Rabu, 20 April 2011

Menuju Masyarakat Mutamaddin



Menuju Masyarakat Mutamaddin
Menuju masyarakat mutamaddin bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab sekitar seabad yang lalu di benua Eropa proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku
Kelahiran Nabi Muhammad SAW ke muka bumi sekitar 14 abad yang silam merupakan sebuah nikmat dan karunia Tuhan kepada seluruh umat manusia. Nabi Muhammad SAW ibn Abdullah adalah Nabi pembawa Rahmat, karenanya kita wajib bersyukur dan bergembira dengan kelahiran beliau. Beliau berdakwah tak kenal lelah sampai akhir hayat setelah menerima wahyu atau risalah kenabian dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Sebuah proses dialektika panjang nash Tuhan kepada Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan dinegasikan dalam praktek beragama, bersosial masyarakat, sosio politik, sosio budaya dan bernegara dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah dien yang utuh, Islam dan diwujudkan dalam praktek kesalehan dan keteladanan perilaku (akhlaq).
Kedatangan Islam mula-mula membawa misi tauhid (monoteisme) guna menegakan kalimah “La ilaaha ilallah”. Melalui kalimah tauhid, semua kekuasaan dan kekuatan di muka bumi harus dinegasikan. Hanya Alloh SWT (Tuhan) yang memiliki kekuasaan mutlak, selebihnya nisbi. Konsekwensinya, tidak seorang pun di muka bumi ini diijinkan untuk berkuasa secara lalim dan sewenang-wenang. Seluruh penguasa yang otoritarian dan diktaktor harus dimusnahkan, karena semua manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan-Nya.
Selain mengemban misi Tauhid, Islam juga mengemban misi sebagai agama yang penuh dengan Rahmat. Ini tercermin dalam firman-Nya,”wa maa-arsalnaka illa rahmatan lil’alamin (QS Al-Anbiya:47)”. Dan Aku tidak mengutusmu (Muhammad SAW) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Cakupan rahmat bagi alam se-isinya memberikan ruang bagi tumbuhnya masyarakat plural (majemuk) yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan peradaban.
Hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW,”inna-ma bu’its-tu li utammima makaarimal akhlaq,” Aku (Muhammad) hanya diperintahkan untuk menyempurnakan akhlaq (moralitas yang mulia) (HR Bukhari-Muslim). Moralitas atau etika inilah yang menjadi kunci utama bagi terwujudnya masyarakat sipil (kewargaan). Sebab dengan etika, seluruh kehidupan akan terpayungi dan terlindungi. Rapuhnya suatu pemerintahan banyak dilatarbelakangi oleh keroposnya nilai –nilai etika yang harus dijunjung tinggi, bukan nilai-nilai legal –formal yang semu dan banyak menipu.
Melalui misi tauhid dan akhlaq, umat Islam mampu menapaki lintas sejarah kehidupan yang semakin cemerlang dari hari ke hari. Diawali dalam periode Mekkah yang mengedepankan “ukhuwwah Islamiyyah” selama kurang lebih 13 tahun lamanya (di tempat beliau dilahirkan) , persaudaraan internal muslim.Penataan mayarakat Arab melalui moralitas Islam ke arah masyarakat mutamaddin (berperadaban) baru taraf transformasi sosial-budaya sebatas internal umat Islam(ukhuwwah Islamiyyah), dimana mereka tergabung dalam komunitas As-Sabiqunal awwalun (golongan pertama kali masuk Islam), yang jumlahnya puluhan kemudian meningkat hingga ratusan saja.
Kemudian berlanjut periode Madinah yang yang mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode kedua ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (gol Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyrakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah”atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Muhammad wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyrakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 60 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.
Ini sesuai dengan firman Tuhan,”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Aji Setiawan)

Rek Bank Mandiri a/n Aji Setiawan no : 139-00-1091517-5

Tidak ada komentar: