Tuban selama 10 tahun. Guru-gurunya adalah ulama-ulama yang tidak diragukan lkagi kesolehan dan kedalaman ilmunya.
Rasa khirsh (antusiasme yang tinggit) terhadap ilmu agama mendorong Ihya remaja pada tahun 1974 untuk berkelana di wilayah tapal kuda Jawa Timur ke kota Bondowoso.di tempat yang disebut-sebut “Hadramuat” nya jawa Timur itu, ia berguru dengan Habib Hasan Baharun, seorang Ahli Tafsir AQL Qur’an dan Hadist terkemuka.
Semangat belajarnya tak pernah padeam, sebagaimana ulama-ulama besar Nusantara, tak puas rasanya mempelajari ilmu agama Islam tanpa belajar dari tempat sumber agama Islam yakni Mekkah Mukarramah. Pada tahun 1967ia kemudian berangkat ke Mekkah dan belajar langsung dengan Prof Dr Assayid Muhammad Alawiy Al Maliki atau yang biasa dipanggil Abuya oleh santrinya. Ia merupakan salah satu guru besar yang sangat terkenal di Mekkah.
Keterikatan Abuya KH Ihya dan Abuya Muhammad Maliki sebagai guru menempa kepribadian dan apembimbing ruhani KH Ihya menjadi lebih kuat lagi tentang ajaran-ajaran Ahlus-Sunnah Wal Jamaah. Kedekatannya dengan Abuya terlihat dari kenyataan bahwa semua perintah atau pesan Abuya kepada muridnya di Indonesia selalu disampaikan pertama kali melalui KH Ihya Ulumiddin. Sekali waktu ia diminta Abuya oleh Abuya ke Mekkah atau ke pondok pesantren lain , maka ia akan segera melaksanakannya.
Pada tahun 1980, KH Ihya Ulumiddin mendapatkan gelar Syahada Takhasusiyah (Ahli Tafsir hadist). Setelah itu ia mendalami bahasa Arab di King Abdul Aziz University Jurusan Sstra Arab selama satu tahun.
Sepulangnya dari Mekkah tepatnya thun 1980. Ia kemudian mendirikan Ma’had Nurul Haromain di Pujon Malanng Jawa Timur. Dalam menjalankan M’had Nurul Haromin ini ia terus dipantau oleh Abuya. Setiap kendala yang dihadapi akan dibantu dan dicarikan jalan keluarnya. Komunikasi yang sangat lancar menjadi semacam sinergi dakwah antara Mahad Nurul Haromain dengan Ma’had Rushaifah Abuya Assayid Muhammad Al Maliki Alawy Al Hasani ini tidak pernah terputus.
Selain menjadi pengasuih Ma’had Nurul Haromain ia juga menjadi pembina Yayasan Al Haromain. Nama Haromanin sendiri diambil dari sebutan untuk dua kota Mekkah dan Madinahyaitu dua kota suci. Yayasan Nurul Haromain bertempat di Surabaya tepatnya di Jl Ketintang Barat 1/27. Yayasan ini membawahi Ma’had Nurul Haromain dan cabangnya serta beberapa unit usaha lainnya. Karena itu ia harus membagi waktu untuk mengsuh Ma’had di Pujon Malang setip hari Senin- Kamis. Dari hari Jum’at – Ahad ia sudah ada di Surabaya. Setiap hari Jumat-Sabtu ia juga mengisi pengajin yng diadakan di Pasar Kembang Surabaya yang diikuti oleh ratusan jamaah yang kebanyakan dari kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya.
Terhadap realitas keberagamaan masa kini yang perlu disikapi, Ustadz Ihya berpendapat bahawa maraknya kemaksiatan dan kemungkaran sat ini, disisi lain juga dibarengi oleh munculnya kesadaran umat islam untuk melakukan dakwah dalam memperbaiki kondisi umat.”Hal ini perlu disyukuri dan merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan. Namun fakta menunjukkan bahwa diantara umat Islam ada dua kelompok masing-masing terjebak pada sikap ifroth (teledor/kendor) dan tafrith (berlebihan) dalam menyikapi kemaksiatan ini.”
Kelompkk pertama, menurut analisis Ustadz Ihya adalah kelompok Islam yang memiliki ghiroh (kecemburuan) yang sangat tinggi terhadap Islam, namun mereka tidak memiliki bekal ilmu yang cukup untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang Islam. Mereka punya semangat tetapi minim ilmu.”Mereka punya ghiroh tetapi tidak paham Islam. Mereka ibarat harimau ompong, tidak bertaring. Maka aungan mereka tidak sampai menggetarkan musuh –musuh Islam.”
Ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh kelompok ini, jelas Kyai Ihya.”Ketidakfahaman terhadap Islam bisa membawa masyarakat ke jalan yang salah. Dikira Islam namun sebenarnya bukan Islam. Dikira kebenaran namun sebenarnya kesalahan. Terlebih jika orang-orang yang tidak paham Islam ini kemudian terlanjur difigurkan oleh masyarakat, mereka memberi petunjuk Islam, menuntun sunnah bukan dengan Sunnah Rasulullah SAW yang terjadi kemudian adalah sesat dan menyesatkan orang lain. Ketika keilmuan Islamnya belum mencukupi, atau bahkan tidak mencukupi atau bahkan salah dalam memahami Islam. Boleh jadi, akan lahir orang-orang yang suka mengkafirkan atau menyesatkan orang lain atau membidah’kan sesama muslim hanya karena sempitnya wawasan dan keilmuan mereka,” kata pengasuh Ma’had Nurul Haroimain ini lebih lanjut.
Mereka terlalu semangat berdakwah, kata KH Ihya Ulumiddin, hingga mengabaikan abad-abad dakwah yang semestinya menjadi pakaian keindahan bagi seorang da’i.”Mereka seringkali berbuat ghuluw atau tafrith atau berlebih-lebihan dalam beragama. Mereka sangat eksklusif dan ekstrim kanan. Kadang-kadang muncul penyakit ightiroro bin nafsi (tertipu oleh dirinya sendiri), merasa paling benar sendiri dan yang lain salah. Mereka menyikapi perbedaan kalangan umat Islam dengan permusuhan,” katanya.
Fotor utamanya, menurut bekas khadam’ul imam haromain ini, adalah dikarenakan sempitnya pemahaman mereka terhadap Islam. “Sempitnya wawasan keislaman membuatnya tidak bisa membedakan antara perbedaan dan penyimpangan.Antara istilah ikhtilaf dan taffaruq, antara al-khatta’ (salah) dan dholal (kesesatan). Mereka menggeneralisir semua perbedaan dengan penyimpangan, wilayah ihktilaf disikapi dengan permusuhan, wilayah ijtihad dianggap akidah, maka kita berlindung kepada Allah SWT dari sikap-sikap seperti ini.”
Kelompok kedua, lanjut Kyai Ihya adalah kelompok Umat Islam yang mempunyai kapasitas keilmuan cukup baik, namun tidak memiliki ghiroh atau kecemburuan terhadap agamanya. “Mereka tidak memilki semangat dakwah yang tinggi sebagaimana ketinggian ilmunya. Mereka dihinggapi perasaan minder, takut kepada manusia bahkan takut kepada resiko dakwah. Kelompok ini sering kali menjadikan ilmunya untuk meraih pujian dan kehormatan di mata manusia,” kritik KH Ihya. Mereka dihinggapi penyakit wahn, yaitu takut mati/resiko dan terlalu mencintai dunia yang rendah.
“Ibarat harimau, mereka seperti harimau tidur. Mereka terlelap dan terbuai oleh dunia yang menyebabkannya tidak punya ghiroh, lemah mental dan semangat, kepedulian terhadap agamanya sangat rendah. Mereka tingalkan dakwah hanya untuk mengejar dunia, atau mereka berpaling dari dakwah hanya karena takut resiko. Mereka menumpuk-numpuk ilmu bukan diamalkan atau untuk diajarkan kepada orang lain, tetapi hanya untuk mengejar status sosial di mata masyarakat agar dirinya dikatakan sebagai ‘orang alim’. Ilmunya hanya untuk kebanggaan saja, tetapi tidak disebarluaskan dan sisampaikan kepada orang lain.”

Padahal mereka, jelas kyai Ihya, adalah orang-orang yang seharusnya menjadi pewaris para nabi dan rasul.”Kehadirannya di jaman sekarang, sungguh sangat ditunggu-tunggu umat manusia. Fatwa-fatwanya bisa memberikan petunjuk kepada jalan yang terang. Gerakannya bisa membuat lawan menjadi takut dan gentar. Ucapan mereka sangat didengar oleh umat. Pidato-pidato mereka bisa menjadi penyejuk hati yang gersang. Ucapan-ucapannya sungguh membawa kemaslahatan,” jelas Kyai Ihya Ulumiddin.
Terlebih secara keilmuan, mereka lebih memahami dan mengetahui Islam dibanding komunitas yang lain. Dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya, mereka adalah pewaris keilmuan para nabi dan rasul. Sembari mengutip hadist riwayat Abu Dawud, Tirmidi, Ahmad Hakim baihaqia danb Ibnu Hibban, KH Ihya berkata, “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.”
Jadi, terang KH Ihya Ulumiddin, berdasar hadist di atas, mereka harusnya tidak hanya mewarisi para nabi dari sisi keilmuan saja, namun hendaknya mewarisi para nabi dari sisi semangat berjuang dan berdakwah, mewarisi kegigihan nya dalam mebela Islam.
“Yang perlu disadari oleh mereka adalah bahwa kemaksiatan dan kemungkaran telah dipertontonkan di hadapan khalayak ramai.Tontonan menjadi tuntunan, sebaliknya tuntunan menjadi tontonan. Tidakkah mereka menyadari bahwa ketika kemaksiatan dan kemungkaran telah merata di seluruh lini kehidupan, dan mereka tidak ada yang mencegahnya dari perbuatan yang munkar, maka hampir-hampir Allah SWT^ akan menimpakan azab yang tidak hanya menimpa kalangan orang-orang yang berbuat maksiat, namun juga menimpa kepada orang-orang yang saleh di kalangan mereka?
Diriwayatkan dari Hudzaifah Ibnu Yaman Ra berkata bahwa Nabi SAW pernah bersabda,”Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Harus kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran atau kalau tidak , pasti Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdo’a , maka tidak diterima doa dirimu”. (HR Tirmidzi).
Diriwayatkan pula dari Abu Bakar Ra, ia berkata bahwa saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya jika manusia melihat orang dholim berbuat jahat, dan tidak mereka cegah hampir-hampir Allah akan meratakan siksa/adzab –Nya kepada mereka (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasai).
Melihat kedhaliman dan kemaksiatan yang sudah merajalela seperti ini, tidak selayaknya bagi orang-orang yang memiliki keilmuan Islam yang mencukupi bersembunyi di balik ketakutan-ketakutan kepada manusia, atau resiko yang mungkin timbul.
“Adalah Sayidina Ali RA bin Bai Thalib yang telah menganjurkan bahwa berdakwah kepada jalan Islam tidak akan menyebabkan rezeki seseorang terputus atau terhalang, bahka tidak akan mendekatkan seseorang kepada kematian. Artinya, tidak ada alasan bagi kita, terlebih kalangan yang lebih memahami esensi dari Islam, berpaling dari berdakwah atau pun lari dari medan dakwah hanya karena takut resiko,” katanya mengakhiri perbincangan.
Beberapa buku yang telah dikarang oleh Ustadz Ihya diantaranya adalh Tuntunan Shalat Menurut Riwayat dan hadist (1995), Dasar-dasar Dakwah dan Karakteristiknya (1996), Risalah Zakat (1996), Yasalunaka (2004) dan yang terbaru Ekstrim dalam Pemikiran Agama (2007). (***)

Minggu, 24 April 2011

Rajab Sebagai Bulan Ampunan



Oleh: Aji Setiawan
Kita kini akan bersiap memasuki bulan Rajab. Bulan Rajab adalah salah satu bulan yang istimewa dalam setahun. Rajab ialah bulan yang mulia, dkarena dalam hadist Rasulullah disebutkan,”Rajab adalah bulan Allah SWT.”
Bagi kaum muslimin, bulan ini memiliki arti tersendiri, sebab banyak keistimewaan yang terdapat di dalamnya. Kata Rajab berasal dari kata al-tarjib, yang berarti “penghormatan” (al-ta’zhim). Barangkali rahasia ini karena orang-orang Arab mengkhususkannya dengan berbagai penghormatan.
Rajab juga disebut Rajab al-Haram karena termasuk salah satu empat bulan Haram, yakni bulan yang diharamkan melakukan peperangan di dalamnya. Bulan-bulan haram itu adalah Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
Rajab juga dinamakan Rajab al-Fard, karena terpisah dari bulan haram lainnya yang berurutan. Ia datang lima bulan setelah bulan lainnya. Nama lainnya adalah Rajab Mudhar. Dinamakan demikian karena suku Mudhar sangat mengagungkan bulan itu dan menjaga kehormatannya sejak dahulu.
Al Qur’an Al Karim menyebutkan bulan-bulan haram itu dalam Surat At-Taubah ayat 36 yang artinya,”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah duabelas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri dalam bulan yang empat itu.”
Terdapat kejadian yang sangat penting di bulan Rajab, yakni peristiwa Isra dan Mi’raj yang merupakan mukjizat terbesar yang Allah khususkan bagi Nabi Muhammad SAW setelah Al Qur’an. Mukjizat Isra merupakan penghormatan kepada Rasulullah SAW dan untuk meneguhkan hati beliau dan menghiburnya yang baru saja ditinggal dua orang yang dikasihinya, yakni paman beliau, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah. Karenanya, tahun itu disebut tahun kesedihan (‘amul –huzn).
Pada bulan Rajab, salah satu amalan terpenting yang sangat dianjurkan untuk banyak dilakukan adalah bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Bukan berarti di bulan –bulan lain tidak perlu. Tidak demikian! Setiap bulan, bahkan setiap hari, kita harus memohon ampun dan bertaubat kepada Allah SWT. Hanya saja di bulan Rajab lebih ditingkatkan lagi, salah satu sebabnya ketika kita telah memasuki bulan Rajab, berarti kita semakin dekat dengan bulan Ramadhan, bulan termulia untuk melakukan ibadah.
Bulan Rajab ini adalah menjadi momentum terbaik bagi bangsa Indonesia khususnya bagi Umat Islam, untuk istighfar dan melakukan taubat nasional atas kemungkaran serta kemaksiatan yang dilakukan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Inilah momentum terbaik secara kolektif untuk menghentikan segala kemungkaran, kemaksiatan dan budaya korupsi yang sudah menggurita dalam kehidupan negeri ini.
Dalam kondisi sekarang ini, manusia tidak hanya makan nasi, karena aspal, manipulasi, korupsi besi tulangan jembatan dalam platfon-platfon anggaran pembiayaan pembangunan sudah menjadi santapan tender-tender yang tidak sesuai anggaran. Umat sudah tidak percaya lagi dengan figur kyai. Sebab banyak fatwa hanya menjadi titipan penguasa. Karena itu, tidak ada pilihan terbaik dalam menghadapi segala musibah ini kecuali dengan jalan taubat.
Kita jangan menyalahkan alam sebagai penyebab bencana. Karena semua bersumber pada kekuasaan Allah SWT. Apa yang kita alami sekarang adalah warning(peringatan) keras dari Allah. Inilah bulan yang tepat untuk mengkoreksi diri sebelum bencana lain datang menghadang. Taubat itu tidak hanya bagi orang kena musibah. Tapi, semua umat harus berani mengakui kesalahan dan kekhilafan. Perbanyak melakukan istighfar dan qunut nazilah.
Dalam kondisi seperti ini, manusia perlu mengembalikan segala urusan kepada Allah, dan menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran dan kehidupan baru. Karena tidak manusia saja bisa marah.Alam juga bisa marah. Bencana terus menerus-menerus tidak ada hentinya ini semua itu bermula dari tangan-tangan manusia yang sudah rusak.
Mengingat banyak kesalahan manusia yang dapat menyebabkan bencana alam. Mengingat banyaknya alam, dari kacamata agama, bencana yang terjadi belakangan ini dapat dikatakan sebagai peringatan Alloh SWT. Peringatan karena kesalahan yang telah kita perbuat. Karena itu harus secepatnya melakukan taubat.Taubat itu bisa dilakukan bersama-sama atau pun sendiri-sendiri
Banyak hadist yang menerangkan perihal taubat dan memohon ampun. Dari Anas RA ia mengatakan,”Aku mendengar Rasulullah bersabda,’Allah berfirman: Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau atas apa yang telah engkau lakukan, dan Aku tidak peduli (seberapa besar dosamu). Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sampai langit kemudian engkau memohon kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau mendatangi-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian Engkau menemui-Ku (menghadap-Ku, memohon ampun kepada-Ku) dengan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi juga’.”
Maha suci Allah, segala puji bagi-Nya. Maha suci Allah, Yang Maha agung, aku memohon ampun kepada Alloh SWT. (***)

Kamis, 21 April 2011

Nasehat Haji, 15 Januari 2008


Oleh : Aji Setiawan


Musim haji telah tiba. Jutaan orang bersiap melaksanakan ibadah itu dengan satu niat, yakni ingin memperoleh haji mabrur. Balasan bagi orang yang hajinya mabrur sangat jelas, yaitu surga.

Ganjaran yang begitu besar ini tentunya mempunyai konsekuensi dalam pelaksanaannya. Haji tidak hanya ritual rohani, melainkan juga melibatkan fisik seseorang. Beberapa ibadahnya merupakan gabungan dari olah fisik dan rohani. Tidak salah kalau kemudian ada yang mengatakan, haji adalah suatu ibadah yang 'berat' bagi seorang Muslim. Sehingga, sayang bila orang yang berhaji tidak bisa menjadi haji mabrur.

Haji termasuk ritual ibadah yang istimewa. Tidak semua umat Islam bisa melaksanakannya. Dibutuhkan segala persiapan yang matang mulai fisik, finansial, hingga mental. Persiapan secara fisik sangat dibutuhkan mengingat dalam beberapa rukun haji perlu perjuangan fisik, seperti sa'i, melempar jumrah, dan tawaf. Sedangkan finansial jelas diperlukan.

Dalam Alquran telah digariskan, yang wajib haji adalah orang yang mampu. Sedangkan persiapan mental adalah yang paling penting karena hal ini menyangkut hati. Menyiapkan mental berarti menata hati guna menyambut panggilan Allah.

Di samping itu, haji merupakan ibadah yang mempunyai dampak luas bagi umat manusia. Tidak hanya dari segi fisik maupun rohani, juga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tentu saja haji yang mabrur bisa dilihat dari maslahatnya terhadap kehidupan umat manusia. Haji adalah sebuah ibadah spektakuler, karena di balik semua itu terdapat hikmah yang jauh lebih dahsyat.

''Barang siapa yang mengerjakan haji kemudian ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia kembali (bersih) seperti saat dilahirkan oleh ibunya.'' (HR Bukhari Muslim)

Bagaimana sebenarnya menjadi haji mabrur itu? Imam Hasan bin Ali Abi Thalib pernah ditanya, apakah haji mabrur? Jawabnya, ''Jika engkau telah pulang, kamu menjadi orang yang zuhud (tidak terbelenggu dalam cinta dunia), dan bersemangat mencapai kebahagiaan di akhirat.''

Zuhud tidak berarti antimateri, tetapi kesanggupan rohani untuk mengalahkan ambisi pribadi, keserakahan kepemilikan benda, serta kebanggaan semu di dunia. Semoga saja kaum Muslimin yang saat ini sedang menjadi tamu Allah SWT di Tanah Suci, pulang kembali ke Tanah Air dengan hajjun mabrur.

Mengukir Hati


Republika 28 Juni 2008, Mengukir Hati
Aji Setiawan


Kita harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mengapa kita perlu mendekatkan diri kepada Allah SWT? Karena, kita ingin melaksanakan sabda Rasulullah SAW, ''Hidup di sisi Allah itu baik untuk kalian, dan mati di sisi Allah juga baik untuk kalian.''

Untuk bisa hidup dengan mencintai dan dicintai Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW memang tak mudah. Tergantung bagaimana kita bisa becermin dengan apa yang telah Allah SWT contohkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan, untuk dapat melaksanakannya, kita harus memperbanyak amal ibadah serta membersihkan hati. Sebab, amal ibadah dunia yang didasari dengan niat yang baik akan menjadi amal akhirat. Amal ibadah yang kelihatannya seperti amal ibadah akhirat tapi tidak disertai dengan niat yang baik, akan menjadi amalan dunia saja.

Itu artinya, kita harus memperbaharui setiap amal ibadah kita dengan menyucikan niat, hanya demi berbakti kepada Allah SWT. Jangan sampai kita tergelincir sehingga menderita penyakit hati, seperti ujub (membangga-banggakan diri), riya (pamer), sumah (suka menceritakan amal), dan lainnya, yang bisa menghancurkan amal ibadah akhirat kita.

Menyucikan hati itu penting sekali, sebab hati manusia mudah berubah-ubah. Itulah sebabnya, Rasulullah SAW mengajarkan doa, ''Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi an dinika. (Ya Allah, yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku kepada agama-Mu). Artinya, kita harus selalu membersihkan hati dari kotoran penyakit-penyakit hati. Hati itu ibarat besi yang setiap kali diampelas, segera setelah itu karatan kembali.

Lalu, sejauh mana kita berikhtiar untuk membersihkan dan mencuci hati? Sebagian orang menempuh jalan tarekat, yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagaimana caranya? Pertama, beribadahlah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Antakbudallaha ka annaka tara, fa-inlam tarahu fa-innahu yara. (Beribadahlah kamu seolah-olah kamu melihat Allah; tapi jika kamu tidak bisa melihat-Nya, beribadahlah seakan-akan kamu merasa dilihat Allah SWT).

Untuk kali pertama mencoba ''melihat Allah'', mungkin terasa berat. Tapi, kita harus berusaha beribadah sedemikian rupa sehingga kita bisa merasa dekat pada Allah SWT, berusaha beribadah sehingga merasa seolah-olah kita dilihat Allah SWT. Bagaimana caranya agar kita bisa beribadah dan merasa dekat serta dilihat Allah SWT? Ingatlah firman Allah SWT dalam beberapa ayat Alquran, bahwa kita harus senantiasa berdzikir.(Rek Bank Mandiri a/n Aji Setiawan no : 139-00- 1091517-5)

Keutamaan Musibah


Republika, Sabtu, 13 Agustus 2005

Ketahuilah, sesungguhnya rasa syukur itu timbul karena mendapatkan sesuatu yang membahagiakan. Sedangkan sabar muncul karena tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan atau menyusahkan. Meskipun keduanya bertentangan, tetapi kadang ketika memperoleh suatu musibah manusia dapat bersabar sekaligus bersyukur. Ini bisa terjadi jika yang bersangkutan menyadari bahwa di dalam kesabaran itu terdapat kenikmatan tersendiri yang harus disyukuri.

Amirul Mukminin Umar bin Khathab RA berkata, ''Tidaklah aku diuji dengan sebuah musibah melainkan di dalamnya kutemukan empat kenikmatan dari Allah, yaitu karena musibah tersebut tidak menimpa agamaku, tidak lebih besar dari yang sedang terjadi, aku ridha dengan musibah itu, dan aku dapat mengharapkan pahala darinya.'' Begitulah kunci yang diberikan Umar bin Khattab RA kepada kita saat ditimpa musibah agar kita bisa senantiasa bersabar dan bersyukur.

Mengingat begitu banyak nikmat di balik musibah, maka sepantasnya manusia harus tetap bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Hikmah itu sangat nyata sebagaimana Allah firmankan, ''Dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin.'' (QS Al Luqman (31): 20). Ayat tersebut ditafsirkan sebagian ulama bahwa Allah telah menjadikan berbagai musibah zhahir sebagai nikmat, sebab di balik musibah terdapat pahala dan pendidikan dari Allah SWT.

Perpaduan berbagai musibah duniawi dan rasa syukur itu adalah sebuah kebahagiaan dan kesabaran yang menjadi reaksi dari rasa sakit. Sebenarnya berbagai musibah duniawi tersebut merupakan obat penyakit hati sebagaimana rasa sakit menjadi obat bagi penyakit jasmani. Karena itulah sebagian kalangan memahami bahwa untuk membuang sakit itu memang diperlukan kesakitan.

Kendati demikian, memperoleh sehat tetap lebih baik daripada sakit. Karena itu, Rasulullah SAW berlindung kepada Allah dari segala jenis bencana di dunia dan akhirat serta memohon keselamatan darinya. Rasulullah SAW bersabda, "Mintalah kepada Allah kesehatan, sebab tidak ada karunia yang diberikan kepada seorang hamba yang lebih utama daripada kesehatan, kecuali keyakinan.'' (HR Ibnu Majah dan Nasai). Yang dimaksud dengan keyakinan dalam hadis tersebut adalah terselamatkannya hati dari kebodohan.

Rasulullah SAW juga pernah berdoa, ''Dan karunia kesehatan-Mu lebih kusukai.'' (HR Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dunya). Sesungguhnya Allah Mahakuasa untuk membuat seseorang memperoleh kenikmatan yang sempurna di dunia dan pahala yang besar di akhirat.

Oleh karena itu, kita mohon kepada-Nya agar dengan kemurahan-Nya, dalam segala hal, Dia memberi kita kenikmatan zhahir maupun batin yang sempurna dan berkesinambungan. Sabar atau syukur adalah kunci yang bisa kita miliki untuk menggapai kenikmatan tersebut. Sabar dan syukur juga menjadi senjata yang sangat kuat untuk membantu kita dalam menghadapi segala macam bentuk musibah. (Aji Setiawan)Rek Bank Mandiri a/n AJi Setiawan 139-00-1091517-5

Rabu, 20 April 2011

Menuju Masyarakat Mutamaddin



Menuju Masyarakat Mutamaddin
Menuju masyarakat mutamaddin bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab sekitar seabad yang lalu di benua Eropa proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku
Kelahiran Nabi Muhammad SAW ke muka bumi sekitar 14 abad yang silam merupakan sebuah nikmat dan karunia Tuhan kepada seluruh umat manusia. Nabi Muhammad SAW ibn Abdullah adalah Nabi pembawa Rahmat, karenanya kita wajib bersyukur dan bergembira dengan kelahiran beliau. Beliau berdakwah tak kenal lelah sampai akhir hayat setelah menerima wahyu atau risalah kenabian dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Sebuah proses dialektika panjang nash Tuhan kepada Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan dinegasikan dalam praktek beragama, bersosial masyarakat, sosio politik, sosio budaya dan bernegara dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah dien yang utuh, Islam dan diwujudkan dalam praktek kesalehan dan keteladanan perilaku (akhlaq).
Kedatangan Islam mula-mula membawa misi tauhid (monoteisme) guna menegakan kalimah “La ilaaha ilallah”. Melalui kalimah tauhid, semua kekuasaan dan kekuatan di muka bumi harus dinegasikan. Hanya Alloh SWT (Tuhan) yang memiliki kekuasaan mutlak, selebihnya nisbi. Konsekwensinya, tidak seorang pun di muka bumi ini diijinkan untuk berkuasa secara lalim dan sewenang-wenang. Seluruh penguasa yang otoritarian dan diktaktor harus dimusnahkan, karena semua manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan-Nya.
Selain mengemban misi Tauhid, Islam juga mengemban misi sebagai agama yang penuh dengan Rahmat. Ini tercermin dalam firman-Nya,”wa maa-arsalnaka illa rahmatan lil’alamin (QS Al-Anbiya:47)”. Dan Aku tidak mengutusmu (Muhammad SAW) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Cakupan rahmat bagi alam se-isinya memberikan ruang bagi tumbuhnya masyarakat plural (majemuk) yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan peradaban.
Hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW,”inna-ma bu’its-tu li utammima makaarimal akhlaq,” Aku (Muhammad) hanya diperintahkan untuk menyempurnakan akhlaq (moralitas yang mulia) (HR Bukhari-Muslim). Moralitas atau etika inilah yang menjadi kunci utama bagi terwujudnya masyarakat sipil (kewargaan). Sebab dengan etika, seluruh kehidupan akan terpayungi dan terlindungi. Rapuhnya suatu pemerintahan banyak dilatarbelakangi oleh keroposnya nilai –nilai etika yang harus dijunjung tinggi, bukan nilai-nilai legal –formal yang semu dan banyak menipu.
Melalui misi tauhid dan akhlaq, umat Islam mampu menapaki lintas sejarah kehidupan yang semakin cemerlang dari hari ke hari. Diawali dalam periode Mekkah yang mengedepankan “ukhuwwah Islamiyyah” selama kurang lebih 13 tahun lamanya (di tempat beliau dilahirkan) , persaudaraan internal muslim.Penataan mayarakat Arab melalui moralitas Islam ke arah masyarakat mutamaddin (berperadaban) baru taraf transformasi sosial-budaya sebatas internal umat Islam(ukhuwwah Islamiyyah), dimana mereka tergabung dalam komunitas As-Sabiqunal awwalun (golongan pertama kali masuk Islam), yang jumlahnya puluhan kemudian meningkat hingga ratusan saja.
Kemudian berlanjut periode Madinah yang yang mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode kedua ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (gol Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyrakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah”atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Muhammad wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyrakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 60 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.
Ini sesuai dengan firman Tuhan,”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Aji Setiawan)

Rek Bank Mandiri a/n Aji Setiawan no : 139-00-1091517-5