Rabu, 22 Juni 2011

Majlis Taklim al Mutaalimin




alKisah N0 11, Juni 2011

Mengharap Berkah Khataman Qur’an

Tiap tanggal 15 bulan Hijriyah di majlis ini diadakan khataman (menderes atau nderes) Al Qur’an. Jama’ah yang hadir mengharap keberkahan dari al Qur’anul Karim yang dibaca

Majelis Al Mutaalimin adalah majlis taklim dan dzikir terletak di dusun terpencil dusun Kembaran, Desa Cipawon Kabupaten Purbalingga.Majelis yang diasuh oleh Kyai Anwarudin ini memang terkenal dengan acara khataman Al Qur’an tiap bulannnya. Setiap tanggal 15 bulan hijriah diadakan khataman Al Qur’an di kediaman rumah Kyai Anwaruddin.

Keberkahan dari majelis Khatmil Qur’an ini dirasakan benar oleh Kyai kelahiran Cipawon tahun 1949 ini. Sebab katanya, disebutkan Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah berkumpul sekelompok orang untuk berdzikir kepada Allah SWT, melainkan para malaikat mengerumuni mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan (sakinah) menhampiri mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisinya ( Hadist HR Tirmidzi)”.

Dilanjutkan oleh Kyai Anwar bahwa setiap mukmin wajib percaya dan meyakini seseorang yang membaca Al-Qur’an meskipun tidak memahami arti dan maknanya itu termasuk sudah melakukan satu ibadah yang mendatangkan banyak pahala serta mengantarkan kepada kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan kata Kyai Anwar,”Setiap mukmin hukumnya wajib kifayah dalam seharinya untuk membaca Al-Qur’an.” Ditambahkan, Rasulullah SAW sendiri bersabda, ”Barang siapa membaca satu huruf yang terdapat dalam Al Qur’an, maka ia memperoleh satu khasanah (kebaikan) dan setiap kebaikan pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim adalah satu huruf, akan tetapi alif merupakan satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf. (HR Tirmidzi).”

Disamping berpahala besar, membaca Al Qur’an merupakan salah satu amal yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit hati. “Sahabat Rasulullah SAW yakni Adullah bin Umar bin Khatab menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,’Sesungguhnya hati ini akan berkarat seperti besi berkarat’. Seorang sahabat bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah yang dapat menjadikannya bersinar kembali?’ Beliau menjawab,’Membaca Al Qur’an”.

Majelis Tadarus atau Khatmil Qur’an tidak hanya dihadiri oleh manusia dan malaikat, bangsa jin pun tidak mau ketinggalan. Mereka sangat terkesan tatkala mendengarkan pembacaan al-Qur’an; hati mereka dipenuhi dengan kecintaan dan penghargaan kepadanya, dan mereka bersegera mengajak kaumnya untuk mengikuti isinya, sebagaimana yang difirmankan oleh SWT,”Katakanlah (wahai Muhammad), Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya sekumpulan jin telah mendengarka (Al-Qur’an), lalu mereka berkata, ’Sesungguhnya kami mendengarkan al Qur’an yang menakjubkan (QS Al Jin:1)’,” kata Kyai Anwar.

Sehabis khataman biasanya acara berlanjut dengan taushiah dari ulama atau habaib yang hadir. Saat pengajian khamil Qu’ran di bulan maulid itu kebetulan yang mengisi taushiyah adalah KH Muhammadun Lc, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, desa Cipawon, Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga memaparkan secara detil proses detik-detik sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kyai juga menyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW ke dunia ini memang untuk mengemban tugas khusus merubah masyarakat Arab kala itu yang semula jahiliyah menjadi masyarakat yang berkeadaban. “Bagaimana tidak jahiliyah, patung disembah. Punya bayi perempuan langsung dibunuh. Abu Jahal dan Abu Lahab orangnya sangat pintar. Maunya kaya tetapi tidak dengan cara-cara yang benar, mereka tidak lelah. Maunya menang sendiri. Mereka berdagang sebagaimana pekerjaan masyarakat Arab pada umumnya. Tapi mereka merampas, merampok, memperkosa dan membunuh masyarakat yang tidak patuh dengan Abu Jahal dan Abu Lahab.”

Sejarah masyarakat jahiliyah pada waktu sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak saja di Arab Saudi yang menyembah berhala dari patung dan kayu. Masyarakat Mesir juga mempraktikan hal serupa. Di Mesir, sebagian masyarakatnya bahkan menyembah danyang dengan mengorbankan gadis tercantik kemudian diceburkan ke Sungai Nil sebagai sesaji atau sesembahan untuk mendatangkan hujan sehingga masyarakat sekitar sungai Nil bisa bercocok tanam dan panen juga berlimpah.

“Sungguh kelahiran Nabi Muhammad SAW ke dunia ini untuk merubah praktik-praktik masyarakat jahiliyah untuk digantikan ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam baik dunia maupun kelak smapai akhirat. Ini merupakan nikmat Allah SWT yang wajib kita syukuri, salah satunya dengan memperingati kelahiran beliau (maulid) dan mengamalkan ajara-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, ” Kata KH Muhammadun Lc, yang juga adalah alumnus dari pesantren Darul Musthofa Hadramauth Yaman.

KH Muhammadun Lc juga berpesan kepada Jamaah mulai dari sekarang untuk bisa membagi waktu. Baik waktu untuk beribadah, bekerja dan waktu untuk keluarga. Sebab dengan keseimbangan waktu itu, maka keberkahan akan terwujud kehidupan ini. Dalam kesempatan itu, KH Muhammadun juga menguraikan tentang Syafaat Rasulullah SAW. ”Kita tentu berharap syafaat kanjeng Nabi Muhammad SAW. Setiap manusia di akhirat kelak ada tiga golongan yang akan mendapat jaminan syafaat dari Rasulullah SAW yakni orang-orang yang banyak membaca al-Quran, ahli ilmu dan ibadah serta orang-orang yang banyak bershalawat kepada Kanjang Nabi Muhammad SAW.’

KH Muhammadun juga berpesan kepada jama’ah untuk kembali menyemarakan syiar-syiar Islam seperti melalui peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, banyak berdzikir, membaca Al-Qur’an untuk menghadapi situasi jaman sekarang yang sedemikian bobrok dan hampir serupa dengan masa-masa jaman jahiliyah (jahiliyah modern). Seusai acara taklim acara berlanjut dengan ramah tamah dengan tuan rumah sahibul bait (tuan rumah) majlis taklim dan dzikir Al Mutaalimin yakni Kyai Anwaruddin.

Majlis taklim dan dzikir

Awal ia mendirikan majelis ini sekitar tahun 1971 sehabis ia mondok pesantren di Jombor, Desa Gumelar Lor Kecamatan tambak Kabupaten Banyumas. Saat itu yang mengasuh pondok Jombor adalah KH Tahrir. Kyai Anwar mengenyam pendidikan dimulai dari kecil. Awalnya ia belajar di Sekolah Dasar di Cipawon. Sembari sekolah ia juga ikut belajar di Madrasah Diniyah yang diajarakan ilmu-ilmu mengaji dengan kyai-kyai kampung.

Lulus dari Sekolah dasar ia melanjutkan Madrasah Tsanawiyah NU 05 (dusun Telarpucung), desa Majasari Kecamatan Bukateja Kab Purbalingga lulus tahun 1969. Lepas Madrasah Tsanawiyah (MTS), Kyai Anwar belajar lagi ke Pondok Jombor untuk memperdalam ilmu gramatikal bahasa Arab yakni ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Tasawuf dengan KH Tahrir selama tiga tahun. Di Pondok itu, putra pasangan Ahmad Redja dan Tinem ini menamatkan (menghatamkan) beberapa kitab pegangan wajib untuk menguasai dan membedah ilmu-ilmu agama mulai dari kitab Taqrib, Safinah, Jumriyah sampai Imriti.

Pulang Pondok, ia langsung mendirikan taklim mengajar anak-anak agar bisa membaca al-Qur’an dan kitab-kitab salaf seperti Sulam Taufiq, Safinah, Duror Bariyyah, Jumriyah dan lain-lain teruama ilmu-ilmu fiqh. “Alhamdulillah, sampai sekarang masih ada anak-anak mau belajar ilmu agama terutama ilmu-ilmu shalat benar, al Qur’an dan fiqh yang setiap ba’da shalat Magrib berjamaah di Mushola al Mutaalimin,” kata Kyai Anwar.

Adapun metode mengajar dari majelis ini beanr-benar menerapkan metode pesantren atau cara salaf pada umumnya yakni dengan model sorogan dan bandongan. Di mana seorang murid berhadapan langsung dengan sang guru yang mengajar untuk menelaah dan mendalami kitab kuning. Menurut kyai yang terkenal menguasi ilmu fiqh ini, sekarang sudha jarang orang mempelajari dan mengasai ilmu-ilmu fiqh agama. “Pendidikan agama terutama ilmu fiqh kalah oleh ilmu-ilmu umum.”

Selain mengajar ilmu fiqh, Bapak 3 putra dua cucu ini memang dikenal ahli mengenai ilmu-ilmu hikmah. Kyai Anwar selama di pondok pesantren Jombor, desa Gumelar Lor, kec Tambak Kabupaten Banyumas yang diasuh KH Tahrir ini memang mempelajari dan mendalami kitab-kitab mengenai ilmu hikmah seperti Syamsul Ma’arif dan Manba’ul Usul Al-Hikmah yang dikarang Syaikh Ali Al-Buni. Menurutnya mempelajari ilmu tasawuf dan hilmah itu adalah sebuah jalan untuk membaguskan amal-amal kita kepada Allah SWT. “Keluar dari jalan keburukan menuju jalan yang diridhai Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya,” kata Kyai Anwar.

Aji Setiawan, Purbalingga

KCP Bank Mandiri Purbalingga a/n Aji Setiawan No rek : 139-00-1091517-5

Kamis, 16 Juni 2011

Isro Mi'roj di Kembangan Kec Bukateja Purbalingga






MT Raudlotul Qur’an Purbalingga

Jauhkan Indonesia dari Bala dan Bencana

Peringatan Isro Mi’roj Nabi Besar Muhammad SAW tidak saja diselenggarakan di kota-kota besar. Suasana kesyahduan dan kekhusyukan dalam memperingati perjalanan Isro dan Mi’roj Muhammad SAW juga terasa di pedesaan.
Pada hari Rabu, 15 Juni 2011 atau bertepatan dengan 14 Rajab 1432 H di halaman Majlis Taklim Raudlotul Qur’an pimpinan Kyai Munawar desa Kembangan, kecamatan Bukateja Kab Purbalingga Jawa Tengah menyelenggarakan Haflah Attasyakur Lil Ikhtitam Majlis Taklim Raudlatul Qur’an ke III dan sekaligus peringatan Isro Mi’roj Nabi Muhammad SAW.
Selepas shalat Isya, acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dimulai dengan Khatmil Qur’an dan kitab Aqidatul Awam oleh santri-santri Majlis Taklim Raudlotul Qur’an dan ditutup dengan doa Khotmil Qur’an oleh Ibu Nyai Hj Qomariah pimpinan Pondok Putra Putri Pesantren (PPP) Nurul Qur’an, Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga. Sambil menunggu acara dimulai, jamaah dihibur dengan iringan musik Hajir Rabana Syafaat dari Purbalingga.
Lepas pembacaan Kalam illahi oleh Ustadz Syamsul Bashori acara berlanjut dengan sambutan dari ketua panitia yakni Kyai Sulaiman. Sambutan mewakili Bupati Purbalingga, Drs H Heru Sujatmoko disampaikan oleh Budi Darmoyo. Dalam sambutannya, Bapak Bupati Purbalingga Jawa Tengah menyatakan bergembira dengan peringatan Isro Mi’roj yang berjalan dengan sukses. Selain itu, dengan adanya majlis taklim –majlis taklim yang ada sekarang ini merupakan bentuk pendidikan dasar bagi anak-anak di bidang agama. “Dengan dididik agama sejak kecil, harapannya nanti setelah dewasa atau menjadi orang tua yang bisa melaksanakan agama dengan baik. Peringatan Isro Mi’roj Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa yang mengagumkan dan bagi yang percaya adalah pertanda bagi manusia-manusia yang beriman,” lanjut Budi Darmoyo.
Tepat pukul 22.00 acara inti peringatan Isro Mi’roj dengan taushiyah oleh KH Ahmad Sobirin Syamsuri, Pengasuh Pondok Pesantren (PPP) Al Mujahidin, Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas. Selain memaparkan secara detil proses detik-detik Isro Mi’roj Nabi Muhammad SAW ke langit ketujuh dan bertemu langsung dengan Allah SWT, KH Sobirin mengungkapkan kondisi dunia sekarang sudah mendekati tanda-tanda kiamat. Seperti diungkapkan dalam Hadist Nabi Muhammad SAW, tanda-tanda kiamat diantaranya adalah dicabutnya ilmu (dengan diwafatkannya ahli-ahli ilmu). Kedua, Orang mukmin banyak yang bodoh karena banyak ulama yang wafat. Ketiga, perbuatan zina merajalela. Keempat, banyak orang yang minum minuman keras (khamr).
Banyaknya musibah yang menimpa bangsa Indonesia sekarang ini menandakan kita sedang diuji oleh Allah SWT. Dalam kesempatan malam itu, KH Sobirin banyak mengajak jamaah berdoa bersama dengan doa sifat-sifat khusus Nabi Muhammad SAW sehingga akan dihindarkan bala dan bencana.
Dalam ceramah yang banyak dibumbui guyonan segar ala Banyumasan itu KH Sobirin banyak menyelipkan canda-canda segar sehingga mampu mengocok perut pengunjung yang menghadirinya dan membuat betah jamaah pengajian yang membludak sampai jalan raya itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Apalagi sembari berceramah kadang-kadang diiringi tembang-tembang sholawat yang diringi musik campursari ala Banyumasan sehingga tidak membuat jamaah mengantuk.
Dalam kesempatan itu, KH Ahmad Sobirin Syamsuri juga mengajak jamaah untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT sebab jelas dalilnya siapa yang bersyukur kepada Allah maka akan ditambah nikmat-Nya. Namun sebaliknya, siapa yang tidak bersyukur maka ia akan menjadi kufur nikmat. Agar Allah SWt tidak marah yang luar biasa, lanjut KH Sobirin, orang mukmin harus menerima Qodar-Nya Allah SWT dan bila banyak diuji musibah senantiasa harus bersabar.
“Sebaliknya, sebagai orang mukmin ada lima perkara yang tidak boleh sabar yakni menghormati tamu, menguburkan jenazah, menikahkan anak perempuan, menepati hutang dan bila berdosa segera bertaubat kepada Allah SWT ,” lanjut KH Sobirin.
Tentang pembacaan dan pengajaran Al Qur’an, KH Sobirin sangat menyambut baik dengan berdirinya majlis-majlis taklim yang mengadakan acara khotmil Qur’an. “Membaca Al Qur’an merupakan salah satu dzikir yang sangat dianjurkan. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda,’Tidaklah berkumpul sekelompok orang untuk berdzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengerumuni mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan (sakinah) menghampiri mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisinya’.” (HR Tirmidzi).
“Doa khotmil Qur’an itu mustajab (dikabukan Allah SWT). Barangsiapa membaca Al-Qur’an setelah itu ia berdoa, maka para malaikat datang ke langit dunia untuk mengaminkan doanya, “ kata KH Sobirin.

Menjelang berakhirnya acara, KH Sobirin mengajak ribuan jamaah pengajian yang masih setia menunggu itu untuk mendawamkan doa bulan Rajab dan Sya’ban yang dibaca setiap shalat lima waktu yakni Allohuma barik lana fi rajab wa sya’ban wa ballighna ramadhan.(Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan). “Nanti pada malam 27 Rajab, saya mengajak jama’ah untuk melakukan muhasabah dan mengamalkan serta membaca doa Rajab wa Sya’ban sebanyak 1001 kali ba’da shalat malam (hajat). Semoga Indonesia jauh dan bala dan bencana serta doa-doa kita diijabah oleh Allah SWT, Amin!” tutup KH Sobirin.
Tepat dinihari pukul 01.00 suasana kabut malam semakin dingin. Acara ini kemudian ditutup doa oleh KH Ahmad Sobirin Syamsuri dan ja’maah kemudian pulang ke rumah masing-masing untuk semakin mencintai Allah SWT dan Rasulullah SAW. (*) Aji Setiawan, Purbalingga

http://majalah-alkisah.com/index.php/berita-terhangat/879-isra-miraj-mt-raudlotul-quran-purbalingga-jauhkan-indonesia-dari-bala-dan-bencana

Syekh Akbar Abdul Fatah, Cidahu Tasikmalaya Jawa Barat


“Si Linggis” dari Desa Cidahu

Ia adalah salah seorang wali besar di Tanah Jawa. Sejak muda ia sudah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya yang sangat tajam setiap kali mengkaji ilmu-ilmu agama dengan pendekatan tasawuf.

Di Desa Cidahu, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1884, lahirlah seorang jabang bayi yang kelak menjadi ulama besar. Orangtuanya memberinya nama Abdul Fatah. Sejak muda ia sudah tertarik pada kehidupan rohaniah dengan menimba ilmu tarekat pada K.H. Sudja’i, guru mursyid Tarekat Tijaniyah, selama tujuh tahun sejak 1903.
Selama menjadi santri, Abdul Fatah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya terhadap berbagai ilmu agama yang sangat tajam. Terutama ketika ia menganalisis dengan menggunakan ilmu nahu dan saraf dengan pendekatan tasawuf. Ia suka belajar dengan membaca berbagai kitab, sehingga beberapa pelajaran yang belum sempat disampaikan oleh gurunya sudah ia kuasai.
Suatu hari, ia membaca ayat 17 surah Al-Kahfi, “Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, dia termasuk orang yang diberi petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, dia sekali-sekali tidak akan mendapatkan seorang wali yang mursyid.” Ia lalu bertanya kepada Kiai Sudja’i, “Siapakah wali mursyid yang dimaksud dalam ayat ini?” Kiai Sudja’i menjelaskan perihal wali mursyid sebagai guru tarekat, sementara mencari wali mursyid merupakan keharusan. Tapi, karena Kiai Sudja’i mengaku bukan wali mursyid, Abdul Fatah disarankan untuk mencari wali mursyidnya.
Maka berangkatlah Abdul Fatah mencari wali mursyid dengan mengunjungi para ulama di Jawa dan Sumatra. Karena belum menemukan, ia lalu mencarinya ke Timur Tengah, khususnya Mekah. Maka pada 1922 ia pun berangkatlah, dengan membawa seluruh anggota keluarganya. Sampai di Singapura, kapal yang mereka tumpangi rusak. Terpaksalah ia bermukim di Negeri Singa itu. Ia tinggal di Kampung Watu Lima, kemudian di Kampung Gelang Serai, selama lima tahun. Di sanalah ia, suatu hari, bertemu Syekh Abdul Alim Ash-Shiddiqy dan Syekh Abdullah Dagistani, yang mengajarkan Tarekat Sanusiyah.
Pada 1928, setelah memulangkan keluarganya ke Tasikmalaya, ia berangkat ke Mekah bersama beberapa jemaah haji Indonesia, seperti K.H. Toha dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, dan K.H. Sanusi dari Pesantren Syamsul Ulum, Gunungpuyuh, Sukabumi (lihat Alkisah edisi 17/III/2005, Khazanah). Selama di Mekah, Abdul Fatah bergabung dengan Zawiyah Sanusiyyah di Jabal Qubais, mengaji kepada Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi selama lima tahun.
Karena sangat alim, belakangan Abdul Fatah mendapat kepercayaan membaiat atau menalkin murid tarekat yang baru masuk. Selama belajar tarekat kepada Syekh Ahmad Syarif, ia sempat mengalami berbagai ujian. Suatu hari, ketika tengah mengajar, Syekh Ahmad Syarif mengamuk dalam majelisnya. Apa saja yang ada di dekatnya dilempar ke arah murid-muridnya. Semua muridnya lari berhamburan karena takut. Namun, ada seorang murid yang bergeming, tetap diam di tempat. Dialah Abdul Fatah.

Kursi Istimewa
Sebagai guru mursyid tarekat, Syekh Ahmad Syarif biasa duduk di kursi istimewa, dan tak seorang pun berani mendudukinya. Mengapa? Sebab, siapa yang berani mendudukinya, badannya akan hangus. Suatu hari Syekh Ahmad memerintahkan Abdul Fatah untuk menggantikannya mengajar. Maka dengan tenang Abdul Fatah duduk di kursi istimewa itu, tanpa ada kejadian apa pun yang mencelakakannya.
Akhirnya, pada suatu hari, Syekh Ahmad Syarif memanggilnya. Ia menceritakan, semalam Rasulullah SAW memerintahkan untuk melimpahkan kekhalifahan Tarekat Sanusiyah kepada Abdul Fatah Al-Jawi untuk dikembangkan di negerinya. Sejak itu Abdul Fatah mendapat gelar Syekh Akbar Abdul Fatah. Setelah itu, lebih kurang dua tahun kemudian, Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi pun wafat.
Pada 1930, Syekh Akbar Abdul Fatah pulang kampung dengan membawa ajaran Tarekat Sanusiyah, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tarekat Idrisiyah karena tiga alasan. Pertama, untuk berlindung dari tekanan politik kaum kolonialis Belanda. Kedua, kandungan ajaran kedua aliran itu sama, karena Idrisiyah juga merupakan anak Tarekat Sanusiyah, yang sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad bin Idris. Ketiga, untuk mendapatkan berkah Syekh Ahmad bin Idris atas keistimewaan lafaz zikirnya yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan Nabi Khidlir, yaitu Fi kulli lamhatin wa nafasin ‘adada ma wasi’ahu ‘ilmullah.
Di Cidahu, Syekh Akbar Abdul Fatah menghadapi berbagai tantangan, baik dari penjajah Belanda maupun para jawara. Namun semua itu ia hadapi tanpa takut sedikit pun. Tiga tahun kemudian ia mulai mendirikan beberapa zawiah di beberapa tempat, terutama di Jawa Barat, masing-masing dilengkapi dengan sebuah masjid, Al-Fatah. Pada 1930, ia sempat berdakwah sampai ke Batavia, singgah di Masjid Kebon Jeruk, kini di kawasan Jakarta Kota. Ia juga sempat mengembangkan tarekat di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Suatu hari ia mengembangkan tarekat di Masjid Al-Falah di Batutulis, kini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Di sana ia juga harus menaklukkan para jawara. Dan sejak itu syiar dakwah Islam terus berkembang. Banyak muridnya yang kemudian mewakafkan tanah untuk digunakan sebagai zawiah. Ia juga membangun sebuah asrama untuk tempat tinggal para santri dari jauh. Di tengah kesibukannya mengajar di Batavia, dua minggu sekali ia menyempatkan diri mengajar di kampung halamannya.
Pada 1940, karena pesantrennya di Cidahu sudah tidak bisa menampung jemaah, ia lalu memindahkannya ke Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya.
Sebagai wali, Syekh Akbar Abdul Fatah memiliki banyak karamah. Suatu hari, dalam perang kemerdekaan, pasukan Hizbullah, yang terdiri dari para santri pimpinan Syekh Akbar Abdul Fatah, dibombardir oleh pesawat Belanda. Namun, bom-bom itu tidak meledak. Apa pasal? Karena Syekh Akbar Abdul Fatah telah membekali para santrinya dengan air yang telah didoainya. “Air doa” sang wali inilah yang, atas izin Allah SWT, menangkal bom-bom penjajah kafir tersebut.

Perampok Arab
Suatu hari seorang nelayan terdampar sampai ke pantai Australia. Ia kemudian berdoa, “Ya Allah, mengapa Engkau asingkan aku yang lemah ini di sini? Padahal, aku hanya bermaksud mencari nafkah buat anak-istriku. Ya Allah, datangkanlah penolong.” Ketika itulah ia melihat seorang ulama bertubuh tinggi besar berpakaian serba putih. Tiba-tiba ia memindahkan perahu nelayan itu ke tempat asalnya. Setelah selamat, nelayan itu menawarkan ikan besar yang baru saja ditangkapnya kepada ulama penolongnya itu.
Dengan tersenyum, ulama tersebut berkata, “Aku tidak membutuhkan ikan itu. Jika engkau ingin menjumpaiku dan menjadi muridku, datanglah ke Pagendingan, Tasikmalaya.” Setelah itu ulama tinggi bear itu pun lenyap dari pandangan mata. Selang beberapa minggu kemudian, nelayan itu datang ke Pesantren Pagendingan. Di sana ia bertemu seorang ulama yang fisik dan gerak-geriknya persis seperti yang ia lihat di pantai Australia. Ia tiada lain adalah Syekh Akbar Abdul Fatah.
Karamah yang lain terjadi ketika Syekh Akbar Abdul Fatah berada di Mekah. Suatu hari ia ingin berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah. Membawa bekal secukupnya, bersama beberapa kiai dari Jawa, ia berjalan kaki menuju Medinah. Di tengah perjalanan, rombongan itu diadang perampok bersenjata lengkap. Rombongan peziarah itu terkepung oleh perampok yang mengendarai kuda dengan menghunus pedang. Syekh Akbar lalu memerintahkan rombongannya melepaskan apa saja yang ada di tangannya ke kanan dan kiri, sebagai kepasrahan seorang hamba yang lemah tak berdaya.
Sambil melepaskan apa yang dimiliki, Syekh Akbar berteriak dengan suara lantang, ”Ash-shalatu was salamu ‘alaika ya Rasulallah! Qad Dhaqat hilati, adrikni ya Rasulallah!” (Selawat dan salam serajahtera atas Tuan, wahai Rasulullah! Mohon lenyapkan rintangan jalan kami menuju engkau, wahai Rasulullah!). Ajaib! Kontan para perampok itu berteriak-teriak kesakitan sambil memegang leher mereka, “Ampun ya Syekh Jawa, ampun ya Syekh Jawa! Panas, panas!”
Pemimpin perampok itu lalu minta maaf, mohon dibebaskan dari siksaan. Maka Syekh Akbar pun mendekati dan menepuk pundak para perampok itu satu per satu. Barulah rasa sakit karena panas tak terkirakan di tenggorokan itu reda. Seketika itu pemimpin perampok menyatakan bertobat, dan bersedia mengantarkan rombongan ke mana saja. “Kalian adalah bangsa Arab yang berdekatan dengan kampung Rasulullah SAW, sedangkan kami datang dari negeri yang sangat jauh – tapi demi berziarah kepada Rasulullah SAW. Tidakkah kalian malu melakukan hal yang tidak terpuji ini? Sudah sepantasnya kalian lebih berbangga daripada kami, karena negeri kalian dikunjungi banyak orang dari seluruh pelosok negeri.”

Syekh Akbar Abdul Fatah wafat pada 1947 dalam usia 63 tahun, dimakamkan dalam kompleks Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Jalan Raya Ciawi Km 8, Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sejak itu pemimpin Tarekat Idrisiyah diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Dahlan. Pada 11 September 2001 Syekh Dahlan wafat, dan tongkat kepemimpinan tarekat diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan. (***)Aji Setiawan

KH. Ahmad Djazuli Utsman, Ploso Kediri


Sang Blawong Pewaris Keluhuran

Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala KH. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyarakat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
(***) Aji Setiawan

KH Abdul Manan Muncar Banyuwangi Jawa Timur



Kiai Jadug dari Banyuwangi
Nama KH Abdul Manan adalah nama yang tidak asing lagi bagi kebanyakan penduduk di wilayah kab Banyuwangi-Jawa Timur, khususnya desa Sumberas Muncar Banyuwangi. Kiai ini dikenal sebagai kiai ”jadug” alias jago gelut melawan berandalan dan perampok pada waktu itu.

KH Abdul Manan merupakan putra kedua dari KH Moh Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan (Kediri). Lahir di desa Grampang, Kab Kediri pada tahun 1870. Saat berusia 1 tahun, ia dibawa KH Moh Ilyas pindah dari Grempol ke desa Ngadirejo Kecamatan Kandangan, Kab Kediri.
KH Moh Ilyas di Ngadirejo kemudian membuka pondok pesantren ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, KH Moh Ilyas, Abdul Manan juga “nyantri” ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun ia masuk pondok pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal Pondok Pesantren Ringin Agung yang diasuh oleh Mbah KH Nawawi. Sekalipun usianya masih kecil, ia mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai “santri pemberani”. Dimana hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan Mbah Kyai Nawawi, namun ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.
Lepas dari pondok pesantren Ringin Agung, ia kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok pesantren neneknya sendiri . Di pondok gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah dan ia dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut. Bahkan ia pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat dibrantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Grompol.
Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di pondok Gerompol, ia kemudian melalaang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Dikalangan santri biasa disebut sebagai “santri kalong” karena mondoknya hanya sebentar saja. Beberapa pondok pesantren yang pernah dirambah oleh KH Abdul Manan diantaranya adalah Pondok Pesantren KH Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok dengan KH Kholil Al Bankalani (Bangkalan, Madura) atau yang biasa disapa dengan pangilan Mbah Cholil Bangkalan.
Lepas mendapat didikan dari Mbah Cholil ia kemudian melanjutkan belajar ke Mekkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia yang ada di Mekah dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun.
Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Manan kembali ke daerah asalnya yakni desa Jatirejo, Kandangan, Kab Kediri untuk membantu orang tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri KH Moh Ilyas.
KH Abdul Manan menikah dengan seorang putri dari dusun Sumberbiru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun karena KH Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai) dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke Jatirejo , Kandangan (Kediri).
Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh oleh KH Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh KH Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun.
Pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar ia dikaruniai duabelas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun,Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.
Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun (Jalen) dan dari istri keduanya ia dikaruniai 9 putra-putri yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH Toha Muntaha.
Tahun 1929 Ia pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan pondok pesantren Minhajut Thullab. Sedangkan pondok pesantren Jalen diteruskan olehh adik iparnya yakni Nyai Mawardi.

Mulai membangun Pondok
Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyaroh dari KH Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral peantren yang akan ia rintis.
Awalnya, ia berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan , Rogojampi (Banyuwangi) yang juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pondok pesantren yakni H Sanusi. Pemilik tanah dan dan rumah di desa Berasan itu (H Sanusi-red) akhirnya mau menjual rumah dan tanahnya kepada KH Abdul Manan.
Tepat tahun 1932, KH Abdul Manan berserta keluarga dan diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai membangun pondok pesantren. Awal berdiri pondok pesantren hanya berupa sebuah rumah dan musola kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang, sangat memprihationkan.
Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga ia menambah jumlah lokasi pondok dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen.

Masa penjajahan Jepang dan Kolonial
KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kyai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk. Nasib nahas memang banyak menimpa Kyai-Kyai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.
Tepat tahun 1945 ia membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau populer dengan jam’iyyah gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan , khitobah dll.
Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus pendidikan agama atau madrasah diniyah yang dibimbing oleh KH Suyuthi. Pada tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah yakni MI Miftahul Mubtadin. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al Hikmah.
KH Abdul Manan adalah sosok ulama yang soleh dan zuhud. Beliau mendidik putra putrinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya ia pondokan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan pendidikan anak-anaknya dan para santri bahkan juga masyarakat di mana bila sudah jam 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur). Beliau adalah seorang yang aktif dan disiplin dengan apapun tugas. Memang awalnya beliau mendidik dan memberi pengajian kepada putra-putranya, santri dan masyarakat sendirian, belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian kepada santri-santri di bawahnya.
Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di pondok Minhajut Tulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di ndalemnya Mbah Kyai dan ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan berupa sawah atau kebun dari tanah KH Abdul Manan.
Keseharian beliau adalah seorang Kiai dan seorang petani. Sedang dibidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya, beliau cukup dirumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka datang ke rumah Mbah KH Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Rotan bertuah
Setelah Indonesia merdeka,m justru ada peristiwa yang lebih kejam lagi yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 S PKI). Kekejaman dan komunis lebih kejam lagi, banyak kyai dan santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. KH Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan (Kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk melawan PKI.
Rotan-rotan itu oleh KH Abdul Manan setelah didoakan dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di asma’ oleh KH Abdul Manan, banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dll.
Kelebihan dan kejadugan KH Abdul Manan bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, tetapi buah dari riyadhah sejak ia berusia mua. Saat masih menimba ilmu di pondok pesantren ia sering melakukan puasa mutih, ngrowot. Saat belajar di Mekah selama 9 tahun ia juga berpuasa secara terus menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa yakni hari Idul Fitri dan hari Idhul Adha (2 hari Idul Adha). Bahkan tak jarang ia hanya berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.
Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak –anak dan santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat banyak. KH Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh 15 Syawal 1399 H (1979 M) dan di makamkan masih di sekitar pondok pesantren Minhajut Thulab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur).
Aji Setiawan, Purbalingga-Jawa Tengah

KH Abdul Manan Muncar Banyuwangi Jawa Timur



Kiai Jadug dari Banyuwangi
Nama KH Abdul Manan adalah nama yang tidak asing lagi bagi kebanyakan penduduk di wilayah kab Banyuwangi-Jawa Timur, khususnya desa Sumberas Muncar Banyuwangi. Kiai ini dikenal sebagai kiai ”jadug” alias jago gelut melawan berandalan dan perampok pada waktu itu.

KH Abdul Manan merupakan putra kedua dari KH Moh Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan (Kediri). Lahir di desa Grampang, Kab Kediri pada tahun 1870. Saat berusia 1 tahun, ia dibawa KH Moh Ilyas pindah dari Grempol ke desa Ngadirejo Kecamatan Kandangan, Kab Kediri.
KH Moh Ilyas di Ngadirejo kemudian membuka pondok pesantren ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, KH Moh Ilyas, Abdul Manan juga “nyantri” ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun ia masuk pondok pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal Pondok Pesantren Ringin Agung yang diasuh oleh Mbah KH Nawawi. Sekalipun usianya masih kecil, ia mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai “santri pemberani”. Dimana hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan Mbah Kyai Nawawi, namun ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.
Lepas dari pondok pesantren Ringin Agung, ia kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok pesantren neneknya sendiri . Di pondok gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah dan ia dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut. Bahkan ia pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat dibrantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Grompol.
Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di pondok Gerompol, ia kemudian melalaang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Dikalangan santri biasa disebut sebagai “santri kalong” karena mondoknya hanya sebentar saja. Beberapa pondok pesantren yang pernah dirambah oleh KH Abdul Manan diantaranya adalah Pondok Pesantren KH Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok dengan KH Kholil Al Bankalani (Bangkalan, Madura) atau yang biasa disapa dengan pangilan Mbah Cholil Bangkalan.
Lepas mendapat didikan dari Mbah Cholil ia kemudian melanjutkan belajar ke Mekkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia yang ada di Mekah dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun.
Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Manan kembali ke daerah asalnya yakni desa Jatirejo, Kandangan, Kab Kediri untuk membantu orang tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri KH Moh Ilyas.
KH Abdul Manan menikah dengan seorang putri dari dusun Sumberbiru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun karena KH Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai) dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke Jatirejo , Kandangan (Kediri).
Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh oleh KH Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh KH Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun.
Pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar ia dikaruniai duabelas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun,Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.
Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun (Jalen) dan dari istri keduanya ia dikaruniai 9 putra-putri yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH Toha Muntaha.
Tahun 1929 Ia pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan pondok pesantren Minhajut Thullab. Sedangkan pondok pesantren Jalen diteruskan olehh adik iparnya yakni Nyai Mawardi.

Mulai membangun Pondok
Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyaroh dari KH Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral peantren yang akan ia rintis.
Awalnya, ia berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan , Rogojampi (Banyuwangi) yang juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pondok pesantren yakni H Sanusi. Pemilik tanah dan dan rumah di desa Berasan itu (H Sanusi-red) akhirnya mau menjual rumah dan tanahnya kepada KH Abdul Manan.
Tepat tahun 1932, KH Abdul Manan berserta keluarga dan diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai membangun pondok pesantren. Awal berdiri pondok pesantren hanya berupa sebuah rumah dan musola kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang, sangat memprihationkan.
Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga ia menambah jumlah lokasi pondok dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen.

Masa penjajahan Jepang dan Kolonial
KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kyai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk. Nasib nahas memang banyak menimpa Kyai-Kyai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.
Tepat tahun 1945 ia membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau populer dengan jam’iyyah gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan , khitobah dll.
Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus pendidikan agama atau madrasah diniyah yang dibimbing oleh KH Suyuthi. Pada tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah yakni MI Miftahul Mubtadin. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al Hikmah.
KH Abdul Manan adalah sosok ulama yang soleh dan zuhud. Beliau mendidik putra putrinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya ia pondokan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan pendidikan anak-anaknya dan para santri bahkan juga masyarakat di mana bila sudah jam 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur). Beliau adalah seorang yang aktif dan disiplin dengan apapun tugas. Memang awalnya beliau mendidik dan memberi pengajian kepada putra-putranya, santri dan masyarakat sendirian, belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian kepada santri-santri di bawahnya.
Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di pondok Minhajut Tulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di ndalemnya Mbah Kyai dan ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan berupa sawah atau kebun dari tanah KH Abdul Manan.
Keseharian beliau adalah seorang Kiai dan seorang petani. Sedang dibidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya, beliau cukup dirumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka datang ke rumah Mbah KH Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Rotan bertuah
Setelah Indonesia merdeka,m justru ada peristiwa yang lebih kejam lagi yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 S PKI). Kekejaman dan komunis lebih kejam lagi, banyak kyai dan santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. KH Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan (Kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk melawan PKI.
Rotan-rotan itu oleh KH Abdul Manan setelah didoakan dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di asma’ oleh KH Abdul Manan, banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dll.
Kelebihan dan kejadugan KH Abdul Manan bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, tetapi buah dari riyadhah sejak ia berusia mua. Saat masih menimba ilmu di pondok pesantren ia sering melakukan puasa mutih, ngrowot. Saat belajar di Mekah selama 9 tahun ia juga berpuasa secara terus menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa yakni hari Idul Fitri dan hari Idhul Adha (2 hari Idul Adha). Bahkan tak jarang ia hanya berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.
Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak –anak dan santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat banyak. KH Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh 15 Syawal 1399 H (1979 M) dan di makamkan masih di sekitar pondok pesantren Minhajut Thulab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur).
Aji Setiawan, Purbalingga-Jawa Tengah

KH Mukhtar Syafaat Abdul Ghafur Banyuwangi Jawa Timur



Ulama Panutan Umat

Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi

KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat.
Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.(Aji Setiawan)

Rabu, 15 Juni 2011

Doa Rajab wa Sya'ban


Allohuma barik lana fi rajab wa sya’ban wa ballighna ramadhan.
Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan)