Di Puncak, Beroleh Hidayah
Sejak usia remaja, dunia hitam telah
dirambahnya. Beruntung, Allah masih menyayanginya. Dari tempat gelap, ia
diangkat dan ditempatkan dalam kemilau cahaya hidayah.
Puncak,
Bogor, penghujung tahun 1999. Seorang pria muda tersentak bangun dari
tidurnya dengan wajah pucat pasi. Napasnya tersengal dan keringat
membanjiri sekujur tubuhnya. Terlintas jelas di benaknya kejadian
mahadahsyat yang baru saja dilihatnya dalam mimpi. Air laut mendidih dan
menggelegak menerjang daratan yang telah porak poranda dilanda gempa
dan gunung meletus. Jutaan manusia berlarian kian kemari, kebingungan.
Malam itu, untuk kesekian kalinya ia mengalami mimpi yang mencekam,
kiamat.Mimpi kiamat itu melengkapi mimpi-mimpi buruk lain yang
belakangan selalu membuatnya gelisah. Sebelumnya, pria tampan berusia 27
tahun itu telah sangat tersiksa dengan gambaran kematian, siksa kubur,
dan kehampaan putih yang menghantui tidurnya. Dengan jelas ia melihat
dirinya sendiri dimandikan, dibalut kain kafan, dan disalati. Ia juga
melihat dirinya digotong tetangga dan sanak keluarganya menuju kuburan,
ditimbuni tanah dan ditinggal sendirian. Meski dalam mimpi, badannya
ikut merasakan pedih saat tanah di kiri-kanannya bergerak mengimpit.
Dan, lagi-lagi, ia terbangun dan berteriak-teriak ketakutan.“Mungkin
semua itu bagian dari azab Allah, atas semua dosa yang telah saya
perbuat,” kenang pria yang kini kerap menghias layar kaca sebagai
seorang pendakwah ini.Ketika siksaan psikis itu mencapai puncaknya,
antara sadar dan tidak, pemuda itu mengambil kertas dan melukis dirinya
sedang berceramah. “Di bagian belakang, tampak spanduk bertuliskan La
ilaha ilallah,” kenangnya haru. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi
titik balik seorang Jefri Al-Bukhari, dari kehidupannya yang
gelap-gulita berganti cahaya hidayah yang kilau kemilau.
Anak
UstazTerlahir dari pasangan Mubalig Ustaz H. Ismail Modal dan Ustazah
Dra. Hj. Tatu Mulyana, pada tanggal 12 April 1973, ia sebenarnya
dibesarkan dengan disiplin keagamaan yang ketat. “Apih mendidik kami
berlima dengan sangat keras,” tutur Jefri. “Kalau kami sampai lupa salat
atau mengaji, wah, jangan ditanya hukuman yang akan diberikan Apih.”
Apih adalah sapaan Jefri kepada ayahnya, pria tinggi besar asal Ambon;
sedangkan kepada ibunya yang berasal dari Banten, ia dan
saudara-saudaranya memanggil Umi. Di luar jam belajar di madrasah, kedua
orangtua inilah yang memperkenalkan Jefri kepada agama.Tanda-tanda
kenakalannya sendiri, Jefri mengaku, telah nampak sejak kecil. Ia sering
mengganggu orang salat, kemudian bersembunyi di atap rumah, sambil
memperhatikan orang yang diganggunya marah-marah. Namun saat itu,
lingkungan keluarganya yang taat beragama masih bisa membuat Jefri
menyukai pelajaran agama, terutama seni membaca Al-Quran. Saat kelas 5
SD, misalnya, Jefri pernah mengikuti kejuaraan MTQ sampai tingkat
provinsi. “Kebiasaan kedua orangtua saya melantunkan Al-Quran membuat
saya tertarik mendalami seni qiraah secara bersungguh-sungguh,”
tuturnya.Selain agama, Jefri juga mempunyai bakat terpendam di bidang
seni. “Entah mengapa, saya suka sekali tampil di depan orang banyak,”
katanya suatu hari.Tapi masa kanak-kanak Jefri yang masih terbilang
cukup agamais itu tidak berlangsung lama. Menjelang remaja, ia justru
semakin nakal. Ia pernah dimarahi ibunya yang sedang mengajar karena
merasa sangat terganggu dengan suara gitar dan nyanyiannya yang sangat
keras. Saking marahnya, sang ibunda sampai membentaknya, “Hei, setan!”
Kenakalannya pun semakin menjadi saat ia masuk pesantren. Bahkan
akhirnya Jefry dikeluarkan dari pondok. “Waktu itu saya terlambat, guru
saya tidak tahan lagi atas sikap saya tersebut. Begitu masuk, saya
ditimpuk pakai penghapus. Kemudian, karena kesal, saya ‘mengembalikan’
penghapus itu dengan cara yang sama,” kenangnya sambil tersenyum simpul.
Keluar dari pesantren, ia masuk Madrasah Aliyah, yang cuma bisa
dijalaninya selama satu tahun. Ia dikeluarkan, karena berkelahi.
Pendidikan yang carut marut dan pergaulan yang tidak terkontrol membawa
Jefri masuk dunia yang liar. Saat usianya baru 16 tahun, ia sudah mulai
mengenal dunia malam. Ia hanya masuk sekolah saat ujian. Setiap malam ia
lebih sering berada di diskotek untuk menari. “Tiap ke diskotek,
diam-diam saya mempelajari gerakan orang-orang yang nge-dance,” kenang
Jefri. Karena bakat, ia pun kemudian menjadi penari yang bertualang dari
satu diskotek ke diskotek lain. Bahkan beberapa kali ia berhasil
memboyong piala ke rumah sebagai the best dancer. Belum puas, ia juga
mencoba merambah dunia fotomodel dan ikut fashion show di beberapa
diskotek. Akhirnya, meski dengan nilai pas-pasan Jefri berhasil lulus
SMA pada tahun 1990.Usai SMA ia menjajal kemampuan aktingnya dengan
menjadi pemeran pengganti dalam beberapa sinetron. Aktingnya mulai
dilirik sutradara. Tahun itu juga ia mendapat peran di sinetron Pendekar
Halilintar. “Waktu itu sinetron masih dipandang sebelah mata oleh
masyarakat dan artis film,” kenang Jefri. Sementara itu hubungan Jefri
dengan kedua orangtuanya semakin memburuk. Apihnya mati-matian menentang
kegiatan Jefri. Haji Ismail Modal sangat mengenal kelamnya dunia yang
tengah digeluti anaknya. Karena, di masa mudanya Ismail juga pernah
berkecimpung di dunia film. “Apih pernah main di film action, antara
lain Macan Terbang dan Pukulan Berantai.” Tapi, Jefri tetaplah Jefri. Ia
bergeming. Terlebih setelah ia menyabet gelar Pemeran Pria Terbaik
dalam Sepekan Sinetron Remaja, yang diadakan TVRI tahun 1991. “Waktu itu
saya sangat bangga, karena merasa menang dari orangtua,” kenang Jefri.
Kesombongannya makin menjadi. Ia merasa, jalan hidup yang dititinya
adalah yang terbaik baginya. Setelah bergelimang uang, Jefri semakin
tidak terkendali. Semua jenis kemaksiatan pernah dicobanya. Ia pun
sempat bertahun-tahun menjadi pecandu berat narkoba. Bahkan malam
pengantinnya dengan Pipik Dian Irawati, gadis Semarang yang dinikahinya 7
September 1999, dilewatinya dengan kondisi sakaw dan menikmati putaw
semalaman.“Hati siapa yang nggak sedih, Mas?” kenang Pipik. “Tapi saat
itu saya justru semakin tertantang untuk melepaskan Mas Jefri dari
jeratan benda terkutuk itu.”Jefri memang beruntung. Istrinya tidak hanya
cantik, tetapi juga tabah dan ulet. Dengan sabar Pipik menemani Jefri
melewati hari-hari sakaw-nya. Juga pada malam-malam saat suaminya
menderita paranoia, dikejar mimpi buruk dan ilusi menakutkan. Saat itu
Jefri memang tengah dijauhi teman-temannya, yang kewalahan dengan
kelakuan buruk yang semakin menjadi-jadi saat ketagihan. “Saya sempat
mengalami masa-masa paranoid, sekitar setahun. Pada masa itulah saya
menyadari, saya tidak memiliki siapa-siapa kecuali Allah SWT. Allah
tidak pernah meninggalkan kita. Seburuk apa pun saya di mata Allah, Dia
tidak pernah meninggalkan saya,” kenangnya haru.Perlahan Jefri mulai
terkontrol. Terlebih ketika mendengar Pipik hamil, ia berusaha keras
menghentikan kebiasaan buruknya. Selain mengikuti terapi dengan Prof.
Dr. Dadang Hawari, Jefri juga mempunyai cara tersendiri melawan
kecanduannya. Saat keinginan untuk mengonsumsi putaw datang dan tak
tertahankan, ia menghukum dirinya dengan melukai tubuhnya sendiri. Cara
ini, menurut Pipik, lumayan efektif meski awalnya sempat membuatnya
ngeri.Kini, enam tahun setelah pernikahannya, ibu dua anak Jefri, Adiba
Khanza Az-Zahra dan Muhammad Abi Dzar Al-Ghifari, ini bisa tersenyum
lega. Suaminya bukan saja sembuh dari kecanduan narkoba, tetapi juga
telah berhasil mengembalikan dirinya sendiri ke jalan Allah. Jefri,
meneruskan jejak orangtuanya, kini dikenal sebagai seorang pendakwah
yang sangat digemari.
Mubalig TampanSetelah masa perenungan, Jefri
kembali memulai mengaji di berbagai majelis taklim di ibu kota. Ia juga
berguru kepada beberapa ulama, salah satunya adalah K.H. Ali Saman.
Terhadap gurunya yang satu ini Jefri sangat terkesan dengan pola
hidupnya yang bersahaja. “Sampai sekarang, rumahnya sangat sederhana.
Bahkan, sepeda saja tidak punya,” ungkapnya terharu. Setelah mengikuti
berbagai taklim dan pengajian, ia mulai merasakan ketenangan dalam
hidup. Tahun 2000 ia menjadi penyuluh gerakan anti narkoba. Ini pun
awalnya tidak disengaja. Saat itu salah satu kakaknya, Ustaz Abdullah
Riyadh (kini almarhum), yang seharusnya menjadi pembicara, berhalangan
hadir, karena harus ke Singapura. “Saya dipaksa menggantikan
ceramah-ceramah Ramadan di beberapa masjid dan kantor,” tuturnya.Masa
lalunya yang kelam justru dijadikan salah satu modal berdakwah, terutama
terhadap kaum muda. Berbagai pengalaman dan kiat menghindari dunia
hitam memang lebih efektif bila disampaikan oleh orang yang pernah
bergelimang di dalamnya. Gayanya yang khas dengan iringan pelantunan
ayat-ayat Al-Quran dan celetukan-celetukan ala remaja yang membumbui
ceramahnya sangat digandrungi kawula muda. Wajah tampannya juga memesona
kaum ibu dan remaja putri.Sejak itu ia merambah jalan dakwah, dan mulai
dikenal sebagai mubalig. Popularitasnya kian meroket ketika beberapa
stasiun televisi swasta mengontraknya untuk memberi tausiah di sinetron
religi. Berbagai acara, seperti Kuliah Pagi, Astagfirullah (SCTV), Di
Ambang Fajar (RCTI), Kuasa Illahi dan Suratan Takdir (TPI), Musafir
(ANTV), dan Sentuhan Qalbu (TransTV), pun dihiasi wajah dan
nasihat-nasihatnya.Belakangan, Ustaz Jefri, yang kini sering dipanggil
UJ oleh teman-temannya, dan dikenal memiliki bakat tarik suara, juga
dilirik sebuah perusahaan rekaman. Awal Ramadan lalu, ia merilis album
perdananya, Lahir Kembali, yang diproduksi Forte Record dan diedarkan
oleh Nada Hijrah.Di tengah kesibukannya sebagai dai dan membintangi
beberapa sinetron keagamaan, ia pun masih menyempatkan diri membuka
pengajian di kediamannya. “Namanya Majelis Taklim I Like Monday,” kata
Ustaz Jefri.Jadwal acara taklim yang diselenggarakan dua minggu sekali
ini banyak diikuti para eksekutif, businessman, anak muda, artis, dan
lain-lain. Ia sengaja memilih nama I Like Monday untuk majelis taklimnya
sebagai penghormatan terhadap hari kelahiran, hijrah, dan wafatnya
Rasulullah SAW.Konsep yang ditawarkan majelis taklim yang diadakan
setiap Senin malam ini adalah pengkajian kasus-kasus yang sedang hangat
di masyarakat dan dikupas dengan materi-materi yang sederhana. “Saya
ingin memulai dari hal-hal yang sederhana. Saya ingin menghindari
perasaan menjadi orang yang paling suci, sementara yang mendengarnya
jelek semua,” tutur Ustaz Jefri merendah. Karena itu, dalam setiap
pengajian yang diselenggarakannya, Ustaz Jefri sendiri jarang tampil
sebagai pembicara utama. Ia justru lebih sering mengundang pembicara
atau ustaz dari luar. Dengan begitu, menurutnya, ia bisa menyerap ilmu
dari pembicara yang hadir di majelisnya.“Saat ini saya masih membutuhkan
sumber ilmu,” katanya rendah hati. Sejak menempati rumah barunya di
kawasan Pondok Indah, Ustaz Jefri menghiasi hari-harinya dengan berbagai
kegiatan bermanfaat bagi umat. Ia juga berharap, di rumah barunya ini
bisa lebih memperhatikan buah hatinya, Adiba dan Abizar. Rupanya sang
ustaz, dengan pengalaman masa mudanya, sangat khawatir dengan pengaruh
lingkungan yang bisa dengan mudah merusak seorang anak.“Kami menempati
rumah baru agar lingkungan dan pendidikan anak-anak saya lebih baik dan
terarah,” katanya penuh harap. Belakangan, kebahagiaan senantiasa
menghiasi wajahnya, apalagi kini setelah dua anak mulai tumbuh besar.
Tetapi, menurutnya, yang paling bahagia dengan keadaannya sekarang
adalah sang ibunda. “Senyumnya lebih sering terlihat. Kalau dulu Umi
selalu berlinang air mata sedih, sekarang air mata itu adalah air mata
kebahagiaan,” papar Jefri. Ia juga merasa, semua yang diperolehnya saat
ini tak lepas dari doa dan air mata ibundanya. “Umi tidak pernah jenuh
mengangkat tangan memohon pertolongan Allah SWT,” tuturnya. Kini, ketika
telah menjadi ustaz, masih sering terngiang di telinganya wejangan
gurunya semasa di pesantren, almarhum K.H. Ahmad Rifai Arif, pengasuh
Ponpes Darul Qolam, Gintung, Balaraja, Tangerang, yang mengingatkan
pentingnya introspeksi diri. “Dari mana kita datang? Sekarang ada di
mana? Dan akan ke mana? Kalian tidak harus menjadi ulama, karena yang
terpenting adalah memiliki iman yang kuat.”Terlepas dari itu semua,
Ustaz Jefri mengaku sangat bahagia. “Ini adalah kehidupan yang
sebelumnya tidak pernah saya bayangkan akan saya alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar