Jumat, 29 April 2011

KH Ihya Ulumiddin


Senyum terkembang dan wajah yang senantiansa bergembira nan sejuk terpancar dari tamu kita kali ini. Dari wajahnya tang teduh ini tergambar keluasan dan kelapangan dadanya dan mencerminkan jiwa tarbiyah dan hidmah besar untuk umat Islam yang bertanya dan curhat dengannya. Dialah KH Ihya Ulumiddin , mudir Ma’had Nurul Haromain Pujon Malang.
KH Ihya dilahirkan di desa Parengan Lamongan Jawa Timur pada bulan Agustus 1952. Sedari kecil ia telah dididik dalam lingkungan yang sangat agamis dari kedua orang tua......
Ia mengenyam pendidikan dasar Sekolah Rakyat di dan lulus tahun 1964. Semangat belajarnya tergolong tinggi terutama ilmu-ilmu agama, sebab ia sejak kecil termasuk orang yang cinta ilmu pengetahuan. Ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Langitan Tuban selama 10 tahun. Guru-gurunya adalah ulama-ulama yang tidak diragukan lkagi kesolehan dan kedalaman ilmunya.
Rasa khirsh (antusiasme yang tinggit) terhadap ilmu agama mendorong Ihya remaja pada tahun 1974 untuk berkelana di wilayah tapal kuda Jawa Timur ke kota Bondowoso.di tempat yang disebut-sebut “Hadramuat” nya jawa Timur itu, ia berguru dengan Habib Hasan Baharun, seorang Ahli Tafsir AQL Qur’an dan Hadist terkemuka.
Semangat belajarnya tak pernah padeam, sebagaimana ulama-ulama besar Nusantara, tak puas rasanya mempelajari ilmu agama Islam tanpa belajar dari tempat sumber agama Islam yakni Mekkah Mukarramah. Pada tahun 1967ia kemudian berangkat ke Mekkah dan belajar langsung dengan Prof Dr Assayid Muhammad Alawiy Al Maliki atau yang biasa dipanggil Abuya oleh santrinya. Ia merupakan salah satu guru besar yang sangat terkenal di Mekkah.
Keterikatan Abuya KH Ihya dan Abuya Muhammad Maliki sebagai guru menempa kepribadian dan apembimbing ruhani KH Ihya menjadi lebih kuat lagi tentang ajaran-ajaran Ahlus-Sunnah Wal Jamaah. Kedekatannya dengan Abuya terlihat dari kenyataan bahwa semua perintah atau pesan Abuya kepada muridnya di Indonesia selalu disampaikan pertama kali melalui KH Ihya Ulumiddin. Sekali waktu ia diminta Abuya oleh Abuya ke Mekkah atau ke pondok pesantren lain , maka ia akan segera melaksanakannya.
Pada tahun 1980, KH Ihya Ulumiddin mendapatkan gelar Syahada Takhasusiyah (Ahli Tafsir hadist). Setelah itu ia mendalami bahasa Arab di King Abdul Aziz University Jurusan Sstra Arab selama satu tahun.
Sepulangnya dari Mekkah tepatnya thun 1980. Ia kemudian mendirikan Ma’had Nurul Haromain di Pujon Malanng Jawa Timur. Dalam menjalankan M’had Nurul Haromin ini ia terus dipantau oleh Abuya. Setiap kendala yang dihadapi akan dibantu dan dicarikan jalan keluarnya. Komunikasi yang sangat lancar menjadi semacam sinergi dakwah antara Mahad Nurul Haromain dengan Ma’had Rushaifah Abuya Assayid Muhammad Al Maliki Alawy Al Hasani ini tidak pernah terputus.
Selain menjadi pengasuih Ma’had Nurul Haromain ia juga menjadi pembina Yayasan Al Haromain. Nama Haromanin sendiri diambil dari sebutan untuk dua kota Mekkah dan Madinahyaitu dua kota suci. Yayasan Nurul Haromain bertempat di Surabaya tepatnya di Jl Ketintang Barat 1/27. Yayasan ini membawahi Ma’had Nurul Haromain dan cabangnya serta beberapa unit usaha lainnya. Karena itu ia harus membagi waktu untuk mengsuh Ma’had di Pujon Malang setip hari Senin- Kamis. Dari hari Jum’at – Ahad ia sudah ada di Surabaya. Setiap hari Jumat-Sabtu ia juga mengisi pengajin yng diadakan di Pasar Kembang Surabaya yang diikuti oleh ratusan jamaah yang kebanyakan dari kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya.
Terhadap realitas keberagamaan masa kini yang perlu disikapi, Ustadz Ihya berpendapat bahawa maraknya kemaksiatan dan kemungkaran sat ini, disisi lain juga dibarengi oleh munculnya kesadaran umat islam untuk melakukan dakwah dalam memperbaiki kondisi umat.”Hal ini perlu disyukuri dan merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan. Namun fakta menunjukkan bahwa diantara umat Islam ada dua kelompok masing-masing terjebak pada sikap ifroth (teledor/kendor) dan tafrith (berlebihan) dalam menyikapi kemaksiatan ini.”
Kelompkk pertama, menurut analisis Ustadz Ihya adalah kelompok Islam yang memiliki ghiroh (kecemburuan) yang sangat tinggi terhadap Islam, namun mereka tidak memiliki bekal ilmu yang cukup untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang Islam. Mereka punya semangat tetapi minim ilmu.”Mereka punya ghiroh tetapi tidak paham Islam. Mereka ibarat harimau ompong, tidak bertaring. Maka aungan mereka tidak sampai menggetarkan musuh –musuh Islam.”
Ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh kelompok ini, jelas Kyai Ihya.”Ketidakfahaman terhadap Islam bisa membawa masyarakat ke jalan yang salah. Dikira Islam namun sebenarnya bukan Islam. Dikira kebenaran namun sebenarnya kesalahan. Terlebih jika orang-orang yang tidak paham Islam ini kemudian terlanjur difigurkan oleh masyarakat, mereka memberi petunjuk Islam, menuntun sunnah bukan dengan Sunnah Rasulullah SAW yang terjadi kemudian adalah sesat dan menyesatkan orang lain. Ketika keilmuan Islamnya belum mencukupi, atau bahkan tidak mencukupi atau bahkan salah dalam memahami Islam. Boleh jadi, akan lahir orang-orang yang suka mengkafirkan atau menyesatkan orang lain atau membidah’kan sesama muslim hanya karena sempitnya wawasan dan keilmuan mereka,” kata pengasuh Ma’had Nurul Haroimain ini lebih lanjut.
Mereka terlalu semangat berdakwah, kata KH Ihya Ulumiddin, hingga mengabaikan abad-abad dakwah yang semestinya menjadi pakaian keindahan bagi seorang da’i.”Mereka seringkali berbuat ghuluw atau tafrith atau berlebih-lebihan dalam beragama. Mereka sangat eksklusif dan ekstrim kanan. Kadang-kadang muncul penyakit ightiroro bin nafsi (tertipu oleh dirinya sendiri), merasa paling benar sendiri dan yang lain salah. Mereka menyikapi perbedaan kalangan umat Islam dengan permusuhan,” katanya.
Fotor utamanya, menurut bekas khadam’ul imam haromain ini, adalah dikarenakan sempitnya pemahaman mereka terhadap Islam. “Sempitnya wawasan keislaman membuatnya tidak bisa membedakan antara perbedaan dan penyimpangan.Antara istilah ikhtilaf dan taffaruq, antara al-khatta’ (salah) dan dholal (kesesatan). Mereka menggeneralisir semua perbedaan dengan penyimpangan, wilayah ihktilaf disikapi dengan permusuhan, wilayah ijtihad dianggap akidah, maka kita berlindung kepada Allah SWT dari sikap-sikap seperti ini.”
Kelompok kedua, lanjut Kyai Ihya adalah kelompok Umat Islam yang mempunyai kapasitas keilmuan cukup baik, namun tidak memiliki ghiroh atau kecemburuan terhadap agamanya. “Mereka tidak memilki semangat dakwah yang tinggi sebagaimana ketinggian ilmunya. Mereka dihinggapi perasaan minder, takut kepada manusia bahkan takut kepada resiko dakwah. Kelompok ini sering kali menjadikan ilmunya untuk meraih pujian dan kehormatan di mata manusia,” kritik KH Ihya. Mereka dihinggapi penyakit wahn, yaitu takut mati/resiko dan terlalu mencintai dunia yang rendah.
“Ibarat harimau, mereka seperti harimau tidur. Mereka terlelap dan terbuai oleh dunia yang menyebabkannya tidak punya ghiroh, lemah mental dan semangat, kepedulian terhadap agamanya sangat rendah. Mereka tingalkan dakwah hanya untuk mengejar dunia, atau mereka berpaling dari dakwah hanya karena takut resiko. Mereka menumpuk-numpuk ilmu bukan diamalkan atau untuk diajarkan kepada orang lain, tetapi hanya untuk mengejar status sosial di mata masyarakat agar dirinya dikatakan sebagai ‘orang alim’. Ilmunya hanya untuk kebanggaan saja, tetapi tidak disebarluaskan dan sisampaikan kepada orang lain.”

Padahal mereka, jelas kyai Ihya, adalah orang-orang yang seharusnya menjadi pewaris para nabi dan rasul.”Kehadirannya di jaman sekarang, sungguh sangat ditunggu-tunggu umat manusia. Fatwa-fatwanya bisa memberikan petunjuk kepada jalan yang terang. Gerakannya bisa membuat lawan menjadi takut dan gentar. Ucapan mereka sangat didengar oleh umat. Pidato-pidato mereka bisa menjadi penyejuk hati yang gersang. Ucapan-ucapannya sungguh membawa kemaslahatan,” jelas Kyai Ihya Ulumiddin.
Terlebih secara keilmuan, mereka lebih memahami dan mengetahui Islam dibanding komunitas yang lain. Dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya, mereka adalah pewaris keilmuan para nabi dan rasul. Sembari mengutip hadist riwayat Abu Dawud, Tirmidi, Ahmad Hakim baihaqia danb Ibnu Hibban, KH Ihya berkata, “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.”
Jadi, terang KH Ihya Ulumiddin, berdasar hadist di atas, mereka harusnya tidak hanya mewarisi para nabi dari sisi keilmuan saja, namun hendaknya mewarisi para nabi dari sisi semangat berjuang dan berdakwah, mewarisi kegigihan nya dalam mebela Islam.
“Yang perlu disadari oleh mereka adalah bahwa kemaksiatan dan kemungkaran telah dipertontonkan di hadapan khalayak ramai.Tontonan menjadi tuntunan, sebaliknya tuntunan menjadi tontonan. Tidakkah mereka menyadari bahwa ketika kemaksiatan dan kemungkaran telah merata di seluruh lini kehidupan, dan mereka tidak ada yang mencegahnya dari perbuatan yang munkar, maka hampir-hampir Allah SWT^ akan menimpakan azab yang tidak hanya menimpa kalangan orang-orang yang berbuat maksiat, namun juga menimpa kepada orang-orang yang saleh di kalangan mereka?
Diriwayatkan dari Hudzaifah Ibnu Yaman Ra berkata bahwa Nabi SAW pernah bersabda,”Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Harus kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran atau kalau tidak , pasti Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdo’a , maka tidak diterima doa dirimu”. (HR Tirmidzi).
Diriwayatkan pula dari Abu Bakar Ra, ia berkata bahwa saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya jika manusia melihat orang dholim berbuat jahat, dan tidak mereka cegah hampir-hampir Allah akan meratakan siksa/adzab –Nya kepada mereka (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasai).
Melihat kedhaliman dan kemaksiatan yang sudah merajalela seperti ini, tidak selayaknya bagi orang-orang yang memiliki keilmuan Islam yang mencukupi bersembunyi di balik ketakutan-ketakutan kepada manusia, atau resiko yang mungkin timbul.
“Adalah Sayidina Ali RA bin Bai Thalib yang telah menganjurkan bahwa berdakwah kepada jalan Islam tidak akan menyebabkan rezeki seseorang terputus atau terhalang, bahka tidak akan mendekatkan seseorang kepada kematian. Artinya, tidak ada alasan bagi kita, terlebih kalangan yang lebih memahami esensi dari Islam, berpaling dari berdakwah atau pun lari dari medan dakwah hanya karena takut resiko,” katanya mengakhiri perbincangan.
Beberapa buku yang telah dikarang oleh Ustadz Ihya diantaranya adalh Tuntunan Shalat Menurut Riwayat dan hadist (1995), Dasar-dasar Dakwah dan Karakteristiknya (1996), Risalah Zakat (1996), Yasalunaka (2004) dan yang terbaru Ekstrim dalam Pemikiran Agama (2007). (***)

Tidak ada komentar: