Kamis, 26 April 2012

Hijrahlah...

Berhijrah Menuju Kebajikan

Hijrah adalah berasal dari kata Bahasa Arab darikata hajara, yang artinya memutuskan hubungan, pindah , meninggalkan sesuatu lalu pindah kepada yang lain

Dalam arti umum, hijrah adalah meninggalkan tempat tinggal dan pindah ke tempat yang baru. Dalam Islam menjadi istilah yang populer , yakni berpindahnya kaum muslimin dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah ini paling tidak tiga kali dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi Islam memberikan arti yang lebih luas mengenai hijrah ini, yaitu meninggalkan yang jelek dan berpindah ke hal yang baik.
Seseorang yang meninggalkan suatu paham atau kepercayaan (katakanlah misalnya kepercayaan kebatinan). Kemudian ditinggalkannya dan lalu mengikuti faham lain (misalnya : agama Islam) dapat juga disebut sebagai orang ber-hijrah, yaitu hijrah dari suatu kesesatan menuju ke kebenaran.
Seseorang yang biasanya berperilaku jelek, buruk, jahat tidak terpuji kemudian meninggalkan semua perilaku yang serba negatif tersebut dan menggantinya dengan perilaku yang baik , terpuji bermanfaat maka orang tersebut dapat jug adisebut sebagai orang yang berhijrah dari perilaku jelek dan berpindah menjadi berperilaku baik. Rasulullah SAW menjelaskan dalam lewat salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, ”Hai Nabi Allah, hijrah yang manakah yang baik?” Rasulullah SAW menjawab, ”Apabila kamu meninggalkan sesuatu yang jelek.”
Hadist di atas memang hanya begitu. Ini dapat diartikan , bahwa hijrah yang paling baik itu setidaknya meninggalkan segala sesuatu yang buruk. Tentunya langkah berikutnya adalah,”berpindah kepada hal yang baik.” Namun bila hanya meninggalkan yang buruk saja lalu diam, cukup lah artinya walau kemudian tidak berpindah ke hal yang baik, bersikap diam tidak melakukan yang jelek itu pun sudah dinilai “baik” dalam arti minimal. Seperti kata pepatah: Dari pada berbuat jelek lebih baik diam.
Kata hijrah mempunyai ciri: berpindah. Sifat yang mendominasi adalah adanya peningkatan dari sifat negatif ke sifat yang positif. Jadi hijrah dilakukan untuk mengadakan perbaikan atau penyempurnaan bukan sebaliknya.
Secara langsung maupun tidak Allah SWT menyarankan agar manusia jangan terpaku di suatu tempat saja karena bumi Allah ini sangat luas. Ini berarti kita disarankan memilih tempat yang menguntungkan bagi kita, kalau memang tempat yang kita huni tidak menyenangkan. Firman Allah SWT tersebut disebut dalam QS Anissa ayat 97 dan 100. Serta dalam QS Az-Zummar ayat 10 yang artinya,”Sesungguhnyua orang-orang diwafatkan oleh Malaiakat dalam keadaan menganiaya dirinya sendiri (tidak mau hijrah) , maka Malaikat bertanya kepada mereka,”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab ,”Kami adalah orang –orang yang tertindas di negeri ini.” Para malaikat berlata,”Bukankah bumi Allah itu luas, maka hijrahlah atau pindahlah ke mana pun di bumi ini.” Orang –orang tersebut tempatnya adalah dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisa : 97).
Dalam agama Islam hijrah mempunyai pengertian tersendiri, karena kaum muslimin memang beberapa kali melakukan hijrah yaitu berpindah tempat tinggal atau tempat bermukim dalam rangka mencari kondisi yang lebih baik atau lebih menguntungkan dan menyenangkan. Khususnya pindah dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah menurut ajaran Islam harus dilakukan karena mencari ridha Allah bukan untuk mencari sesuatu yang lain. Menurut Sabda Rasulullah SAW, barang siapa yang berhijrah dengan niat mencari wanita atau harta yang diinginkan tersebut.
Bunyi hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab ra ia berkata,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,’Bahwasannya smua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya , dan bahwasaannya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya , dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya itu.”
Jadi jelas, bahwa perpindahannya dari suatu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain berhijrah, diijinkan dalam Islam, dan insya Allah apa yang akan kita peroleh adalah apa yang diniatkan. Niat yang paling baik adalah mencari Ridha Allah SWT.

Hijrah muslimin
Sejak masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belas orang saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka.
Ancaman , tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin)
Kebetulan saat itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani , Negus (Najasyi), tetapi karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di lingkungan suku Quraisy.
Kepndahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (gol Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyrakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 60 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.
Ini sesuai dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Aji Setiawan)


Tidak ada komentar: