Jumat, 01 Juni 2012

Tasawuf Al Qur’an Tentang Moralitas Manusia

Manusia adalah mahluq jasmani dan ruhani, dan karena itu wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualaitas yang bersifat kejasmaniyahan namun lebih bersifat kualitas-kualitas moral yang hidup dan dinamis. Hakekat proses perkembangan jiwa adalah rentetan dan susunan dari tindakan –tindakan dan pengalaman yang tidak pernah berhenti.
Aji Setiawan
Apa yang dinamakan sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna tidak akan pernah menjelma sebagai kenyataan faktual dalam diri dan kehidupan manusia. Yang ada dan terjadi hanyalah proses penyempurnaan diri dan tempat manusia mencoba dan berusaha membuat dirinya makin sempurna.
Ini berarti, Insan Kamil sebagai pola cita kepribadian sekali-kali bukan wujud konkrit dalam dunia nyata, selainkan suati ide abstrak dalam dunia cita. Tapi itu semua sama sekali tidak berarti proses perkemebangan jiwa tersebut dibiarkan berlangsung tanpa arah.
Bentuk pengarahannya terletak pada gagasan moral yang mengilhami dan meneafasi proses perkembangan jiwa mnusia tersebut. Di sini terlihat kedalaman makna peletakan al asma al husna sebagai cita moral bagi kehidupann manusia. Allah SWT berfirman, ”Kepunyaan Allah-lah Al Asma Al Husna (nama-nama yang agaung dan indah). Maka serulah ia dengannya. Dan Tinggalkanlah orng yang menyalahgunakan nama-nama-Nya. Mereka akan memperooleh balasan atas apa yang mereka kerjakan.” (QS Al A’Raaf : 180).
Adapun yang dimaksud dengan al asma al husna  menurut Muhammad Ali dalam bukunya The Holy Qur’an hal 1180 adalah,” Nama-nama yang menampakan sifat-sifat yang paling baik dari zat Illahi.” Sedang dengan perkataan fa ud’uhu biha,  menurutnya berarti, ”bahwa manusia harus menyimpan sifat-sifat illahi dalam pikirannya dan berusaha memiliki sifat-sifat tersebut, sebab hanya dengan itu dia bisa mencapai kesempurnaan.”
Hal ini dipertegas lagi oleh Al-Qur’an ,”Bagi mereka yang tiada beriman kepada hari kemudian , berlaku perumpamaan kejahatan. Tapi, bagi Allah, berlaku perumpamaan yang paling tinggi . Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS An-Nahl: 60).
Dalam ayat di atas, Al Qur’an mengkaitkan watsal al-su’ (sifat-sifat buruk) kepada orang-orang yang tidak beriman kepada hari kemudian, yakni kehidupan setelah mati sebagai proses lanjutan dari kehidupan dunia ini dan sebaliknya menisbahkan matsal al a’la (sifat-sifat luhur) kepada Ilahi.
Dengan demikian, terdapat isyarat halus dari ayat tersebut bahwa kepribadian orang-orang yang berhasil meningggalkan perbuatan buruk dan berusaha menumbuhkan matsal al a’la dalam dirinya. Atau dengan perkataan lain, menjadi kan sifat-sifat ilahi sebagai sumber gagasan yang mewarnai kehidupan akhlaknya, sebab kata Khadja Kamal-ud Din dalam buku The Threshold of Truth terbitan London th 1924, ”manusia diciptakan untuk mengambil Tuhan sebagai prototipenya dan untuk mewujudkan kembali akhlaq illahi.”
Pemancaran kembali sifat-sifat Ilahi dalam wujud akhlaq insani diperintahkan sendiri oleh Al Qur’an,”Berbuatlah baik sebagai mana Allah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,” (QS Al Qashash:77). Manusia dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesamanya sebagaimana Tuhan telah telah berbuat baik kepadanya .  dan kebaikan illahi kepada manusia dinyatakan dalam perwujudan sifat-sifat-Nya yang luhur dan sempurna. Karena itu , kebaikan manusia terhadap sesamanya harus dimanifestasikan dalam bentuk pelahiran dan perwujudan kembali sifat-sifat illahi dalam kehidupan manusia sesuai dengan batas kemampuan dan alam manusia.
 Dengan demikian, jelas dan pasti bahwa manusia tidak mungkinn bisa menyamai dan menyerupai sifat-sifat ilahi itu. Namun, dalam ketidaksempurnaannya sebagai mahlukk Tuhan, dengan meletakkan sifat-sifat illahi sebagai gagasan dan pola kehidupan moralnya, manusia berusaha mencoba mengarahkan proses perkembangan kepribadian.
Dan justru dalam proses mengarahakan perkembangan pribadinya pada keluhuran dan kesempurnaan sifat-sifdat illahi itulah manusia berhadapan dengan sumber illahi yang tak kunjung kering untuk pembentukan kepribadiannya dalam proses yang terus menerus dan tak kenal henti.
Perkembangan kepribadian               
            Insan Kamil atau manusia sempurna hanyalah sekedar gagasan ideal dari kepribadian manusia, Menurut Al Qur’an, ini harus dilakukan dengan menyerap sifat-sifat Illahi dan memancarkan nya kembali dalama kehidupan antar sesama manusia. Penyerapan dan pemancaran akembali sifat-sifat illahi ini pada hakekatnya adalah usaha pemantapan dan pemberian makna pada keberadaan manusia bahwa ia benar-benar ada, berada dan mengada, yang hanya mungkin terjadi dalam dalam komunikasi dan interaksi antara manausia dan keadaan di luar dirinya.
Ide tentang keharusan komunikasi tersebut dinyatakan Al Qur’an ,”Mereka selalu diliputi kehinaan, di mana saja mereka ditemukan, kecuali meereka berpegang teguh pada tali Allah dan tali manusia,” (QS Ali Imran:111).
Dari ayat tersebut terlihat ada dua sistem hubungan yang harus dilakukan oleh manusia dalam rangka proses penyempurnaan diri pribadinya dengan tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya, yang bisa kita sebut dengan “aspek keber-agamaan”  (hubungan manusia –Tuhan) dan “aspek kebersamaan” (hubungan manusia dengan manusia).
Hidup dalam keragaman adalah perwujudan nyata dari habl min Allah yakni hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam keberagamaan , manusia menyatakan sifat kemahlukannya yang sangat tergantung dengan al-Khaliq yang terwujud dalam sikap aslama yaitu penyerahan dan pemasrahan  diri (patuh dan tunduk) kepada Tuhan yang merupakan aspek asasi, bukan saja bagi hidup beber-agamaan melainkan juga bagi harkat keberadaanya di dunia.
Meskipun dalam wujud kejadian manusia terkandung aneka kemampuan batin, namun manusia dilahirkan dalam keadaan lemah:””Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah (QS An Nisaa’:28).
Aneka kemampuan batin manusia tersebut harus ditumbuhkan  dan dikembangkan dengan usaha mengenal , mencintai dan mengabdi kepada Tuhan hingga ia mampu menumbuhkan akhlaq illahi dalam dirinya. Dalam pengertian tasawuf, di sini terletak arti dan makna dari lembaga-lembaga ibadah yang diwajibkan dalam al Qur’an yang disamping merupakan sebagai media perkembangan kesadaran dan penghayatan wujud illahi juga mengandung riyadhah atau latihan bagi kemampuan penguasaan diri.
Inilah makna Al Qur’an :”Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang menciptakan kamu, supaya kamu bertakwa,” (QS Al Baqarah:21). Dan itulah sebabnya mengapa keberagaamaan dengan sendirinya merupakan aspek asasai bagi pengembangan nilai-nilai moral bagi penyempurnaan kehidupan pribadi sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial.
Aspek kebersamaan juga adalah salah satu prinsip dasar dari Al Qur’an, ia adalah gagasan tentang kesatuan umat manusia:”Manusia adalah satu umat saja,” (QS Al Baqarah :213). Tetapi di balik gagasan tentang kesatuan umat manusia tersebut, Al Qur’an tidak mengecilkan arti dan bahkan mengakui kenyataan eksistensial kemajemukan dan keberanekaan umat manusia. Umat manusia adalah satu dan sekaligus majemuk, satu dalam keberagaman dan beraneka dalam kesatuan.
“Hai manusia ! kami ciptakan kamu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan menjadikan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujuraat : 13).
Ayat di atas mengemukakan adanya lingkungan-lingkungan maknawi tertentu baik yang bersifat kesukuan, kekeluargaan dan kebangsaan maupun yang bersifat aliran-aliran pemikiran, keyakinan dan agama. Masing-masing lingkungan tersebut mempunyai daya pengaruh yang cukup besar untuk melahirkan ikatan batin dan tidak jarang juga ikatan fisik hingga menimbulkan proses pemiripan dan penyerupamaan pada warga lingkungannya dalam suatu identitas kelompok.
Dan tidak jarang bahwa daya pengaruh lingkungan demikian besarnya hingga menimbulkan akaibat-akibat negatif, menghambat perkembangan nilai-nilai dan identitas pribadi. Akan tetapi    (QS Al Hujuraat : 13) di atas memandang penting dan memberikan tempat yang wajar pada nilai-nilai dan identitas pribadi dalam kebersamaan.
Dengan perkataan lita’arafu  yang berarti untuk saling kenal mengenal. Al Qur’an menegaskan bahwa dalam komunikasi anatara manusia dengan manusia masing-masing pihak tegak sebagai subyek dan pribadi yang utuh. Hidup kebersamaan , menurut al Qur’an bukanlah wahana peluluhan melainkan sebagai media pertumbuhan nilai-nilai dan identitas diri. Dalam komunikasi itu manusia memperoleh kesempatan dan kemungkinan untuk memperkaya dan membangun jiwanya.
Menurut Al Qur’an sifat kebersamaan antar kehidupan manusia tersebut tidak hanya harus dimanisfestasikan dalam ta’awun atau kerja sama (coorperation) melainkan juga harus diwujudkan dalam istibaq atau persaingan (competation). Al Qur’an mengajarkan agar manusia saling bekerjasama untuk menegakkan kebajikan dan ketakwaan dan saling bersaing dalam mengejar kebaikan (QS Al Maa-idah : 48). Dengan memberikan arti yang senilai dan searah sama pada kerja sama dan persaingan antar manusia . Al Qur’an mmeberikan bentuk dan isi pada hidup kebersamaan yang sesuai dengan fitrah manuisa. Kebersamaan ini diwujudkan dalam sikap yang saling berbuat baik satu sama lain baik untuk dirinya mau pun untuk orang lain.
Perkembangan Jiwa      
Perkembangan jiwa berlangsung menyatu dalam kesenyawaan dengan penyerapan dan pemancaran kembali sifat-sifat ilahi yang diwujudkan dalam kehidupan keberagamaan dan kebersamaan yang masing-masing dan bersama-sama merupakan aspek asasi bagi keberadaan manusia. Maka hanya yang dalama hidup keberagamaan dan kebersamaan tersebutlah manusia akan mencapai kesetabilan jiwa. Inilah yang oleh Al Qur’an disebut al nafs al muthmainnah serupa dengan firman Allah SWT dalam QS Al Fajar ayat 27-30: ”Hai Jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.”
Dilihat dari segi perkembangan kejiwaan manusia maka nafs al muthmainnah dapat sepeerti diungkapkan oleh Yusuf Ali dalam The Holy of Qur’an hal 1735 dapat disebut sebagai tingkat terakhir dari kebahagiaan atau lebih tepat tingkat tertinggi dari perkembangan ruhani. Dan dalam tingkat inilah manusia mencapai dan berada dalam suasana batin “la khawf ‘alayhim wa la hum yahzanun”, yakni suasana batin di mana manusia mersakan kebahagiaan diliputi oleh rasa aman, tentram bebas dari rasa takut dan duka cita.
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah , sedang ia berbuat kebajikan , maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah :112).
Kebebasan batin dari rasa takut dan duka cita itulah yang harus menjadi arah perjalanan hidup manusia di dunia ini. Hal inilah telah diisyaratkan Al Qur’an dalam kisah kejatuhan Adam dari situasi surgawi ke situasi duniawi.
“Kami berfirman,”Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka , dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al Baqarah : 38).
Jika Insan Kamil atau manusia sempurna itu hanya gagasan ideal dalam dunia cita dan tidak akan pernah terwujud dalam dunia nyata, maka suasana batin yang “la khawf ‘alayhim wa la hum yahzanun” harus dipandang sebagai gagasan dinamis dalam prosess perkembangan keperibdaian manusia. Proses pengembangan kepribadian manusia adalah penyempurnaan diri pribadi yang bersifat terus menerus dan tidak mengenal titik akhir . Ia harus dilakukan tanpa jemu dan henti dalam keberagamaan dan kebersamaan.
Keberagamaan dan kebersamaan bukanlah dua aspek yang terpisah satu sama lain, melainkan harus dilihat dan didudukan dalam keutuhan hidup manuisa yang berlangsung dinamis. Dr Mohammad Iqbal dalam The Reconstruction of religion Thought in Islam menyebutkan manusia dan seterusnya sebagai penerima cahaya ketuhanan , bukanlah hanya penerima pasif.
Setiap perbuatan dari sifat ego merdeka melahirkan situasi baru, dan dengan demikian kemungkinan lebih jauh akan menimbulkan kerja kreatif. Dan justru dari kerja kreatif itulah manusia berusaha secara terus menerus mengembangkan keperibadian dirinya , memperjelas kehadiran nya dan memberibentuk serta isi pada keberadaannya sebagai mahluk yang diciptakan dalam keadaan ahsan al taqwim.(***)

Tidak ada komentar: