Aji Setiawan
Kesempatan emas menjadi tamu
Allah SWT haruslah dijalankan dengan kesungguhan . “Barang siapa mengerjakan
haji kemudian ia tidka berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia
kembali bersih seperti saat dilahirkan ibunya.
(HR Bukhari dan Muslim).
Beberapa hari ini kita mulai
menyaksikan saudara-saudara kita yang super sibuk mempersiapkan diri untuk
memenuhi panggilan ilahi. Tentunya
ibadah yang satu ini bukanlah ibadah yang mudah dan ringan untuk dilakukan .
Untuk bisa melaksanakannya tidak hanya dibutuhkan kemampuan secara fisik, tapi
juga materi. Berbeda dengan ritual keagamaan lainnya. Dalam ibadah yang satu
ini tergabung dua unsur sekaligus yaitu
unsur Badaniyyah (fisik) dan unsur maliyah (materi). Yang merupakan bagian
dari syarat istitho’ah. Kemampuan
untuk melaksanakannya.
Apa sebenaranya yang dicari oleh
mereka yang menunaikan ibadah ya rupiah dikurs mata uang Saudi Arabia yang
sekitar 2800 real (3500 U$) atau dalam mata uang rupiah (konon sekarang sekitar
30 juta lebih). Belum lagi mereka harus mengeluarkan biaya tasyakuran ,
pamit-pamit kepada tetangga serta nantinya akan menentang baang bawaan yang
tidak sedikit.
Betapa capeknya mereka sejak
keluar dari rumah –rumah hingga berjejal-jelal di pos--pos pemberangatan dan
embarkasi. tentu saja hal itu bukan untuk sekedar plesiran atau berwisata. Dan
yang pasti mereka tidak ingin semua kepayahan itu akan sia-sia..
Kita tidak hendak mencoba untuk
menjadi penatar “manasik haji”, karena calon
jammaah haji (calhaj) sudah kenyang dengan kurikulum manasik yang dari
dulu tidak pernah berubah. Coba kita gali bersama lebih dalam lagi . Sebenarnya
apa sih esensi ibadah haji yang suci dan ada dampak positif yang bisa
didapatkan dan apa dampak positif yang bisa didapatkan darinya.Hal ini akan
mengarahkan manusia pada satu titik dimensi spiritual yang merupakan tujuan
utama ibadah haji yang dilakukan oleh kaum muslimin.
Kita juga berkhusnudon (positif thingking) bahwa motivasi
mereka menunaikan ibadah itu ingin memperoleh predikat “Haji Mabrur” yang akan
menghantarkan mereka menuju kebahagiaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.
Sayangnya, tidak semua orang orang yang pergi ke Mekkah itu bisa menyandang
predikat mulia. Setelahnya mereka tidak canggung lagi mengenakan peci putih, dan sorban atau kerudung yang disimbolkan
bahwa nereka telah melaksanakan ibadah haji.
“Hajun Mabrur” merupakan pangkat
yang mahal. Saking mahalnya Rasulullah SAW bersabda ‘”al-hajju mabruru laisa lahu jazaan illal Janah,” Haji yang mabrur
itu tiada balasanya tiada lain Surga. Sudha barang tentu untuk mencapai reward
(penghargaan) rabbani itu
tiada cukup dengan persiapan lahiriyah saja tapi juga pemahaman dan penghayatan
intensif akan ruh dan hakekat berhaji. Sehingga kita bisa menikmati energi
positifnya.
Intinya dalam setap ibadah kita
dalam beribadah kita harus memahami apa yang menjadi tujuan kita diperintah
auntuk mengamalkannya. Hal ini perlu agar kita tidak terjebak hanya dalam
ritual belaka, tanpa ada nya interaksi
fungsional antara ibadah formal
dengan sepak terjang kehidupan konkritnya. Sebab, agama bukan hanya untuk ritus-ritus dan
simbol-simbol. Ritus dan simbol-simbol. Ritus dan simbol itu adalah ungkapan ungkapan budaya atas
ruhani muatan agama.
Dalam konteks riwayat hadist
tentang kemabrurah Haji , Nabi SAW ditanya oleh seorang sahabat,”wama birul hajj ya Rasululloh SAW ? Apa sebenarnya kebaikan haji itu wahai Rasul Alloh?”
Beliau Rasulullah SAW bukannya
menjawab dengan menyebut ritual –ritualnya,seperti Thawaf, Sa’i, Wuquf di
Arofah , Tahalull,dan lain sebagainya. Nabi SAW malah menjawab ada tiga hal
kebaikan haji yang lebih banyak berkaitan dengan hubungan baik sesama jama’ah
atau bisa juga kita artikan tiga hal ini sebagai haji mabrur.
Pertama, Tiybul kalam (ucapan yang baik). Kedua, it’amut tho’am (memberi makan, loman)
dan ketiga : Ifsyaus Salam
(menebarkan salam. Dari ketiga hal ini , kita dapat memahami ternyata seorang
yang mabrur hajinya tidak hanya memilki kekhuyu’an yang total kepada Allah SWT.
Tapi dia juga mampu mengontrol lisannya untuk berkata kecuali hal-hal yang baik
, memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama , sekaligus senantiasa menebarkan salam yang
juga berarti kedamaian yang pasif juga kedamaian aktif.
Imam al-Hasan r.a pernah ditanya
apakah sebenarnya haji Mabrur? Jawabnya yaitu jika engkau telah pulang , kamu
menjadi orang yang yang zahid (Tidak terbelenggu dalam cinta
dunia) dan bersemangat untuk mencapai kebahagiaan abadi di akhirat. (Zuhud)
tidak berarti anti materi , tapi kesanggupan rohani untuk mengalahkan ambisi
pribadi, keserakahan kepemilikan benda, serta kebanggaan eksistensial. Hal
tersebut di atas. Hal tersebut di atas memberikan gambaran yang konkret kepada
kita, betapa pentingnya memahami filosofi “ruh ibadah haji” agar kita mampu
mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.Semoga saja kaum muslimin yang saat ini sedang menjadi duta Allah SWT akan pulang kembali ke tanah
airnya dengan membawa , ”wa hajjun mabrur, wa sa’yun masykur wa dzanbun magfur wa tijarotun lan tabur. Selamat jalan wahai para tamu Allah dengan semangat talbiyah yang senantiasa mengiringi mu “Labaik Allohuma Labbaik.” Hamba datang memenuhi panggilan Mu ya Alloh Jalajalluhhu warohmatuhu, hamba datang memenuhi panggilan-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar