Predikat Haji meamang
luarbiasa. Apalagi kalau predikat haji itu sebagai tanda kemabruran dalam
melaksanakan ibadah haji.
Ibadah
Haji memang gemanya menggaung ke seluruh
dunia. Sekalipun ibadah tahunan, namun gemanya selalu mengalahkan ibadah-ibadah
yang yang berskala lokal maupun regional. Syiar Haji melampaui batas-batas negara
bahkan dunia. Barangkali tidak ada ibadah rutin yang beritanya selalu menyedot
perhatian dunia seperti Haji. Sebuah Ibadah sangat kolosal karena ditunaikan
dan diikuti oleh jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia.
Setiap
ibadah dalam Islam memiliki efek sosial : salat, puasa, haji dan ibadah
lainnya. Efek itu bervariasi . Ada yang besifat individual atau mungkin
komunal, ada pula yang bersifat keumatan yang mengatasi batas-batas negara,
efek dari sosial Haji.
Haji
seperti dikatakan Ali Ahmad Al Jurjawi dalam kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, ibadah Haji adalah ibadah yang
membuat takut bangsa barat. Sebab mereka sangat paham akan hikmah dan efek
potensial haji untuk meemperkuat kebersatuan dan solidaritas umat Islam di
seluruh dunia.
Gubernur
Jendral Rafles dam buku History of Java pernah menyatakan,” Setiap orang Arab
dari Mekkah, begitu pula orang Jawa yang pulang haji, segera dianggap sebagai orang
suci, sementara orang awam menyimpulkan bahwa mereka memiliki kekuatan gaib.
Karena itu, mudah bagi mereka untuk membangkitkan gerakan perlawanan dalam
negara dan mereka menjadi instrumen paling berbahaya di tangan para pejabat
yang menentang otoritas Hindia Belanda.”
Gubernur
Jendral Inggris itu juga menulis, ”Mohammedan
priests have almost invariably been found most active in every case of
insurrection.” (Para pastur Islam--maksudnya Kyai , Haji dan orang
Arab—hampir selalu didapati paling aktif dalam, setiap kasus pemeberontakan).
Kenyataan
memang demikian, misalnya pemberontakan petani di Cilegon tahun 1888 yang telah
menghebohkan seluruh Hindia Belanda itu, dipimpin oleh Haji Wasid. Begitupun
pemberontakan di Sidoarjo dan Yogyakarta yang meletus hampir bersamaan.
Perang
Paderi di Sumatera Barat mula-mula dipicu oleh trio Haji yang baru pulang dari
Mekkah. Mereka tergugah melihat berbagai pelanggaran Syariat yang terjadi di
daerahnya mulai dari sabung ayam, mabuk-mabukan dan semacamanya. Dari mula-mula
perang melawan maksiat, lalu berkembang melawan penjajah.
Begitu
takutnya dengan pak Haji, sampai-sampai para pejabat kolonial tidak mau
mengangkat anak seorang bupati sebagai pengganti sang bapak karena mereka telah
bertitel Haji.
Begitulah, haji memang potensial untuk memicu
transformasi sosial. Berhaji tidak hanya memepertebal ketaqwaan dan keimanan,
tetapi juga memberi kesempatan pada jamaah untuk melakukan studi banding. Haji
mempertebal kecoiantaan terhadap nilai-nilai dahn akhlaq keislaman , sehingga
orang terdorong untuk menerapkannya sekembali dari tanah suci, setidaknya
begitu yng banyak terjadi dahulu.
Orang
pun termotivasi untuk melakukann transformasi sosial di daerahnya mengubah alam
maksiat menuju alam ketaatan , dari alam penindasan menuju alam keadilan dari
alam kegelapan menuju alam terang benderang.
Luar
biasa memang dampak sosial bagi jamaah haji. Saat wukuf di Arofah, semua orang
berbaur menjadi satu dan hanya memakai pakaian ihram berwarna putih. Yang terjadi saat wukuf adalah bangkitnya
rasa ukhuwwah. Merasakan berada di tengah orang yang saling bercakap dengan
beraaneka bahasa yang tidak dapat dimengerti satu persatu. Tapi merasakan ada
kedekatan antara satu orang dengan orang yang lain.
Walau
berlainan bahasa, tidak berarti para jamaah tidak saling bertegur sapa, tidak
saling berkomunikasi. Walapun hanya dengan salam, “Assalamu’alaikum,” yang
dipahami oleh semua dan diketahui jawabannya oleh semua. Atau hanya dengan
anggukan kepala dengan senyuman.
Tidak
sedikit jamaah haji dari Indonesia yang masih berlepotan apalagi berkomunikasi
dengan bahasa asing dan pulang sambil
membawa oleh-oleh. Bahkan tak jarang antar jemaah saling bertukar cindera mata,
mereka melakukan dengan berkomunikasi lewat aksi saling menolong, berbagi dan
saling bekerjasama. Ringan sama
dijinjing berat sama dipikul.
Dengan
saling memberi tempat di masjid atau berbagi makanan dan minuman. Tidak sedikit
jamaah ada yang diundang makan makan oleh saudaranya yang berasal dari negara
lain. Atau saling menyemprotkan air ke kepala jamaah lain guna meredam dampak
panas matahari, yang kemudian dibalas senyum oleh orang yang disemprot. Sungguh
indahnya kebersamaan, solidaritas dan rasa persaudaraan yang tinggi di saat
berhaji.
Solidaritas
itu mestinya bisa membuahkan hal-hal positip sekembali mereka dari tanah suci
ke negara masing-masing. Bisa merasakan senasib sependeritaan dengan sesama
muslim, tak peduli di mana mereka berada. Terutama kepada muslim yang ditimpa
kesusahan: dalam ketertindasan sepertisaudara –saudara kita di Iraq, Palestina
dan Afganistan. Atau saudaara-saudara kita yang kerap terkena bencana alam.
Namun
kenyataannya, kita melihat makin merosotnya rasa ukhuwwah diantara kita.
Perpecahan, permusuhan dan konflik yang mudah disulut diantara kita. Mengapa?
Ada
banyak jawaban, Namun semuanya bermuara pada dua faktor internal umat dan
faktor eksternal. Secara internal ada masalah dengan kedewasaaan kita sebagai
umat. Ini diperparah dengan kurangnya penghayatan jamaah terhadap nilai-nilai
sosial haji. Sedang secara eksternal, kita menghadapi serangan yang begitu
hebat terhadap kohesi keumatan kita. Ada politikk devide et impera yang begitu
canggih dan efektip. Contoh paling konkrit dapat kita saksikan di Irak,M
Afganistan, Palestina, Yaman, Libanon sekarang ini.
Tetapi
politik ini juga dengan cara yang lebih halus menghantam umat lainnya: antara
negara Arab dengan negara Arab lainnya, bahkan antara negera muslim dengan
negeri muslim lainnya. Tak terkecuali antara satu komunitas muslim dengan
komunitas muslim lainnya.
Di
samping itu, diperkenalkannya ide-ide tandingan oleh kaum cerdik pandai muslim
juga potensial untuk mereduksi atau malaha menenggelamkan ajaran ukhuwah islamiyah kita. Misalnya ide ukhuwwah basyariah (persaudaraan
kemanuisaan) atau ukhuwwah wathaniyyah
(persaudaraan kebangsaan)-istilah-istilah yang sebenarnya tidak dikenal dalam
teks Islam. Ide-ide itu terus menerus diperkenalkan sembari mencibir ukhuwwah islamiyyah sebagai sesuatu yang
kolot dan ketinggalan dan bukan berati kita menentang ide-ide tersebut, sebatas
tidak mengganggu ajaran ukhuwwah
islamiyah yang asli.
Lebih
dari itu, ada usaha yang konsisten untuk menjauhkan kita secara emosional dari saudara-saudara muslim yang berlainan
bangsa. Ditanamkan terus propaganda bahwa kita satu bangsa dan mereka bangsa
lain. Sehingga adalah naif untuk memberikan kepedulian “berlebihan” kepada
mereka. Kalau perlu dengan menanamkan citra atau cap buruk mengenai mereka.
Alhasil diantara kita dibuat jarak yang lebar dan semakin lebar. Terkadang
sesam muslim di satu negeri pun tanpa kita sadari dibangun tembok tinggi
sehingga terjadi saling curiga.
Barat,
sebagaimana Jurjawi sangat memahami dampak sosial Haji yang begitu hebat.
Karena Haji adalah Muktamar ibadah orang muslim sedunia. Tetapi mereka tahu,
sekarang tidak mungkin menghalangi orang berhaji. Yang bisa kita lakukan
hanyalah barangkali, membuat pencitraan yang buruk mengenai haji, melalui
dramatisasi kecelakaan selebihnya adalah mereduksi (mengurangi) atau bahkan
menetralisir dampak positip haji tadi melalui usaha-usaha besar baikl yang kasar maupun yang halus . Ibarat
Air, dampak positip haji yang berupa riak-riak itu segera melenyap diterjang
arus gelombang lebih besar dan terus menerus.
Barat,
sekali lagi sangat tahu tidak mungkin menghalangi orang berghaji. Di samping
itu bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keterbukaan mereka. Dari tahun ke
tahun jumnlah haji kita sekalu mengalami peningkatan membuat orang
bertanya-tanya sekarang kalau kita hendak berhaji kita harus mendaftar dahulu
2-3 tahun sebelumnya karena jatah untuk tahun depan sudah habis.
Itulah
hebatnya haji memang tak mungkin bisa dibendung. Dia ibarat air yang selalu
mencari jalan untuk mengalir atau ibarat udara yang akan mencari-caari celah
untuk menembus. Sebab panggilan haji sangatlah bukan dengan suara manusia
tetapi langsung oleh Allah, sesuasi farm,an-Nya,”Dan serukanlah kepada mnusia yang berhaji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang
datang dari seluruh penjuru yang jauh.” (QS Al Hajj:27).
Karena
berasal dari Allah, maka pangggilan itu langsung menghunjam dna menggema di
hati lubuk paling dalam. Dari situlah orang tergugah untuk berhaji. Tak peduli
betapa pun mahalnya . Betapa pun bahayanya , betapapun jerih payahnya, Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar,
Walilla hilhamd! (***) Aji Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar