Selasa, 15 Desember 2015

Jejaring Ulama Nusantara


Jejaring Ulama Nusantara
Katalog Dalam Penerbitan : ISBN : 0507-11878 U
Jejaring  Ulama
Nusantara

Hak penerbitan ada pada penerbit :

Penyusun: Aji Setiawan
Penyunting: Penerbit
Desain Sampul:
Diterbitkan oleh penerbit:


Buku ini dapat dipesan di perwakilan penerbit:











Pengantar Penulis
                                                                                                         
Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam semoga selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga , sahabat dan pengikut setia beliau hingga hari kemudian.
Pembaca yang budiman yang semoga senantiasa di Rahmati Allah SWT, pada kesempatan kali ini penulis mencoba menyajikan sebuah jejaring ulama-ulama terkemuka Nusantara sejak kedatangan Islam masuk Indonesia. Ada banyak sekali ulama-ulama dari Indonesia yang menjadi rujukan bagi umat Islam dunia. Sumbangan pemikiran dan intelektual muslim Indonesia itu tidak saja mewarnai khazanah Islam Indonesia namun juga Dunia yang terangkum dalam buku “Jejaring Ulama Nusantara”. Di mana mereka menyambung mata rantai  khazanah Islam Nusantara dari dahulu dan berkembang hingga kini.
Dengan dibukukan semoga karya dan sumbangsih ulama-ulama terkemuka Nusantara itu dapat dijadikan referensi dan dapat dijadikan rujukan lebih lanjut dalam khazanah Islam Nusantara.
Demikian pengantar penulis dalam penerbitan buku “Jejaring Ulama Nusantara” semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian.

Penulis

Aji Setiawan







                                            Daftar Isi


Buku : Jejaring Ulama Nusantara


Cover---i
Katalog Dalam Penerbitan—ii
Pengantar Penulis--iii
Daftar isi---iv
1.      Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia---
2.     Sejarah Thariqah Masuk Indonesia—
3.     Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa---
4.     Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di Indonesia
5.     Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi Hari Santri Nasional—
6.     Peran NU Pra dan Pasca Kemerdekaan
7.     Habaib dan Ulama Berdampingan Membangun Betawi—
8.     Peran Strategis Ulama Pada Masa Sekarang—
9.     Pentingnya Pendidikan Karakter---
10. Misi Pendidikan Islami-- 
11.  Catatan Penutup
12. Daftar Pustaka
13.   Biografi Penulis






                      1   Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli.

Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.
Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24).
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, transkripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)
Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76).
Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India.
Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).
Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).
Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah satu-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu.
Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para ahli yang lain.
SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di Bengal bermahzab Hanafi. (Azra, 25).
Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26).
Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)
Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya.
Kesamaan kebudayaan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringatan ini ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab Syafi’i. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual Islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.)
Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab ‘Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.
Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28).
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magribi (Maroko).
Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).
Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963.
Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. (Suryanegara, 81-82).
Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82).
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur. Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92).
Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.
Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.
Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai.
Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar. Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke Indonesia.
Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India. Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480). (***)























                 2           Masuknya Thariqah dan Perkembangannya di Indonesia

Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara.

Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada masa daulah  Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan  rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah, dan Zuhhad.
Dua golongan pertama memberontak  dengan  motivasi politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat  bahwa kehidupan rohani yang terjaga  dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati)  itu pula yang belakangan mereka yakini telah menghancurleburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan  yang terbentang dari  daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.
Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan  sebagian  kaum muslimin yang semata- mata berusaha  mengendalikan jiwa mereka  dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT, agar tidak terpengaruh dan terpedaya  oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat untuk  mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat  ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah).
Dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh  dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi  hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh  berkembang di kalangan masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu tashawuf  atau sufisme.
Bersamaan munculnya tasawuf di akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi. Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran.
Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk  menyebut suatu  pembimbingan pribadi dan perilaku  yang dilakukan oleh seorang guru musyid  kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbedaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, Alawiyyah dan lain sebagainya.

Mursyid Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.
 Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’.
Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah SAW, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.
Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain.
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah.
Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqoha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. 
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.  
Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan  spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para Wali.
Sayangnya dokumen sejarah Islam sebelum abad 17  cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim. Sebenarnya tak jauh berbeda, definisi tasawuf menurut Buya HAMKA dalam buku Tasawwuf Modern, tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang jelek menuju budi pekerti yang luhur.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili.
Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.  Thariqah lain yang masuk Nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawa adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.
Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal. 
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya. 
Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).  
Thariqah Alawiyyah sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW.  Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.  
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim Nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.  
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke Nusantara di seputar abad 19-20. Seperti Nama Al-Idrisiyyah dinisbatkan kepada salah seorang Mursyid Al-Idrisiyyah yang bernama Syekh Ahmad bin Idris Ali Al-Masyisyi Al-Yamlakhi Al-Hasani. (1760 - 1837), salah seorang Mujaddid (Neo Sufisme) yang berasal dari Maroko (Maghribi). Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama tarekat ini adalah nama ayah dari pendirinya. Syekh Ahmad bin Idris dikenal sebagai sosok Ulama yang berhasil memadukan dua aspek lahir (syari’at) dan batin (hakikat). Ia juga dikenal sebagai pembaharu dalam dunia tasawuf dari penyelewengan kaum kebatinan seperti tahayul, khurafat, dll.
Tarekat Sanusiyyah dibawa ke Indonesia oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah tahun 1932. Dia menerimanya dari Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi (1875-1933) di Jabal Qubais (Mekkah) dan berguru selama 4 tahun. Kemudian dengan beberapa alasan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah mengganti nama tarekatnya menjadi Tarekat Idrisiyyah. Sejak masuknya ke Indonesia pada masa penjajahan, Tarekat ini sudah mengalami 4 kepemimpinan. Saat ini tampuk pimpinan tarekat dipegang oleh Syekh Muhammad Fathurahman, M.Ag. Dalam masa kepemimpinannya Al-Idrisiyyah telah berkembang hingga memiliki 50 Zawiyah yang tersebar pada 12 Propinsi di Indonesia.
Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Chalidiyyah (TNC), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Chalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk Nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzanjani (khalifah Maula Khalid) itu TNC-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.
Thariqah Naqsyabandiyyah Chalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).  
Setidaknya ada 45 Thariqah NU yang berstandar, yakni Thariqah yang Mu’tabaroh. Hanya mereka yang memenuhi standar saja yang diperkenankan masuk menjadi Banom NU dalam JATMAN, Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabaroh Al Nahdliyyah. Seperti apa standar Thariqah versi NU? KH. Aziz Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar Jombang pernah melakukan penelitian tentang aliran Thariqah di Indonesia. Kesimpulan yang didapat; keberadaan Thariqah di tanah air ini ada sekitar ribuan. Jumlah itu dianggap wajar seiring dengan dinamika yang mengelilinginya.
Secara singkat, Kiai Aziz mengemukakan bahwa kriteria ke mu’tabaran sebuah Thariqah adalah dapat dilihat dari sanad para Mursyidnya yang muttashil (bersambung ijazah bai’at -nya) sampai kepada Rasulullah SAW. Demikian pula yang tidak bisa ditawar adalah ajaran yang disampaikan harus berpedoman pada pakem NU; yakni dalam fiqh mengikuti salah satu imam empat. Dalam aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Maturidi.
Jika di andaikan sebuah rumah, maka Thariqat adalah pondasi paling bawah yang menjadi dasar bangunan besar Nahdlatul ulama. Kemudian pesantren, di lapis kedua,  dari struktur bangunan organisasi kemasyarakatan NU. “Karena masuknya Islam ke bumi Nusantara, diawali dengan masuknya thariqat, jadi thariqat adalah peletak dasar bangunan NU. Kekuatan inilah yang menjadikan NU mengakar di tengah-tengah jama’ah dan jamiyyahnya,” demikian diungkapkan Ro’is A’am Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’Tabarah An Nahdliyah, KH. Habib Luthfiy Ali bin Yahya.
Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa agama Islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara dan Afrika Selatan bahkan di Indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan Ilmu-ilmu Islam di daerah itu, seperti Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh Abdurrauf Singkly, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan masih banyak lagi; sebagai orang-orang yang sangat berjasa dalam pengembangan Islam di sana.
Demikian pula di Jawa, terkenal dengan Walisongonya sebagai ulama yang berjasa dalam pengembangan Islam. Dan masih banyak lagi yang dapat disebutkan hanya untuk menjelaskan bahwa ulama-ulama tasawuflah yang banyak jasa dan pengorbanannya dalam pengembangan Islam di dunia. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda adat dan budaya maupun bahasa mereka berbaur dengan masyarakat dengan hati dan jiwa suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah dan Rasul-Nya difahami.
“Jadi sufisme atau dalam Islam diberi nama tasawuf , bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi. Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tarekat,” urai habib Luthfi bin Yahya yang memiliki puluhan juta jama’aah ini.(***)
















                    3          Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa

Dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme

John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah,  kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam. Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan kedaerahan, pola tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan modern.
Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama diteliti oleh Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh, bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di berbagai negara Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ‘ilm, mata rantai emas sanad keilmuan-red) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam dari tempat Nabi Muhammad SAW berasal, yakni daratan tanah Arab (Timur Tengah).
Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis. Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas.
Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya. Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis.
Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani. Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian sejak paruh kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern. Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition.
Jaringan Ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam Nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci digunakan Dr Azyumardi Azra  dalam menguak jejaring ulama Nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan. Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua adalah kata Transmisi. Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyebarkan , menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya. Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi (Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing.
Ulama-ulama Nusantara memberikan sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena,  pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan). 
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam. Islam dimasa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing. Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme.
Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama Melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan. Perkembangan pemikiran dan keilmuan didunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim.
Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut. Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya. Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China ( melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional yang berpusat di Haramayn (Mekkah). Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme. Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Ulama Nusantara pada masa itu antara lain Syekh Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), Syekh ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari (1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad Al Banjari (w.1777) dll.
Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah pimpinan Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll , ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), P Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme. Pengembangan keilmuan Islam pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya banyak ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (territorial) Kompeni Belanda.
Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di Nusantara di atas makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah Madinah (Haramain)  konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa Indonesia. Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring ‘Busur Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus jejaring ulama Nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara sebelumnya.
Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama Nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun.
Seperti dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis, dari Jawa muncul Syekh Habib Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi , Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani,  Syekh Mahfudz Termas Pacitan, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama Nusantara.
Poros ulama Nusantara di Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal Syekh Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan, Al Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, Syekh  Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogjawi, Tuan Guru Haji Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Zainudin Pancor , Lombok NTB) , KH Ahmad Sanusi Sukabumi Gunung Puyuh Sukabumi, Guru Mansur Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri,  Dr. H Moh Hatta Bukit Tinggi dll. Kenapa penulis perlu memasukan Dr Hatta dalam salah satu khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan Haji Mohammad Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga belajar dengan Syekh Arsyad dan Syekh Djambek yang tiada lain tokoh besar ulama Minangkabau pada masa itu, dll.
Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari menjadi jangkar ulama di Nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah di pesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan. Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asy’ari berupaya mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (intelegensia/cendekiawan) untuk bergerak bersama KH Wahab Hasbullah dan kyai-kyai di Surabaya pada tahun 1926 dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus (Guru Tua) dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari, KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Fatullah Harun, KH Zayadi Muhajir dll). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil Dr Moh Hatta , KH Abdul Wachid Hasyim, Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya.
Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama baik Jumhuriyyah Indunisie maupun pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional  dan gerakan Islam moderat. Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih berkembang hingga kini  telah mewarnai, bentuk dan serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi, hukum  dan sosial budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI . (***)























                  4     Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam  di Indonesia

Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.

Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22).
Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22)
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren  membekali santrinya dengan ilmu hidup,  mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan.
Dari pesantren, Menag mengaku memahami  peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi kiprah  pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur Menag. Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa ke thawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya. 
Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa depan santri,” urai Menag panjang lebar.
Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20). (*****)






               5     Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi Hari Santri Nasional

Gagasan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap  22 Oktober menjadi sebuah rutinitas ceremonial (upacara) kenegaraan baru namun perlu disambut dengan positif thinking.

Hari ini tanggal tepat 22 Oktober 2015 pada kalender Nasional ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo dengan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No 22 Tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta patut disambut dengan positif thingking. Kenapa hari ini dipilih sebagai hari santri? Keppres tersebut telah diteken oleh Presiden Jokowi 15 Oktober. Penetapan Hari Santri sendiri telah dijanjikan Jokowi saat berkampanye di Pilpres 2014. Alasannya adalah untuk menghargai jasa santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada hari ini, bertepatan dengan 70 tahun yang lalu dikeluarkankan fatwa Jihad oleh AlHadratus Syaikh Hasyim Asy’ari al Basyaiban. Dengan demikian 22 Oktober 1945 bagi santri Nahdlatul Ulama pada saat itu pada saat itu keluarnya Fatwa berperang (jihad) melawan Kompeni Belanda.
Keluarnya berperang melawan segala bentuk penjajahan dunia sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan oleh AlHadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sejak pertama kali Asyaikh membuka pesantren. KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Asy’ari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri.
Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya baik padi maupun palawija serta rempah-rempah. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH. Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim.
Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Wahid Hasyim (anaknya, salah satu founding father Republik Indonesia) dan KH. Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim Asy’ari al Basyaiban.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Karuan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represif dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA Nedherland (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
  Para ulama dianggap oleh para penjajah sebagai ‘Pendeta Islam’ itu ternyata merupakan golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.”
Kedua, memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda. Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota. Ketika Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di daerah jajahannya, KH Hasyim Asy’ari —pemimpin para ulama di Jawa—menentang. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan kapal Belanda hukumnya haram.
Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka meminta orang-orang Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk mempertahankan Indonesia melawan musuh Jepang. Waktu itu Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa yang terkenal, yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan mendukung Belanda selalu gagal dilakukan. Bahkan tawaran Belanda yang akan menganugerahkan bintang jasa terbuat dari perak dan emas pada 1937 ditolaknya. Gerakan non kooperatif pada penjajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama lainnya.
Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama. Ajaran perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis, yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidin—ajaran utama tahun 1889—bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan kewajiban moral (fardu ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam. Padahal pada waktu Muktamar HBNO (Hoolfbestuur Nahdlatoel Oelama) 1928 di Banjarmasin Kalimantan, HBNO telah menyebut sebuah konsep Negeri Darussalam (sebuah negeri yang penuh aman, sehat, adil makmur, sejahtera dan penuh keselamatan).
Perang Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar lima tahun (1825-1830) juga karena alasan serupa. Dalam proklamasi dan permintaan dukungannya pada ulama, bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro—pangeran yang juga ulama—menekankan bahwa ia adalah pemimpin ‘perang sabil’, perang suci, untuk mengusir Belanda yang tidak beriman dari Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menghimbau mereka “untuk ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurken agami Islam)”.Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya.
Setelah penjajahan Jepang berakhir dengan kekalahannya pada Perang Dunia II, Belanda dan pasukan Sekutu berusaha menjajah Indonesia lagi. Saat itu, Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama NU, sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan perlawanan rakyat terhadap Belanda dan Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946.
Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anak-anak, bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar jarak 94 km (jauh), kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup dikerjakan oleh sebagian saja. Keberhasilan pertempuran Hari Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat Singaparna di Jawa Barat, dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa jihad dari para ulama.
Mengenang hari santri pada hari ini tepatnya tanggal 22 Oktober 2015 setidaknya mengenang jasa perjuangan salah seorang pejuang dan founding father bangsa ini KH Hasyim Asy’ari. Setidaknya dimana rekam jejak KH. Hasyim dari kurun waktu 1899 sampai 1913 dalam membangun pesantren Tebuireng tidak mudah. Pesantren Tebuireng sempat dibakar Belanda pada tahun 1913 karena perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun saat itu KH. Hasyim menasehati santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya waktunya dianggap belum tiba.
Sebuah kesabaran yang luar biasa dari sosok seorang ulama dan pejuang, AlHadratus Syaikh sampai menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang untuk membiayai pesantren. AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner (pengusaha) yang sukses, Jatuh bangun membangun nama besar Tebuireng, sebagai sebuah Pondok Pesantren. Namun berkat kesabaran, semua rintangan beliau lalui dengan sukses selain bertani, berkebun, berdagang kuda dan rempah-rempah di Surabaya.
KH. alHadratussyaikh Hasyim Asy’ari alBasyaiban juga seorang pendidik modernis. Akan tetapi model pendidikan pesantren yang saat itu juga bersamaan dengan cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat yaitu Dinniyah School dan Sumatra Tawalib School serta Madrasah Jamiat Kheir Tanah Abang Lembaga Rabithah Alawiyah.  KH. Hasyim Asy’ari juga menjalankan sistem yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal dipesantrennya pada 1916. Pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin , ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi dengan dengan bangku dan meja. Pembaruan dan pembaharuan ini sempat menimbulkan reaksi cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dianggap terlalu modern.
Kesadaran bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah satu santrinya yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asy’ari yang juga tidak lain adalah anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum Hasyim meninggal, Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO. KH. Wahid Hasyim pernah diminta pulang ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes Tebuireng jumlah santrinya berjumlah 1500 orang.
Semasa kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pesantren tidak melulu diajarkan pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non agama seperti Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda dan  Inggris. Dalam proses belajar KH. Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy) antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya. “Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,” kata KH. Muchit Muzadi  (alm) sebagaimana dikutip majalah Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45.
Selain perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid Hasyim juga membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan. Ragam bacaan mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada waktu itu perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan Kementrian Sosial sekarang-red).
Perkembangan pesat Tebuireng juga diganggu Perang. Pada pertengahan 1948-setahun setelah  Wahid  menggantikan Bapaknya, pasukan Belanda masuk Jombang bahkan merangsek masuk pesantren. Santri Tebuireng berpencar kemana-mana, sementara KH. Wahid  Hasyim beserta keluarga memutuskan pindah ke Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh Masyumi apalagi setahun kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Tebuireng saat itu dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim dan KH. Ahmad Baidlowi. Ditengah kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid Hasyim tetap memantau perkembangan Tebuireng, semua santri yang terpencar di mana-mana dipanggil kembali untuk meneruskan pelajaran.
Kata Jihad (berperang) dikeluarkan pada saat penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut positif, karena mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel)  dll. Jihad juga tidak harus memanggul senjata dan berperang.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy).
Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada saat itu.  Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie di muka.
Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa mulai dari  menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon.
Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia  Belanda. Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.    
Kembali kesoal dunia santri, santri bila dilihat secara harfiyah terdiri dari lima huruf; Sin, Nun, Ta’, Ro dan Ya’. Kelima huruf itu mempunyai arti tersendiri. Pertama huruf Sin, berasal dari kata salikul fil’ibadah (melaksanakan ibadah). Nun, berasal dari kata naibun ‘anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta’ berasal dari kata taibun artinya santri senantiasa bertaubat dari melakukan dosa  dan menjauhi maksiat. Huruf keempat Ro’ berasal dari kata roghibu artinya senang mendatangi tiap-tiap kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara yang bajik (baik, bagus), santri selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf kelima Ya, berasal dari kata yaqin. Satri harus yakin dengan pembagian nikmat dari Allah Subhannallah Wata’ala Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren “Al Kautsar” Babadan Kediri; 2002).
Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa belajar tidak berfikir yang penting sebagai santri mencari kepintaran dan masih perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren, yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian seputar dunia santri, Manghayubagya Hari Santri Nasional yang pertama semoga sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga cita-cita Negara dan Bangsa  Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. (*****)































               6     PErAN NU PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN RI

Sejarah mencatat Tinta Emas kemerdekaan RI tidak jatuh dari langit, namun melalui jalan panjang pergerakan umat Islam Indonesia. Jejaring ulama pada 18-19 yang banyak menimbulkan korban begitu banyak di kalangan rakyat, mulai dari Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Padri, Pemberontakan Petani Banten, membuat sebagian tokoh cendekian terpelajar merubah pergerakaan yang tadinya non kooperasi menjadi kooperasi sembari menyatukan barisan untuk sebuah pergerakan melalui jalur pendidikan.
          “Pergerakan tanpa pendidikan adalah pemberontakan”  sangat pas lah untuk menggambarkan perjuangan umat Islam pada masa untuk mencapai cita-cita bersama atau mimpi besar (great imagine) masa depan gemilang. Munculnya Jami’at Kheir, NU, Muhammadiyyah, Masyumi adalah upaya –upaya organisasi Islam untuk  memperjuangkan anggota-anggotanya.
Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)
Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua Rapat Akbar Umat Islam Indonesia ini untuk memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah.
Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.
KH A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik).
Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud.
Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma’sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11).
Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”
Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Sampai sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya saja sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH. Rois Said berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54 menyebutkan, Hasan Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari “marga” Gipo sehingga nama Gipo diletakan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung, atap para wali) dan al-dien (agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan Abdul Latief Gipo.
Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel.
Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik. Sebagai orang yang punya keturunan Arab, Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik.
Baru sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang didampingi KH Hasyim Asya’ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH Wahab Chasbullah sebagai Katib ‘Am. (Sumber: surat permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru merespon permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini berada di Universitas Leiden, Belanda.

Kantor HBNO
Presiden HBNO pertama, H. Hasan Gipo, menempati sebuah rumah yang sederhana sebagai sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan otonom NO yakni barisan pemuda Anshor berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya. Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul meletusnya perlawanan rakyat melawan penjajah pada 10 November 1945. KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Angresi Militer Belanda II. Akhirnya kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya. Sejak ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta, 1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta. Ruangan kantor PBNO terletak di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah timur stasiun Gambir. Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang ‘Waras’, sebuah perusahaan dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim, Zainul Arifin dan Achsien.
Sekalipun berpindah-pindah kantor, NO telah menjelma menjadi ‘bayi raksasa’ seperti yang telah diramalkan KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan menadapat dukungan yang luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf. Tak mengherankan jika pada Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun persiapan, NO mampu menduduki tiga dari the big four (empat besar) pemenang pemilu dengan jumlah pemilih 6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi keempat ditempati PKI.
Tentu, untuk ukuran sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di Indonesia, kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH Saifuddin Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk mencari tempat yang lebih layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164.
Ketika melihat bangunan fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya layak sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin bahwa letak yang strategis dan harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan dapat diangsur dua kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang baik dan harga terjangkau PBNO karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang menggembirakan. (sumber: Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987).
Selain itu ada cerita menarik lainnya, dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan yang sama yakni makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh yang terkenal sangat nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat 164 sebagai kantor PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri.”Letaknya kan hanya 300-400 meter dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita,” kata Dahlan kepada Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4 partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI.
Hingga kini, setelah 70 tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan sebagai kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan.(***)
               7       Berdampingan Membangun Betawi


Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi, di Jakarta atau Batavia itu. Ada sebutan Habaib yang menandakan bahwa ia adalah anak keturunan Rasulullah SAW

Para Habaib itu datang ke Betawi sejak jaman penaklukan Sunda Kelapa oleh R Fatahillah (Jatinegara Kaum) dan seiring migrasi besar-besaran dari tanah Hijren terutama pada abad 18. Dalam dunia Islam, baik dari sunni maupun syiah, di Arab maupun di luar Arab, bertarikat ataupun tidak, dikenal dengan adanya golongan-golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau sebagai keturunan nabi.
Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme.
Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Baalawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).

Berjuang
Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap — lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen — Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al Qur’an yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.
Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani itu mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. ”Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris saat itu.
Seperti layaknya meneruskan perang Salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai — figur yang dihormati di masa penjajahan.
Ia memang banyak belajar dari kekalahan kumpeni pada Sunda Kelapa yang saat itu ditaklukan R Fatahillah. Sesudah Sunda Kelapa kembali berusaha direbut VOC Kumpeni, tetapi itupun sangat tidak mudah bahkan terus menerus mendapat perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh kyai dari Jawa, para ulama dan Jawara, pendekar Banten yang bahu membahu mempertahankan Sunda Kelapa atau Batavia dari pendudukan penjajahan asing. 
Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini — sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan — lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.
Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.”
Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, Prof Dr Abdul Karim Amrulah (HAMKA) yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air — meskipun keduanya dimasukkan ke dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.
Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan ulama terkemuka.
Seiring dengan arus urbanisasi itu, mereka datang ke Sunda Kelapa pada waktu itu. Ini bisa dilacak dengan kedatangan para Habaib di bumi Betawi di makam-makam keramat yang ada di Luar Batang, Kramat Bandan, Koja, Kwitang, Al Hawi, Kalibata dll yang menandakan bahwa kaum Habaib tidak membentuk komunitas sendiri menjadi kaum Arab, namun bersimbiosis dengan ulama lokal Betawi dalam bahu membahu pergerakan dakwah Islam dari masa lalu hinggi kini. Pergerakan jalur maritim lewat pantai utara Jawa yakni Pelabuhan barang Tanjung Priok dan Pasar Ikan Muara Angke. 
Yang awalnya komunitas penduduk itu berada di belahan utara Jakarta sedikit demi sedikit bergeser ke arah Selatan atau Kota mulai dari Pekojan, Tanah Abang, Senin, hingga akhirnya kawasan kampung Arab tidak bisa menjadi dominasi penduduk karena Jakarta sudah bercampur baur. Ada mungkin orang akan mencari jejaknya lewat kumpulan makam Habaib Arab yang ada di Kramat Luar Batang, kampung Bandan, Al Hawi Cililitan, Kalibata, hingga Bekasi, Depok, Bogor bahkan Banten. Keberadaan makam para Habaib ini tetap lestari karena ziarah makam, peringatan Maulid dan Haul (memperingati hari meninggalnya orang), upacara menikah, tasmiyah (aqiqah, pemotongan rambut pada bayi) sampai upacara saat meninggal menjadi tradisi dan adat kalangan Habaib.



Berdampingan
 Kaum Habaib sangat terbuka dan berjalan seiring berdampingan dengan ulama setempat, karena ajaran Islam yang dibawa sama, bahkan ulama lokal banyak berguru dengan Habaib dan Habaib juga banyak berguru dengan ulama Betawi yang berbobot.
Sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui berkiprah dalam melaksanakan ibadah haji saat ini — dengan pesawat udara — hanya perlu waktu 10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama pelayaran.
Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah al Maukaramlah.
Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Al Banjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al Sambasi dari Sambas dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.
Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama Mahzab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan Jakarta Barat, ini.
Enam ulama Betawi mulai Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Mansyur, Guru Madjid, Guru Mahmud dan Guru Khalid juga dikemudian hari yang hadir sebagai simpul pengikat mata rantai emas keilmuan (sanad ‘ilm) dari hampir setiap ulama di kemudian hari. Keenam guru utama ini adalah murid terkemuka Syekh Junaid Al Betawi.
Selama itu di Betawi bukan sepi oleh perlawanan rakyat. Justru bersamaan dengan berakhirnya Perang Diponegoro, saat itu di Betawi muncul awal letupan-letupan sosial sebagaimana Kisah Si Pitung, Jampang dan Entong Gendut dan nun jauh di bagian barat Betawi yakni bagian paling Barat Pulau Jawa, Kab Cilegon (sekarang Provinsi Banten-red), muncul pemberontakan lokal petani desa oleh Haji Wasit, H. Abdul Karim, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail.
Ulama-ulama lokal yang pergi haji, kemudian banyak belajar dengan Syaikh Junaid di Mekkah. Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat.
Seorang puteri lainnya yang menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syech Junaid yakni As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun.
Kawasan Pekojan dikenal melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji’un, dan Kyai Syamun. Termasuk Habib Ustman bin Yahya dan Guru Mansyur dari Kampung Jembatan Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk, ”Betawi, rempug.”
Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Al Habsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman yang melukis gambar Pangeran Diponegoro bertempur dengan seekor macan.
Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH R Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun dan KH Sjafi’i Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad.
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan — sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Al Hamidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.
Di antara murid Syekh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syech Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Mujtaba tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki Cipinang Muara Jakarta Timur, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya. Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi’ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tohiriah) itu kini berkembang pesat sekali. Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.  KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga pendidikan Islam.
Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang megah. Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie — perguruannya menghasilkan ribuan orang — di antara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia.
KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.
Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian, yang jamaahnya cukup banyak.
Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena keberaniannya di front terdepan Bekasi — Karawang — Purwakarta, KH Fathullah Harun, KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, Paseban, dan sejumlah kyai lainnya. 
Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafi’i Hazami, mantan ketua MUI Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota. Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah pesantren yang kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan Tugu (Sawangan Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak tingkat TK sampai SLTA.
Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren — sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok — KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran.
Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH. Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.
Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Al Habsyi, putera Habib Muhammad Al Habsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid perempuan ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Al Hazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Al Hamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Al Hamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Pada masa itu di Betawi sejaman dengan Singa Podium Jakarta Habib Novel bin Salim bin Ahmad Jindan alm, Habib Syekh Ali Jufri alm (Condet), KH Syukron Makmun, KH Hasyim Adnan (Kayu Manis) dll.
Perjuangan Habib Alawi kemudian diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo forum alim ulama Betawi yang pada waktu itu dikomandani KH Saifuddin Amsir ke DPR menolak SDSB. Keluarga Jamalullail termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluarga Jamalulail.
Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi juru dakwah yang handal. Mereka telah mempelopori berdirinya surau-surau di Jakarta — yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujtaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Ustman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri atau Hari Idul Adha.
Tahun 80 sampai akhir tahun 2000 an gaya berdakwah ulama Betawi tetap berbobot dan bersahaja. Di balik riuh denyut ibukota, kehadiran gaya orasi KH Zainudin MZ (alm) adalah cukup fenomenal sebagai awal kebangkitan dakwah di akhir abad 19 karena banyak menyedot perhatian dan simpati puluhan ribu pengunjung dan dakwah Islam menjadi menarik bisa masuk ke acara televisi, media telivisi dan elektronik.
Kemunculannya lewat polesan KH Dr. Idham Khalid alm semasa menjadi ketua NU dan sekaligus Ketua PPP pada waktu itu, di kemudian hari menjadikan gaya berdakwah KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (Bang Haji) pada Pemilu 1977 menjadi rujukan banyak ustadz dan kyai yang masuk ke dalam dunia televisi dan media. Mulailah bermunculan dai-dai bintang ibukota yang lahir dari sentuhan dingin dari Habaib dan ulama Betawi.  
Dengan demikian, selain arus gelombang urbanisasi pada kurun tahun 70-90 an dan simbiose mutulalisme masyarakat setempat pada akhirnya banyak juga melahirkan ulama-ulama yang sebelumnya belajar pada ulama-ulama lokal bahkan internasional kemudian masuk ke ibu kota berbaur dengan tradisi masyarakat setempat, seperti Buya Hamka alm (Univ Hamka), KH Sukron Makmun (Ittiihadul Mubalighin, Ponpes Darul Rohman, Kebayoran Baru), KH Abdurrahman Wahid alm (PBNU Ciganjur), Prof. Dr. Nur Kholismadjid alm (Paramadina), KH Iskandar Noer As-Shidiqy (Assyidiqiyah Jakarta Barat) dll dan belakangan seabrek ustadz-ustadz muda muncul ke panggung dakwah seperti Ustadz Jefry Bukhori (alm), KH Arifin Ilham (Ad Zikra Depok), Ustadz Solmed, Ustadz Guntur, Ustadz Cecep, Ustadz Maulana, Mamak Dedeh dan yang jelas bukan ustadz dadakan dan ustadz karbitan dll.  
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak melulu berada di atas panggung podium (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama dan Habaib juga berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan. Ada banyak ulama Betawi yang cukup banyak dikenal produktif menulis kitab bukan sekedar penerjemah seperti Dr Nahrowi Al Indunisie alm (Mampang), Syekh Muhadjirin Amsar Ad-Dari alm (Bekasi Utara), Guru Mansyur, Syaikh Junaid Al Betawi, KH Syafi’i Hadzami, dll.       
Tentu berbeda dengan gaya ustadz baru pada jaman sekarang yang mudah tergiur oleh perang tarif dan rating di media, sehingga mudah pasang harga. Sudah barang tentu pergerakan ustadz jaman sekarang, akan mudah terkikis oleh para ustadz dan Habaib kampung Betawi yang ikhlas berdakwah dan mereka cukup berbobot secara keilmuan dan mereka kuat menjaga tradisi dalam  menjalankan ajaran agama.
Ulama dan Habaib lokal Betawi juga dikenal sangat keras dan kuat serta energik dalam mengembangkan syiar Islam di berbagai majlis taklim dan pesantren yang begitu banyak tersebar seantero Ibu Kota Jakarta, karena sangat jelas mereka sangat mengerti ilmu agama (‘alim) dan bisa dijadikan petunjuk (mua‘alim). Untuk mendapatkan mereka sangat mudah, cukup hadir dengan melakukan rihlah dan silaturahmi di banyak acara pengajian, peringatan Maulid atau Haul ulama serta Habaib yang ada di Jakarta.
Ulama dan Habaib di Jakarta dapat dikatakan berdampingan dalam berdakwah. Lahan dan garapan umat yang mendiami kota Jakarta yang sangat luas serta ber ragam, namun masih dalam satu nafas gerakan Islam, satu Thariqah (jalan) yakni Thariqah Islam Ahlus Sunnah wal Jamma’ah.
Pluralitas dan keberagaman aliran serta madzhab dalam Islam yang bersebar di berbagai lembaga agama, organisasi masa bahkan partai politik bila dikelola dengan baik tentu saja dalam pengembangan dan penyebaran ajaran Islam yang penuh Rahmatan Lil ‘Alamin ini dengan cara-cara tawassut, i’tidal, toleran dan mauizah’idzotil khasanah akan melahirkan kekayaan khazanah keilmuan (dapat menjadi al ikhtilafu ummah ila rahmah) dan budaya Islam yang menjadi modal sosial dalam membangun negeri. Jadi gerakan modernisasi dan yang puritan tradisional dalam Islam sebenarnya bisa berjalan seiring dan seirama dalam menyongsong masa depan yang lebih baik.
Yang mencirikan pergerakan Habaib adalah pada masa kini, kalangan ini biasa di sebut kaum Alawiyin, karena bernasab dengan jalur keturunan Rasulullah SAW dan berbagai pesantren serta majlis taklim yang ada di Ibu kota ini tidak menjadi ekslusif, namun semakin terbuka menerima murid atau jamaah anak muda, sehingga tidak heran Majlis Taklim yang awalnya hanya terkenal di Majlis Taklim Minggu Pagi Habib Ali Kwitang Kawasan Pasar Senin, Jakarta Pusat, kini banyak bermunculan semacam Majlis Taklim Habib Munzir (alm) yang terkenal dengan Majlis Rasulullah SAW, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Mustofa Alaydrus Tebet, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Hasan bi Jakfar Assegaf dan ribuan majlis Taklim dan pesantren yang tersebar di seantero Betawi saat ini.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan menebar hawa sejuk keshalihan , seluruh penjuru kota Betawi hingga sekarang. Tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bumbungan asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta bisa dibilang hampir tidak pernah sepi melahirkan tokoh –tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syiar Islam Nusantara. (***)



                  8      Peran Strategis Ulama Indonesia Masa Kini


Dalam membangun bangsa yang maju besar dan beradab, agama memiliki peran yang sangat besar. Sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak dulu Ulama-ulama berperan sangat besar dalam mengayomi dan membangun masyarakat, baik melalui pendidikan, dakwah dan lain sebagainya.

Peran ulama yang sedemikian besar itu diemban oleh para ulama tidak lain karena ulama adalah pewaris dari ajaran naby (al ulama’ warisatun anbiya, sementara tugas ulama selain liyatafaqqahu fiddin, mengggali, merumuskan dan mengembangkan pemikiran keagamaan, tetapi juga memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis yang berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaaan yaitu tugas liyundziru qaumahum (membangun masyarakat) yakni membentuk kepribadian. 
Dalam kaitan dengan masalah masyarakat, Ulama masa kini memiliki beberapa tugas pertama adalah pembangunan mental-spiritual, pembentukan kepribadian atau karakter masyarakat (character building) ini sangat penting agar lahir kader orang-orang  atau masyarakat yang memiliki sikap, memiliki ketegasan, memiliki prinsip serta memiliki tanggung jawab baik terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia dan terhadap bangsa dan Negara. Karena itu para ulama memiliki tugas kedua yaitu nation building (pembangunan bangsa).
Dengan adanya pembantukan karakter (character building) itulah nation building (pembangunan bangsa) bisa dilaksanakan dan ini merupakan modal dasar bagi state building (membangun Negara). Dengan nation building ini maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani, karena memiliki kepribadian nasional yang kokoh, sehingga bisa berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa beradab yang lain.
Tugas ketiga adalah criticism buiding (membangun sikap kritis), ini sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana sering ditegaskan bahwa sikap ulama terhadap negara taat mutlak bahwa negara harus dijaga dan dibela, tetapi terhadap pemerintah yang ada ulama menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sementara dalam melakukan amar ma’ruf sendiri perlu menggunakan etika,”Amar ma’ruf bil ma’ruf.”(Barangsiapa mengajak kebaikan maka dengan cara yang baik pula). Pun demikian dalam mencegah kemunkaran dengan cara-cara yang baik pula, mauidzotil khasanah (nahy munkar bil ma’ruf-red).
Sikap kritis Ulama dalam mendukung atau mengkritik pemerintah ini didasari oleh pertimbangan etis, bukan oleh pertimbangan politis, karena itu akan dilakukan terus walaupun Ulama sudah banyak di Partai Politik dan Ormas, namun ulama memang memiliki tugas moral atau etis.
Kembali pada upaya character building dan nation building, ini merupakan langkah yang sangat mendesak saat ini, karena ini merupakan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ketika sekolah dan lembaga pendidikan lain termasuk lembaga kebudayaan yang ada tidak melakukan tugas ini. Sementara gelombang globalisasi yang begitu besar menghancurkan sendi-sendi bangsa ini di semua sektor kehidupan, sehingga terjadi kemerosotan moral, budipekerti, akhlaq dan lunturnya karakter. Penanaman rasa cinta tanah air dan bangga terhadap sejarah serta peradaban sendiri itu dilakukan karena berdasarkan pertimbangan bahwa: (barang siapa tidak memiliki tanah air dan tidak mencintai tanah air, maka tidak memiliki sejarah, barang siapa tidak memiliki sejarah maka tidak memiliki memori dan karakter).
Bagi orang atau bangsa yang tidak memiliki memori maka dia akan menjadi bangsa tidak memiliki karakter, dan bangsa yang tidak memiliki karakter akan kehilangan segalanya. Politiknya akan hilang, peradabannya akan merosot dan aset ekonominya pun akan dijarah bangsa lain akhirnya akan menjadi bangsa yang miskin dan tidak terhormat. Inilah pentingnya menanamkan rasa cinta tanah air, dan karena itu tidak henti-hentinya, ulama-ulama Indonesia sejak jaman dahulu menanamkan rasa cinta tanah air. Penegasan pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI ini merupakan bentuk paling nyata dari rasa cinta tanah air tersebut. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Dalam pengertian itulah agama ditempatkan sebagai unsur mutlak dalam nation dan character building. (Said Agil Siraj, Pidato Harlah NU ke 89).
Pentingnya pendidikan karakter ini tentu menjadi kewajiban para ulama untuk membentuk kader-kader pejuang ummat. Syarat-syarat berjuang bagi ummat Islam di jaman sekarang menurut Prof. Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah” (spiritualisme sosial) dengan: (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al Qur’an ; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunnah dan sirah (membaca biografi) beliau; (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti ulama dan tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika  dalam al Qur’an dan sunnah dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah.
KH Sahal Mahfudz dalam sebuah buku Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS) telah mengisaratkan akan adanya kemungkinan munculnya kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong persiapan sedini mungkin.
Pembicaraan kali ini menyangkut ulama. Tidak sembarang orang boleh dan mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang sering kali tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat. Saya hanya menggunakan kriteria dan batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin yang menyebutkan, ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrawi, senantiasa ikhlas karena Allah dan faqih dalam segala aspek kemaslahatan umat.
Dari kriteria itu, yang seringkali tidak dipahami secara benar adalah sebutan “faqih” bagi ulama. Ada dua pengertian yang hampir sama, yakni faqih dan mutafaqqih. Faqih secara harfiah berarti seorang yang alim fiqih. Sementara mutafaqqih adalah orang yang menguasai fiqih. Kedudukan faqih berada di atas mutafaqqih, karena di dalam mengkaji masalah-masalah fiqih seorang faqih tidak hanya memahami teks-teks kodifikasi fiqih yang sudah matang, akan tetapi juga melalui kajian-kajian suplementer, seperti ushul al-fiqh, qowa'id al-fiqh, ishtilah al-fuqaha' dan lain sebagainya. Sedangkan mutafaqqih adalah seorang yang hanya menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab fiqih yang ada. (KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)
Mengapa isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan garis historis yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu. Semenjak beberapa abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia sempat menjadi sumber ni1ai. Fiqih tidak saja berlaku sebagai norma yang berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur yang telah menyatu dengan kehidupan yang ada.
Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan para ulama yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari ajaran fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang berarti. Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.
Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan masyarakat yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan eksistensi pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi pembudayaan fiqih itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin (memahami agama) yang begitu kuat, mengakar dan sekaligus diterima oleh masyarakat pada zamannya. Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah masyarakat kelas bawah, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam sikap, langkah dan pemikiran pesantren.
Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian, pesantren menjadi lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam kehidupan yang ada. Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang tidak terlalu asing, aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek perilaku kehidupannya. Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja datang dari penjajah, tentu saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah semakin mendukung langkah pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih.
Sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu yang bermuara pada pendalaman masa’il diniyah (masalah-masalah agama). Ilmu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam hal itu, karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang lain, meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang benama sekolah, untuk mengimbangi pengaruh pesantren.
Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga mengimbangi sistem klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan lembaga pendidikan dalam pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah adalah terjemahan dari sekolah.
Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski wilayah garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan eksistensinya di tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren, juga tetap menitikberatkan tafaqquh fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan metodenya berbeda dengan pesantren tradisional (salaf). Madrasah-madrasah pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi setiap lulusannya dan juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan lain.
Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh pemerintah yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka mulai tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi karena ijasah. Dampaknya, eksistensi pesantren menjadi kabur, bahkan hilang identitasnya secara perlahan.
Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata diartikan sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih cukup banyak ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa, meski profilnya tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang, di mana para alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran tersebut hanya merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan pesantren dan bukan secara kolektif.
Lalu di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangnya animo santri sekarang ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama persis dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi dan kemerosotan yang sangat terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak mustahil akan berubah menjadi satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.
Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan ditanggulangi oleh beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang lalu, ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi. Meskipun banyak pihak yang kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi jumlah kuantitas umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya dihadapi dengan jumlah pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.
Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha'’(ahli-ahli ilmu fiqih) yang rapih dengan manajemen dan pendanaan yang memadahi.
Kebutuhan dan urgensi akan lembaga ini pernah muncul dan dibahas dalam sebuah forum ulama pada sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu, alhamdulillah sambutan para ulama cukup positif. Saya beserta para ulama pengasuh pesantren yang hadir mencoba memformulasikan lembaga yang ideal bagi penempaan kader-kader fuqoha’ yang alami, zuhud dan ikhlas itu.Alhamdulillah pula, gaung yang ada terus bersambut. Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk berpartisipasi. Sebagai contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang diprakarsai Departemen Agama. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi kebutuhan. Kita masih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat sekalian.

Pendidikan Sosial Keagamaan
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya mempunyai nilai Islamiah.
Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan, media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Ajaran Islam atau lebih khusus syari’at Islam, mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syari’at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu’amalah dan mu’asyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga menjadikan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah al-mutlaqah). Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra'sumaliah al-mutlaqah).
Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain.
Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum, kaum Muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan antara kaum Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan sehari-hari.
Dari sisi struktur sosial yang menyangkut stratifikasi sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya hubungan lingkar balik antara ulama, umara' (pemerintah), aghniya’ (orang kaya) dan kelompok fuqara’ (orang fakir). Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu’asyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status masing-masing.
Disiplin sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai “ketertiban umum”. Ketertiban itu sendiri merupakan aturan mu’asyarah antar masyarakat baik yang ditentukan oleh perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan dari suatu kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku, baik yang berorientasi pada budaya mau pun agama.
Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, perilaku, perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam Islam dikenal ada huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak manusia). Sedangkan hak-hak manusia pada hakikatnya adalah kewajiban-kewajiban atas yang lain. Bila hak dan kewajiban masing-masing bisa dipenuhi, maka tentu akan timbul sikap-sikap sebagai berikut: Solidaritas sosial (al-takaaful al-ijtima'i), toleransi (al-tasamuh), mutualitas/kerjasama (al-ta’awun), tengah-tengah (al-i'tidal), dan stabilitas (al-tsabat).
Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan yang berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah. Disiplin sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal).
Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek kehidupan sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial.
Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek ‘aqidah), Islam (aspek syari’ah), hubungan antar manusia (muamalah) dan ihsan (aspek akhlaq, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani bagi kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial. (***)



















                       9     Pendidikan Berbasis karakter


"Begitu terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dalam berbagai kesempatan mengemukakan pendapatnya, “Untuk membangun bangsa ini dengan melakukan  revolusi mental.”


Revolusi mental hanya bisa diwujudkan melalui dunia pendidikan (Gramsci). Dalam era globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat  Indonesia  melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan dini kepada anak-anak. Dari kasus kekerasan yang semakin marak di tanah air ini menunjukan bahwa masyarakat ternyata mampu melakukan tindak   kekerasan yang sebelumnya mungkin belum pernah terbayangkan. Hal ini karena globalisasi telah membawa kita pada “penuhanan” materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.
Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya karakter bangsa  Indonesia pada saat ini. Di antaranya adalah faktor pendidikan. Kita tentu sadar bahwa pendidikan merupakan mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan karakter bangsa dan juga berfungsi sebagai arena mencapai tiga hal prinsipal dalam pembinaan karakter bangsa.
Ada tiga hal prinsipal dalam membangun karakter bangsa; Pertama, pendidikan sebagai arena untuk re-aktivasi karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kepahlawanan , nasionalisme , sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau  adalah  bukti keberhasilan pembangunan karakter yang mencetak masyarakat maju, berbudaya dan berpengaruh.
Kedua, pendidikan sebagai sarana  untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk meningkatkan daya saing bangsa.
Ketiga, pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek di atas, yakni se-aktivasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif , ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pemerintah. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh instansi dan pemerintah.
Berdasar fenomena tersebut dan menyadari akan pentingnya pendidikan berbasis karakter sebagai tindak lanjut dan jalan keluar dari berbagai masalah dan testimoni tantangan multidimensional dunia pendidikan.
Di mana dunia pendidikan di Indonesia dinilai belum mendorong pembangunan bangsa. Hal ini disebabkan oleh ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tapi dikembalikan pada pasar. Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan nasional telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur. Dunia pendidikan telah kehilangan ruhnya lantaran tunduk dengan pasar bukan pencerahan pada peserta didik.Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan , karena kehilangan  karakter itu sendiri.
Selain itu faktor kemunduran bangsa Indonesia adalah karena bobroknya mental pejabat di pemerintahan. Ini bisa dilihat dari skor korupsi, di mana Indonesia merupakan rangking tertinggi sebagai negara terkorup se Asia Tenggara.
Jika melihat kondisi terburuk dalam korupsi, maka pantaslah bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam berbagai macam posisi di dunia. Untuk mengawasi permasalahan tersebut, pemerintahan yang  terbentuk di bawah Kabinet duet H. Joko Widodo dan H. Yusuf Kala (Jokowi-Kala), pemerintah harus membina membangun bangsa dengan menanamkan nilai-nilai positif (pendidikan berbasis karakter), agar bangsa Indonesia memiliki karakter yang positif dan mampu bersaing dengan negara lain di era  globalisasi.
Gagasan pembangunan bangsa yang unggul sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Di mana Presiden Soekarno pada waktu itu telah menyatakan perlunya nation and character building sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa.
Ir Soekarno (Presiden 1) pada waktu itu menyadari bahwa karakter bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia. Cukup banyak fakta empiris yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar dalam mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan bangsa. Contoh pertama adalah bangsa Cina. Negeri Cina dikatakan tidak lebih makmur di banding Indonesia pada tahun 1970-an.
Namun, dalam kurun kurang lebih 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah berhasil bangkit menggerakan mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan birokrat (pemerintahan) tanpa pandang bulu baik secara struktural maupun substansial.
Sementara itu, budaya kerja keras menampak pada semangat rakyat Cina untuk bersedia selama 7 hari dalam seminggu untuk bekerja demi mencapai keunggulan dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja menjadi pengekspor terbesar, akan tetapi produksi ekspor Cina semakin banyak yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi tinggi.
Contoh lainnya adalah India. Negeri India telah berhasil menjadi berswasembada pangan. Dengan jumlah penduduk kedua terbesar sedunia, pencapaian posisi kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri merupakan prestasi  yang membanggakan. Keberhasilan ini didorong  keinginan yang kuat (karakter) bangsa India untuk dan membangun dengan kemampuan sendiri atau dikenal dengan budaya swadesi.
Prinsip inilah yang membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari paling sederhana  seperti sabun mandi  hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan  pesawat terbang dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah (tidak mempunyai keunggulan kompetitif) dengan bangsa Jepang maupun barat, namun semangat Swadesi (cinta produk dalam negeri) secara komparatif produk-produk domestik India telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor yang sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar negeri India tidak ada (zero).
Karakter bangsa-bangsa lainnya juga hampir sama.Prinsipnya adalah ada kombinasi antara semangat  juang, disiplin, dan kerja keras. Indonesia yang memiliki sumber daya alam dan sumber  daya manusia yang melimpah ruah seharusnya dapat menjadi salah satu bangsa yang unggul di kancah dunia. Namun, untuk mencapai hal tersebut bangsa Indonesia haruslah berbenah diri terlebih dahulu dan harus membangun bangsa ini dengan menumbuhkan karakter positif diri setiap bangsa Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK sebagai rregulator dan instruktur bahkan sekaligus dirigen dari kabinet sudah terbentuk sejak bulan Oktober 2014 perlu membangun  langkah-langkah strategis agar dapat membentuk karakter bangsa Indonesia yang unggul dan siap bersaing dengan bangsa lain di era globalisasi.
Beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk membangun karakter bangsa antara lain: Pertama, menginternalisasikan pendidikan karakter pada instansi pendidikan sejak tingkat dini atau anak-anak. Kedua, menanamkan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan bersama generasi muda, yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap upaya nihilisasi pihak luar terhadap nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia.
Ketiga, meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era  abad ke 21 sekarang ini namun sudah muncul sejak jaman yang lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang lebih luas. Peran teknologi dan informasi serta telekomunikasi hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.
Keempat, menggunakan media sebagai penyalur upaya pembangunan karakter bangsa. Dimana peran media ada tiga yakni sebagai informasi, edukasi dan hiburan. Peran strategis ini dapat diberdayakan pemerintah dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dan pemilik media dalam penayangan informasi yang positif dan mendorong karakter bangsa yang kompetitif.
Keempat langkah di atas hanyalah sebagian dari langkah-langkah strategis yang dapat diambil  oleh pemerintahan yang baru akan terbentuk untuk membangun karakter bangsa ini. Masih banyak cara yang dapat ditempuh agar dunia pendidikan bangsa ini memiliki  kapasitas daya saing yang tinggi, agar  mampu memberikan komplementasi baik keunggulan komparatif maupun kompetitif pada persaingan global sehingga mampu menyumbangkan dan memberikan peran pada sektor perekonomian dan sektor-sektor lainnnya. Semoga! (***) Makalah ini dimuat di http://www.muslimedianews.com/2015/02/membangun-pendidikan-berbasis-karakter.html 20 Februari 2015
















            10    Misi Pendidikan Islam



Masalah pendidikan di negara kita telah menarik perhatian berbagai kalangan, mengingat pendidikan belum bisa beranjak dari masalah-masalah dari kurang berkualitasnya para lulusan sekolah , masih banyaknya guru yang mismatch sampai kurang memadainya gaji para guru yang menyebabkan proses pengajaran mereka lakukan kurang terkonsentrasi.


Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan dengan dibuatnya undang-undang yang menjamin pendidikan yang memadai hingga peningkatan insentif guru. Tetapi masalah pendidikan itu belum kunjung reda. Dari aspek kualitas pendidikan, kita berada jauh di bawah negara-negara maju, bahkan jika kita bandingkan dengan negara tetangga kita yakni Malaysia dan Philipina. Belum lagi kalau kita tengok kepada bangsa Indonesia pendidikan semakin hari semakin merosot moralnya. Buruknya kondisi moral bangsa ini tetntunya berkaitan dengan tidak berhasilnya misi pendidikan.
Banyak orang menilai bahwa kegagalan pendidikan di negeri ini pada umumnya disebabkan kurang diarahkannya pendidikan kita pada pembentukan karakter bangsa (nation caracter building). Pengajaran di sekolah sekolah atau perguruan tinggi hanya difokuskan pada penguasaan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang diberikan. Mengenai masalah ini, pendidikan kita memang berhasil meluluskan para anak didiknya setiap tahun dari berbagai pendidikan tinggi dan sekolah, sehingga secara statistik jumlah orang pintar selalu bertambah.
Kalau pendidikan pada umumnya kurang memberi perhatian pada aspek pembentukann karakter, hal ini kelihatannya lebih ditangani oleh lembaga lembaga pendidikan agama. Sesuai dengan tradisinya, pendidikan Islam sebenarnya lebih menekankan pada aspek pendidikan karakter, seperti terlihat dari berbagai aspek materi yang diajarkannya. Akan tetapi sekolah-sekolah agama pun sekarang ini terkesan telah meninggalkan habitatnya. Mereka justru telah meninggalkan tradisinya hanya untuk melayani kebutuhan umum yang dikelola pesantren , misalnya,  sama saja dengan pembelajaran sekolah-sekolah umum yang memeberi pelajaran sekuler dengan meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan budi pekerti dan akhlak.
Sudah menjadi pemahaman umum di kalangan kaum muslimin bahwa mencari ilmu pengetahuan merupakan keharusan atau mendekati kewajiban mengingat pengetahuan manusia itu hidup dan dengan pengetahuan pula mereka mengabdi kepada Allah SWT sesuai dengan hadist Rasulullah SAW, ”Mencari ilmu itu merupakan kewajiban (faridhotun) bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan”. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadist Nabi Muhammad SAW,”Carilah ilmu sejak kamu dalam ayunan sampai kamu masuk liang kubur.”
Allah SWT secara tegas memberikan penghargaan kepada mereka yang berpengetahuan dan mengangkat derajat oraang-orang yang berilmu. ”Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang –orang yang berilmu melebihi orang lainnya: QS Adzariyat : 56).
Ketinggian derajat orang yang berilmu itu jelas terlihat dalam kehidupan bermasyarakat kita. Orang-orang yang berilmu itu telah menjadi penerang dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan kita sebagai manusia. Jadi benarlah apa yang diungkapkan melalui sebuah kata ulama bahwa “ilmu itu adalah cahaya”, karena dengan ilmu lah manusia mendapat jalan terang untuk mengarungi kehidupannya. Penghargaan terhadap orang berilmu sendiri juga disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, ”khoirunnas anfa’uhum linnas” (Yang paling bagus di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia).
Sejarah Islam telah memperlihatkan bahwa melalui ajarannya yang menganjurkan pencarian pengetahuan yang menyebabkan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang berbudaya tinggi (civilized). Perkembangan pengetahuan dalam masa Islam awal telah melahirkan berbagai macam ahli yang kemudian bisa menerangi dunia dengan pengetahuannya.
Dengan berbagai tuntutan yang dikemukakan di atas, apa yang disodorkan oleh Islam sebenarnya bisa disederhanakan pada apa yang disebut “longlife education”. Ini berarti bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya pembelajaran di dalam kelas , di mana para murid mendapatkan pengetahuan dari para guru. Pendidikan dalam Islam haruslah dijadikan sebagai media pembentukan watak dan karakter, sehingga anak didik tidak hanya pintar, tetapi juga berperadaban secara pengetahuan atau berakhlaq. Akhlaq itu bukan hanya aspek moralitas tingkah laku atau sopan santun manusia, tetapi juga menyangkut sikap , pandangan atau bahkan karakter seorang muslim.
Dengan demikian, pendidikan adalah totalitas pembentukan manusia supaya berguna bagi sesamanya dengan mempunyai akhlaq yang tinggi. Imam Ghozali merumuskan akhlaq sebagai potensi yang dipunyai manusia dalam kaitan manusia berperan sebagai khalifatul fil ardhi. Potensi ini harus diarahkan agar bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Pendidikan, sekali lagi harus dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, yakni ketika pendidikan mampu membentuk manusia-manusia yang tidak hanya pintar tapi juga berakhlaq atau berperadaban. Sering dikatakan orang bahwa menjadi orang pintar itu gampang, sebab dengan disekolahkan orang akan menjadi pintar, artinya mempunyai pengetahuan. Yang tidak mudah adalah membentuk manusia pintar  dan berakhlaq.
Imam Ghozali membedakan akhlaq itu ke dalam akhlaq karimah dan akhlaq madzummah. Ahlaq karimah adalah potensi manusia yang direalisasikan dalam kehidupan nya yang memberi manfaat bagi sesama manusia. Sedangkan akhlaq madzummah itu muncul ketika potensi manusia tidak memberikan manfaat bagi manusia. Jadi dalam hal ini akhlaq tidak diartikan semata-mata sebagai sopan santun, tetapi sebagai peradaban.
Akhlaq itu adab sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, ”addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”. Memang berbeda Rasulullah SAW yang mengajari akhlaq beliau adalah Allah SWT sehingga ta’dib nya tentu sempurna. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang berakhlaq mulia. Jadi ahlaq mulia itu tidak hanya berkaitan dengan sopan santun tetapi juga sikap dan karakter manusia yang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi umat manusia.

Misi pendidikan
Ada dua konsep penting yang berkaitan yang berkaitan dengan keberadaan manusia yang karenanya pendidikan yang kita lakukan juga diarahkan ke sana. Konsep itu terangkum dalam firman Allah SWT, ”wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun”, yang artinya adalah, ”tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah Ku”. Perintah Allah SWT mengharapkan manusia agar menjadi hamba yang Islam (yang taat) yang melaksanakan  perintah-Nya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam perintah Allah SWT ini bersifat universal. Artinya hal itu berkaitan dengan ukuran yang sama dirumuskan oleh manusia. Al Qur’an dalam hal ini mendorong manusia agar menjadi khalifatullah (khalifah Allah) di bumi yang berarti menjadi hamba Allah yang mengurusi kehidupannya dan kehidupan manusia lainnya. “mengurusi” itu mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti menjadi pemimpin manusia juga mengekplorasi rahasia alam dan lainnya untuk kepentingan umat manusia.
Karena itulah dalam pendidikan Islam anak didik itu dengan pengetahuannya diarahkan untuk mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya. Dengan berilmu manusia itu dibebani untuk membantu sesamanya dan menciptakan tidak saja masyarakat yang religius tetapi juga masyarakat yang makmur, tidak kekurangan.
Jadi misi pendidikan tidak saja membentuk kesalehan individu menjadi abdullah (hablum minallah) belaka namun juga kesalehan sosial di mana seorang manusia juga dituntut menjadi manusia yang baik secara sosial (kholifatullah). Dalam konsep kholifatullah itulah dimensi akhlaq mendapatkan tempat, karena salah satu aspek yang harus dipenuhi manusia untuk menjadi khalifatullah yang berhasil adalah masalah keberadaban (akhlaq).
Pemenuhan kedua konsep di atas adalah bentuk ekspresi dari keimanan dan keislaman umat Islam. Islam itu memang berkaitan dengan masalah akidah dan syariah, yang menuntut manusia untuk mempersembahkan keimannya kepada Allah SWT serta memberikan ketaatannya atas aturan –aturan Nya. Sepertti sering dinyatakan dalam ajaran Islam sendiri, pencapaian keduanya haruslah seimbang dalam artian tidak ditinggal salah satunya, karena keduanya yakni hablumninnallah dan hablumminannas merupakan hal yang saling berkaitan dengan keislaman itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan, pengenalan kedua hal itu harus ditekankan karena keduanya menjadi sumber pembentukan karakter para siswa. Jadi, pendidikan Islam itu membentuk kesalehan secara menyeluruh. Orang yang saleh itu bukan hanya yang taat beribadah, tetapi juga harus peduli dengan masalah kehidupan sosial manusia. Dengan kata lain, kesalehan yang harus dibentuk melalui pendidikan keagamaan juga kesalehan sosial dan kesalehan religius.
Orang yang taat sholat di masjid harus juga menjadi orang yang peduli lingkungan dan orang yang mengikuti aturan sosial yang berlaku. Di jalanan, misalnya, orang yang saleh itu harus menjadi pengendara yang baik, mentaati semua peraturan lalu lintas, karena melakukan hal itu juga bagian dari keharusan agama, yakni menjadi khalifah di muka bumi. Memang banyak nilai-nilai dan ajaran Islam yang mendorong manusia untuk beradab tadi.
Misi pendidikan Islam sebaiknya diarahkan bagi terbentuknya manusia yang mengabdi kepada Allah SWT dengan juga melakukan masalah keduniawiyannya sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah SWT. Jangan sampai pendidikan yang dilakukan melulu untuk mencerdaskan bangsa dengan tanpa mengasah unsur spritualnya. Demikian juga kurang sempurna pendidikan hanya bagi pembentukan spiritual manusia dengan melupakan maslaah-masalah duniaawi di mana manusia sendiri hidup. Penggabungan keduanya menjadi keharusan, sebab disamping hamba yang taat menjadi kekasih Allah SWT, tetapi juga menjadi khalifah di muka bumi yang mendapatkan nilai lebih dari Allah SWT. (***) Makalah ini dimuat di http://www.muslimedianews.com/2015/03/misi-pendidikan-islam.html 8 Maret 2015





















                11     CATATAN PENUTUP

Meneladani Sang Insanul Kamil

Ihsannul kamil atau akhlaq paripurna atau budi pekerti mulia sebagaimana dicontohkan dan digambarkan dalam perilaku Rasulullah SAW. Sungguh pada diri Rasulullah SAW terdapat perilaku dan suri tauladan yang mulia dan terpuji.

Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh Allah sendiri telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk insane-insan yang mulia. Inilah dinnul Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal. Tentu saja agama yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan yang mulia dan sempurna pula. Utusan yang mengemban agama Tuhan yang terakhir ini adalah nabi terakhir, Sayidunna Muhammad SAW. 
Kekaguman kepada Rasulullah SAW tidak hanya diakui oleh orang Islam sendiri, namun dunia Barat juga mengakuinya, sebagaimana mereka tulis dalam buku-buku mereka. Adalah sarjana Barat Michael H Hart salah satu ilmuwan barat yang mengakui dan mengagumi Rasulullah SAW, ia tulis dalam bukunya “The 100 a Ranking of The Most Influential Person in History,” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,”Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah,” dia menempatkan nama Nabi Muhammad SAW pada rangking pertama. Dia menjatuhkan pilihan kepada Nabi Muhammad SAW  pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh tentu mengejutkan  para pembacanya dan menjadi tanda Tanya sebagian yang  lain.
“Tapi saya berpegang pada keyakinan saya , dia (Nabi Muhammad SAW-red) satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukses luar biasa , baik ditilik dari sisi agama ataupun lingkup duniawi,” demikian alasan Michael H Hart sang penulis buku.
Sedemikian tinggi kedudukan agung Rasulullah SAW sehingga orang non muslim seperti Michael H Hart pun sebagai sejarahwan besar kontemporer mengakui dan kita atas umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengikuti dan menjadikannya suri tauladan , karena inilah makna dari beriman kepada Nabi Muhammad SAW termasuk mengamalkan al Qur’an dan al Hadist menjadi bagian pokok dari tanggung jawab untuk mencontoh dan mengikuti ajaran beliau.
Adalah Sunnah-sunnah beliau yang dahulu kita tinggalkan, mulailah kita hidupkan kembali termasuk upaya untuk mengikuti beliau. Kewajiban kita adalah mendahulukan sunnah-sunnah beliau di atas nalar pemikiran. Jangan sampai mempertentangkan dengan Allah SWT sebab tidak mungkin beliau menyimpang dari pada ajaran syariat Allah SWT. Selain itu beliau adalah Nabi terakhir sebagai utusan Allah kepada ummat manusia sepanjang masa.     
Jika pada zaman ini ada yang mempertentangkan Sunnah insan kamil ini dengan Allah SWT atau dengan al Qur’an maka sudah barang tentu orang tersebut telah terseret dalam kesesatan aqidah. Sebab tidak mungkin dan mustahil seorang utusan seperti beliau bertentangkan dengan Allah dan tidak mungkin pula syariat yang dibawanya menyimpang dari tuntunan Illahy.
Setiap kata yang terucap dari lisannya, perbuatan dan perangainya berada dalam bingkai syari’at dan tentunya itu semua datang dari Allah SWT yang telah mengutus beliau sebagai Nabi. Hal ini senada dengan penjelasan Allah dalam Al Qur’an, ”Dan tidaklah Dia (Nabi Muhammad SAW) berbicara dengan hawa nafsu (keinginan dirinya semata), ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diturunkan (kepadanya).” (QS An-Najm; 3-14).
Maka semua akhlaq Rasulullah adalah yang terbaik, perkataannya adalah paling utama. Dengan mengikuti jejak Sang Insan Kamil ini dapat dipastikan kita akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.
Ayat Al Qu’ran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah ayat berbunyi wa innaka la’ala khuluqin ‘azhim, yang artinya sesungguhnya engkau (hai Muhammad ) memiliki akhlak yang sangat agung. Kata khuluq berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Bedanya kalau kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang mulia dengan kalimat kana rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqan, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniah.
Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang. 
Postur tubuh Nabi tegap. Rambutnya ikal dan panjang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan timbul saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat, pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya.
Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit, sering merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam.
Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manuisa agung seperti ini sangat banyak. Namun ada yang fokus dari al-Qur’an tentang gambaran sifat Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang menjadi fokus pandangan al-Qur’an terhadap Nabi? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaqnya. Apa arti akhlak? 
Kata Imam al-Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah dan juga bisa buruk. Akhlak yang indah disebut al khuluq al hasan; sementara akhlak yang buruk disebut al khuluq as-sayyi. Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakan secara proporsional fakultas-fakultas yang ada di dalam jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultas-fakultas yang ada dalam dirinya: ‘aqliyah (rasio), ghadabiyah (emosi), syahwaniyyah (syahwat) dan wahmiyah (imajinasi). 
Manusia yang berakhlak baik adalah yang tidak melampui batas dalam menggunakan empat fakultas di atas dan tidak mengabaikannya secara total. Ia akan sangat adil dan proposional di dalam menggunakan fakultas yang ada dalam dirinya.
Orang yang menyandang khuluq al-hasan adalah orang yang mampu meletakan secara proposional dalam membagi secara adil mana hak dunia dan hak akhiratnya. Orang yang menyandang sifat ini akan memantulkan suatu bentuk sangat indah lahiriah di dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Akhlak seperti inilah yang ditunjukan Rasulullah SAW kepada umatnya.
Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan al Qur’an. Bahkan beliau sendiri adalah Al Qur’an hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Al Qur’an. Itulah kenapa Siti Aisyah berkata akhlaq Nabi adalah al-Qur’an.
Kecintaan kita tulus benar adanya, setiap langkah Nabi SAW  pasti kita ikuti dan diamalkan, itulah definisi cinta .”Jika cintamu sungguh-sungguh pasti kamu menaatinya, sesungguhnya orang yang cinta pasti taat pada orang yang dicintainya.”
Ekspresi gembira, bersukaria, memperbanyak shalawat dan puji-pujian atas beliau, membaca sejarah , menghormati sahabat dan keturunan beliau serta menziarahi makam beliau di Masjid Nabawi adalah wujud cinta kepada beliau
Sejak masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belasan orang saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka.
Ancaman , tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin)
Kebetulan saat itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di lingkungan suku Quraisy.
Perpindahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah tersebar dengan cepat. Para sahabat yang telah terlebih dahulu  di Madinah tak kuasa menahan rindu kepada pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad SAW.Setiap hari mereka menanti kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah. Akhirnya saat yang dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar As-Shiddiq memasuki kota Madinah dengan selamat.
          Seketika wajah kota Madinah berubah total, menjadi bermandikan cahaya lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung, sang pembawa budi pekerti yang luhur yakni Rasulullah SAW.
          Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata . Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih yang selama ini dirindukan, telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang telah lama terpendam dalam dada tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis bahagia, haru penuh rasa cinta menembus sukma.
          Anak-anak dan para perempuan yang sudah menjadi penduduk Madinah (kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari melantunkan syair Shalawat Badar sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa risalah Islam pari purna yakni Nabi  SAW:

“Thala’al badru ‘alaina
Min tsaniyatil wada’
Wajabsy syukru ‘alaina   
Mada’a lillahi da’….

(Telah terbit purnama bersinar dari Bukit Wada’ . Wajiblah kita bersyukur tibanya penyeru ke jalan Allah….)
          Banyak gubahan syair saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para ulama. Upacara ceremonial maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri) mulai dari Maulid Simthud Durar, Burdah, Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad Dhiaul Lami’ semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok sang manusia teragung dan mulia Habibuna murrobuna al Musthofa wal wafa Nabiyuna alhady Muhammad SAW.”Marhaban Ahlan wa sahlan….

Yaa Nabiy salaam ‘alaika
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa habiib salaam ‘alaika
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul musyaffa’
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa danaa waqtul hidaayah
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Marhaban ahlan wa sahlan
Bika yâ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN YA MARHABAN YA NUURO ‘AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Wa yunaaduuna taroo maa
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
THOLA’AL BADRU ‘ALAINAA
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
Falahaa anta Fatasjud
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Fa’alaikalloohu shollaa
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Wa bika~rrohmaanu nas-al
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Ya ‘adhiimal manni yaa Robb
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
SHOLLALLAAHU ‘ALAA MUHAMMAD (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
Wa bihi Fandhur ilainaa
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
wakfinaa kullal balaayaa
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wasqinaa yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh)
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
ROBBI FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
Wakhtimil ‘umro bihusnaa (Ya Alloh)
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
SHOLLALLAH ‘ALA MUHAMMAD
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
Wa shollatullohi Taghsyaa
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Ahmadat thohro wa Aalih
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.

Kehadiran Rasulullah SAW serasa ada di depan mata. Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan penuh haru dan gembira sebagaimana wujud kegembiraan warga Anshor. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah melarang tetabuhan dan senandung syair yang dipersembahkan warga Madinah dalam menyambut beliau tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika beliau tiba dari perang Tabuk, warga Madinah (kaum Anshor) kembali menyambut beliau dengan tetabuhan rebana dan syair shalawat Badr tersebut di atas.
Rasa senang dan gembira warga Madinah akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Madinah dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW, mereka wujudkan dengan senandung syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu menjadi sunnah—lantaran Rasulullah SAW tidak melarangnya dengan cara mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW  menyetujui perbuatan yang dilakukan para sahabat dalam menyambutnya.
Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad diceritakan , ketika Rasulullah SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam legam datang menemui beliau membawa rebana sambil berkata,”Duhai Rasulullah SAW, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapanmu.”
Rasulullah SAW kemudian menjawab,”Jika engkau telah bernazar, tunaikanlah nazarmu. Jika tidak, jangan.”
Wanita itupun kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian menabuh rebana sambil bernyanyi gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah SAW cukup lama.
Satu demi satu , sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Afan dan Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu tetap menabuh rebana dan bernyanyi, sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan dan menikmati lantunan senandung syair dan iringan rebana.
Ketika Umar bin Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti dan menyembunyikan rebana dengan mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu takut dengan sahabat Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas.
Setelah keempat Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan Rasulullah SAW lu, beliau pun berkata , ”Hai Umar, sesungguhnya setan saja takut kepadamu. Ketika aku duduk, perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan menabuh rebana demikian pun ketika Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau masuk, hai Umar, wanita itu segera menghentikan dan menyembunyikan rebananya.” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang kesenian rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah SAW masih hidup juga pernah dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib seusai perang Tabuk dan Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak melarangnya.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyarakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmuran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhammad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW niatnya untuk melaksanakan haji  pada tahun itu. Begitu terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke Madinah  hendak mengikuti beliau. Empat hari menjelang habisnya bulan Dzulqo’dah selepas shalat Dzuhur, beliau mulai berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai memasuki bulan Dzulhijjah (Haji Qiran).
Tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW dalam perjalanan Haji Wada’ pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib dan Isya di sana. Setelah beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melaksanakan perjalanan hingga Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana. Setelah matahari tergelincir, beliau menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di tengah Padang Arafah.  Di sana telah berkumpul sekitar 140.000 jamaah haji , dan beliau menyampaikan pidato yang berisi wasiat penting kepada ummat.
“Wahai sekalian manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan ketemu kalian lagi setelah tahun ini dalam keadaan seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian suci atas kalian, seperti kesucian hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini. Bertaqwalah  kepada Allah dan hati-hati terhadap masalah wanita, karena kalian memperistri mereka yang menjadikan mereka halal bagi kalian juga karena amanat dan dengan kalimah Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian ,  sebagaimana kalian memiliki hak atas mereka. Hak kalian adalah istri kalian tidak boleh mengizinkan orang yang tidak disenangi masuk ke rumah kalian kecuali seizin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin makanan dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Aku telah meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu yang sekali-kali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Sembahlah Allah, dirikanlah shalat lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan, bayarlah zakat dengan sukarela, tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian masuk sorga.
Tentu kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian pertanyakan?
Mereka menjawab,”Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh melaksanakan kewajiban dan nasehat.”
Lalu  bersabda sambil mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin,”Ya Allah, persaksikanlah!” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan sabda beliau  Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaaf.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al Maidah ayat 3, yang menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi kenabian) Muhammad SAW yang merupakan satu rahmat kenikmatan yang tiada tara bagi kaum muslimin berupa agama Islam, yang nyata-nyata telah mendapat Ridha dari Allah SWT Yang Maha Pengasih.
Pidato khutbah selesai. Bilal kemudian mengumandangkan adzan, disusul dengan iqomah dan shalat Dzuhur qashar dan jama’ secara berjama’ah diimami Rasulullah SAW dan diikuti oleh para jama’ah. Begitu selesai shalat Dzuhur, Bilal iqamah lagi untuk melaksanakan jama’ah shalat Ashar. Selesai shalat, dengan menunggang Al Qashwa, beliau menuju tempat wukuf. Di situ beliau menghabiskan wukuf sampai matahari terbenam.
Keremangan senja lambat laun menghilang. Dengan mengendong Usamah, beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamah tanpa ada shalat apa pun di antara keduanya, kemudian beliau berbaring sampai fajar menyingsing.
Setelah adzan dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat Subuh dan kemudian beliau naik Al Qashwa menuju Masy’aril Haram. Dengan menghadap qiblat beliau berdoa, bertahlil dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT.
Dari Muzdalifah beliau pergi menuju Mina sebelum matahari terbit dengan membonceng Al Fadhl bin Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian jumrah Aqabah, dan beliau melempar jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir kerikil, sambil bertakbir pada setiap kali melempar.
Selanjutnya, beliau menuju ke tempat penyembelihan Kurban dan menyembelih 63 ekor unta, selanjutnya memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan penyembelihan sebanyak 37 ekor unta sehingga genap 100 ekor.
Di situ beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging masing-masing unta, kemudian dimasak dan beliau ikut menikmati masakan itu berikut kuahnya.
Pada waktu Dhuha, di atas punggung bighal, beliau menyampaikan pidato yang ditirukan Sayidinna Ali bin Abi Thalib dengan suara  nyaring, yang isinya banyak mengulang isi pidato yang disampaikan sebelumnya. Namun demikian, banyak hal penting yang beliau tambahkan, antara lain:
“Kalian pada waktunya akan menghadap Allah SWT. Dia  akan menanyakan amal kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat sepeninggalku hingga sebagian kalian memenggal leher sebagian lainnya. Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) , menganiaya anak dan anak menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya syetan sudah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan tetapi dia akan ditaati dengan amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian remehkan  dan dia pun ridha kepadanya.”
Pada hari Tasyriq, beliau di Mina untuk  melaksanakan ibadah haji lainnya sembari mengajarkan syariat perihal dzikir kepada Allah, menegakan sunnah-sunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik, amalan syirik dan pengaruhnya.  Pada hari tasyriq, beliau menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari sebelumnya.
Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh –sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka—Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.
Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.
Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir. Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.
Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.
Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).
Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”
Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.
Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”
Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.
Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’
Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).
Seusai bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)
Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari.
Apa makna yang paling mendalam dari peristiwa Haji Wada’ tersebut? Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’.  Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah haji wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah, 4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa Indonesia
Ini sesuai dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Cinta Rasul SAW
Salah satu hadits yang terkenal mengungkapkan betapa penting kecintaan kaum muslimin pada Rasulullah SAW. Sabda beliau, “Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu-bapaknya, anaknya, dan semua manusia” (HR Bukhari).
Memang, mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu bukti keimanan seorang muslim. Sebaliknya, iman pulalah yang membuat para sahabat sangat setia mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai maupun perang. Kecintaan itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan perbuatan nyata.
Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika Rasulullah SAW bersama Abu Bakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu Rasulullah SAW tertidur berbantalkan paha Abu Bakar. Tiba-tiba Abu Bakar merasa kesakitan karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga menahan sakit, hingga mencucurkan air mata, jangan sampai pahanya bergerak—khawatir Rasulullah SAW terbangun.
Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar menghadapi ancaman kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Ketika itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan akan dibunuh. ”Hari ini, tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu?” kata Abu Sufyan kepadanya.
“Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di mana satu duri pun dapat menyakitinya – jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat kembali ke keluargaku,” jawab Zaid tegas. “Wah, aku belum pernah melihat seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad menyayangi Muhammad,” sahut Abu Sofyan.
Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. ”Ya, Rasulullah. Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku,” kata Umar. Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab, ”Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.”
”Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri,” sahut Umar spontan. Maka Rasulullah SAW pun menukas, ”Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan iman itu” (HR Bukhari).

Hari Kiamat
Penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al Fath : 8-9).
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW, ”Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu, perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada rasulullah SAW, ”Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka jawab Rasulullah SAW, ”Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Jawab sahabat itu, “Saya tidak mempersiapkannya dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati.” Lalu, sabda Rasulullah SAW, ”Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau cintai itu.”
Menurut Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Shafwan, dan Abu Dzar, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus mencintainya, ”Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang dicintainya.” Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat mencintai beliau.
Suatu hari seorang sahabat hadir dalam suatu majelis bersama Rasulullah SAW, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku. Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?”
Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, ”Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah karunia Allah Yang Maha Mengetahui” (QS An-Nisa : 69-70). 
Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia.
Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri seorang perempuan—beberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya meratapi mereka, tapi menanyakan nasib rasulullah SAW, ”Apa yang terjadi pada diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian kepadanya.”
”Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya,” jawab para sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, “Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku dapat memandangnya.” Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah SAW. “Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat,” kata perempuan itu kepada Rasulullah SAW.
”Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan kekayaannya untuk berjumpa denganku,” sabda Rasulullah SAW sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya, “Justru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.” Wafatnya Rasulullah SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW sampai ia meninggal.
Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW. Untuk mengungkapkan rasa cinta itu, sewajarnyalah jika kaum muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan sunnahnya, mengikuti kata-kata dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan menjauhi larangannya.
Itulah cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 31: “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (*****)


























                                 DAFTAR PUSTAKA

1.         “Hamzah Fansuri Penyair Aceh”, Prof. A. Hasymi
3.         Ajid Thohir. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-Akar Sejarah, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindon Persada
4.         Ahmad Mansyur Suryanegara. 2010. Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
5.         Azyumardi Azra. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
6.         Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
7.         Moh. Nurhakim. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press.
8.         Zakaria, Rafiq. 1989. The Struggle Within Islam, Australia: Penguins Books.
9.         Arsip Ag. 13240, No. 18/8 – 24363/03 (ANRI, Jakarta)
10.     Arsip Ag 13240 No. 6/3-6679/05 (ANRI, Jakarta).
11.     Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Lampiran besluit No. 31, Tanggal 24 Oktober 1906.
12.     Arsip Ag 26409106 (ANRI, Jakarta), keputusan Gubernur Jenderal Hindia belanda, Bogor, Tanggal 24 Oktober 1906.
13.     Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), No. 10371/80 , Surat Residen Batavia 21 Juni 1906, No. 6767/5.
14.     Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta) No. 266.15771/08.
15.     Arsip Ag 15771/08 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 29 Juni 1908.
16.     Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 3 Oktober 1910 (No. 36).
17.     Ali Ahmad al-Seqqaf, Lintasan Sejarah Berdirinya Jamiat Kheir, hal. 2.
18.     Oetoesan Hindia, 1-37 (16-12-1917)
19.     Anshari, Endang Syaifuddin. 1988. Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media Dakwah
20.     Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Gita Pustaka 2005.
21.     Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
22.     Benda, J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari. Jakarta: Pustaka Jaya
23.     Busyairi, Badruzzaman. 1995. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka Panji Mas
24.     Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Pedoman Petunjuk Penilaian. Jakarta: Depdikbud
25.     Gulo,W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo
26.     Hadi, Sutrisno. 1998. Metode Research. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada
27.     Karim, Rusli. 1985. Perjalanan Partai Politik di Indonesia Politik Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: CV Rajawali
28.     Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
29.     Mudjiono dan Dimyati, 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Depdikbud
30.     Majalah. Ishlah. No. / 64 tahun / IV 1996
31.     Nasir, Muhammad. 2003. Metode Diktatik. Jakarta: Bina Aksara
32.     Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: LP3ES
33.     Poerwadarmita. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
34.     Riclefs. 1995. Sejarah Indonesia Modern Yogyakarta: Universitas Gajah Mada  
35.     Srawiji, Bambang. 2006. Kamus Pelajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Ganeca exact
36.     Suryabrata, Sumadi. 1983. Metode Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
37.     Widyosismoyo, Supartono. 1991. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Jakarta. Intan
38.     Majalah alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72.
39.     Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987)
40.     KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Pernah dimuat Suara Merdeka, 19 Juni 1992.
41.     Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
42.     Brackman, Arnold. Indonesian Communism, (New York: Preager, 1963.
43.     Dengel, Holk. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah Angan-Angan yang Gagal, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
44.     Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LkiS, 1998.
45.     Legge, J.D. Sukarno, Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
46.     Geertz, Clifford. Santri, Abangan dan Priyayi, Jakarta: PT Gramedia, 1982.
47.     Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1988
48.     Mc.Vey, Ruth. The Rise of Indonesian Communism, Ithaca.NY: Cornell University Press, 1965.
49.     Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
50.     Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000.
51.     Deliar Noer, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES
52.     Sartono Kartodirjo, dkk, 1975, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
53.     M.C.Richlefs, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi
54.     Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri, Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin
55.      Syarah Ainiyah, Lentera
56.     S. Umar Muhdor Syahab, Tuntutan Tanggung Jawab Ahlul Bait dan Kafa’ahnya,  Jakarta: Yayasan Nusantara, 1999
57.     Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah”, al Markaz al Islami
58.     M. Hermawan Eriadi 2006, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI dalam Artikelnya yang berjudul Kiprah dan Jejak Politik Masyumi
59.     Majalah alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72








                         
                           BIOGRAFI PENULIS

Aji Setiawan,ST lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Di lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia.
Menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto.
Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.Baginya, pendidikan yang manusiawi justru ada di luar kampus, bukan di dalam kelas yang beku dan kaku. Justru melalui pergulatan wacana dan pergesekan dunia intelektual, ia mengasah diri untuk menyambut tugas-tugas sejarah, kelak di kemudian hari.
Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta (1999-2002).
Lulus kuliah tahun Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah, Anekayess group! tahun 2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan Bangsa Kab Purbalingga 2012-2014.
Memutuskan diri menjadi kontributor banyak media dari tahun 2009. Mulai dari Majalah alKisah, Majalah Risalah NU, Tabloid Media Ummat (www.mediaummat.co.id), Majalah Sufi (www.sufinews.co.id), NU Online http://www.nu.or.id , Berita9Online www.berita9online.com, mediasantri (www.santrinews.com), islampos (www.islampos.com), Suraupos (www.suraupos.com),  muslimmedia (www.muslimmedia.or.id), Islam Garis Lurus (www.garislurusnu.com),  majalah tabloid online Islam, dan  lain-lain.

Tel NO: 081229667400


Donasi harap  ditransfer ke  Account: BANK MANDIRI: 1390010915175


Tidak ada komentar: