Manusia adalah mahluq jasmani dan
ruhani, dan karena itu wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualaitas yang
bersifat kejasmaniyahan namun lebih bersifat kualitas-kualitas moral yang hidup
dan dinamis. Hakekat proses perkembangan jiwa adalah rentetan dan susunan dari
tindakan –tindakan dan pengalaman yang tidak pernah berhenti.
Aji Setiawan
Apa yang
dinamakan sebagai Insan Kamil atau
manusia sempurna tidak akan pernah menjelma sebagai kenyataan faktual dalam diri
dan kehidupan manusia. Yang ada dan terjadi hanyalah proses penyempurnaan diri
dan tempat manusia mencoba dan berusaha membuat dirinya makin sempurna.
Ini
berarti, Insan Kamil sebagai pola
cita kepribadian sekali-kali bukan wujud konkrit dalam dunia nyata, selainkan
suati ide abstrak dalam dunia cita. Tapi itu semua sama sekali tidak berarti
proses perkemebangan jiwa tersebut dibiarkan berlangsung tanpa arah.
Bentuk
pengarahannya terletak pada gagasan moral yang mengilhami dan meneafasi proses
perkembangan jiwa mnusia tersebut. Di sini terlihat kedalaman makna peletakan al asma al husna sebagai cita moral bagi
kehidupann manusia. Allah SWT berfirman, ”Kepunyaan
Allah-lah Al Asma Al Husna (nama-nama yang agaung dan indah). Maka serulah ia
dengannya. Dan Tinggalkanlah orng yang menyalahgunakan nama-nama-Nya. Mereka
akan memperooleh balasan atas apa yang mereka kerjakan.” (QS Al A’Raaf : 180).
Adapun
yang dimaksud dengan al asma al husna menurut Muhammad Ali dalam bukunya The Holy
Qur’an hal 1180 adalah,” Nama-nama yang menampakan sifat-sifat yang paling baik
dari zat Illahi.” Sedang dengan perkataan fa
ud’uhu biha, menurutnya berarti, ”bahwa
manusia harus menyimpan sifat-sifat illahi dalam pikirannya dan berusaha
memiliki sifat-sifat tersebut, sebab hanya dengan itu dia bisa mencapai
kesempurnaan.”
Hal ini
dipertegas lagi oleh Al-Qur’an ,”Bagi mereka yang tiada beriman kepada hari
kemudian , berlaku perumpamaan kejahatan. Tapi, bagi Allah, berlaku perumpamaan
yang paling tinggi . Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS An-Nahl:
60).
Dalam
ayat di atas, Al Qur’an mengkaitkan watsal
al-su’ (sifat-sifat buruk) kepada orang-orang yang tidak beriman kepada
hari kemudian, yakni kehidupan setelah mati sebagai proses lanjutan dari
kehidupan dunia ini dan sebaliknya menisbahkan matsal al a’la (sifat-sifat luhur) kepada Ilahi.
Dengan
demikian, terdapat isyarat halus dari ayat tersebut bahwa kepribadian
orang-orang yang berhasil meningggalkan perbuatan buruk dan berusaha
menumbuhkan matsal al a’la dalam
dirinya. Atau dengan perkataan lain, menjadi kan sifat-sifat ilahi sebagai
sumber gagasan yang mewarnai kehidupan akhlaknya, sebab kata Khadja Kamal-ud
Din dalam buku The Threshold of Truth
terbitan London th 1924, ”manusia diciptakan untuk mengambil Tuhan sebagai
prototipenya dan untuk mewujudkan kembali akhlaq illahi.”
Pemancaran
kembali sifat-sifat Ilahi dalam wujud akhlaq insani diperintahkan sendiri oleh
Al Qur’an,”Berbuatlah baik sebagai mana Allah berbuat baik kepadamu dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,” (QS Al Qashash:77). Manusia
dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesamanya sebagaimana Tuhan telah telah
berbuat baik kepadanya . dan kebaikan
illahi kepada manusia dinyatakan dalam perwujudan sifat-sifat-Nya yang luhur
dan sempurna. Karena itu , kebaikan manusia terhadap sesamanya harus
dimanifestasikan dalam bentuk pelahiran dan perwujudan kembali sifat-sifat
illahi dalam kehidupan manusia sesuai dengan batas kemampuan dan alam manusia.
Dengan demikian, jelas dan pasti bahwa manusia
tidak mungkinn bisa menyamai dan menyerupai sifat-sifat ilahi itu. Namun, dalam
ketidaksempurnaannya sebagai mahlukk Tuhan, dengan meletakkan sifat-sifat
illahi sebagai gagasan dan pola kehidupan moralnya, manusia berusaha mencoba
mengarahkan proses perkembangan kepribadian.
Dan
justru dalam proses mengarahakan perkembangan pribadinya pada keluhuran dan
kesempurnaan sifat-sifdat illahi itulah manusia berhadapan dengan sumber illahi
yang tak kunjung kering untuk pembentukan kepribadiannya dalam proses yang
terus menerus dan tak kenal henti.
Perkembangan kepribadian
Insan Kamil atau manusia sempurna
hanyalah sekedar gagasan ideal dari kepribadian manusia, Menurut Al Qur’an, ini
harus dilakukan dengan menyerap sifat-sifat Illahi dan memancarkan nya kembali dalama
kehidupan antar sesama manusia. Penyerapan dan pemancaran akembali sifat-sifat
illahi ini pada hakekatnya adalah usaha pemantapan dan pemberian makna pada
keberadaan manusia bahwa ia benar-benar ada, berada dan mengada, yang hanya
mungkin terjadi dalam dalam komunikasi dan interaksi antara manausia dan keadaan
di luar dirinya.
Ide
tentang keharusan komunikasi tersebut dinyatakan Al Qur’an ,”Mereka selalu
diliputi kehinaan, di mana saja mereka ditemukan, kecuali meereka berpegang
teguh pada tali Allah dan tali manusia,” (QS Ali Imran:111).
Dari
ayat tersebut terlihat ada dua sistem hubungan yang harus dilakukan oleh
manusia dalam rangka proses penyempurnaan diri pribadinya dengan tuhan dan
hubungan manusia dengan sesamanya, yang bisa kita sebut dengan “aspek keber-agamaan” (hubungan manusia –Tuhan) dan “aspek kebersamaan”
(hubungan manusia dengan manusia).
Hidup
dalam keragaman adalah perwujudan nyata dari habl min Allah yakni hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam
keberagamaan , manusia menyatakan sifat kemahlukannya yang sangat tergantung
dengan al-Khaliq yang terwujud dalam
sikap aslama yaitu penyerahan dan
pemasrahan diri (patuh dan tunduk)
kepada Tuhan yang merupakan aspek asasi, bukan saja bagi hidup beber-agamaan
melainkan juga bagi harkat keberadaanya di dunia.
Meskipun
dalam wujud kejadian manusia terkandung aneka kemampuan batin, namun manusia
dilahirkan dalam keadaan lemah:””Allah hendak memberikan keringanan kepadamu,
dan manusia dijadikan bersifat lemah (QS An Nisaa’:28).
Aneka
kemampuan batin manusia tersebut harus ditumbuhkan dan dikembangkan dengan usaha mengenal ,
mencintai dan mengabdi kepada Tuhan hingga ia mampu menumbuhkan akhlaq illahi
dalam dirinya. Dalam pengertian tasawuf, di sini terletak arti dan makna dari
lembaga-lembaga ibadah yang diwajibkan dalam al Qur’an yang disamping merupakan
sebagai media perkembangan kesadaran dan penghayatan wujud illahi juga
mengandung riyadhah atau latihan bagi
kemampuan penguasaan diri.
Inilah
makna Al Qur’an :”Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang menciptakan kamu, supaya
kamu bertakwa,” (QS Al Baqarah:21). Dan itulah sebabnya mengapa keberagaamaan
dengan sendirinya merupakan aspek asasai bagi pengembangan nilai-nilai moral
bagi penyempurnaan kehidupan pribadi sebagai mahluk individu maupun mahluk
sosial.
Aspek
kebersamaan juga adalah salah satu prinsip dasar dari Al Qur’an, ia adalah
gagasan tentang kesatuan umat manusia:”Manusia adalah satu umat saja,” (QS Al
Baqarah :213). Tetapi di balik gagasan tentang kesatuan umat manusia tersebut,
Al Qur’an tidak mengecilkan arti dan bahkan mengakui kenyataan eksistensial
kemajemukan dan keberanekaan umat manusia. Umat manusia adalah satu dan
sekaligus majemuk, satu dalam keberagaman dan beraneka dalam kesatuan.
“Hai
manusia ! kami ciptakan kamu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan
menjadikan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujuraat : 13).
Ayat di
atas mengemukakan adanya lingkungan-lingkungan maknawi tertentu baik yang
bersifat kesukuan, kekeluargaan dan kebangsaan maupun yang bersifat
aliran-aliran pemikiran, keyakinan dan agama. Masing-masing lingkungan tersebut
mempunyai daya pengaruh yang cukup besar untuk melahirkan ikatan batin dan
tidak jarang juga ikatan fisik hingga menimbulkan proses pemiripan dan
penyerupamaan pada warga lingkungannya dalam suatu identitas kelompok.
Dan
tidak jarang bahwa daya pengaruh lingkungan demikian besarnya hingga
menimbulkan akaibat-akibat negatif, menghambat perkembangan nilai-nilai dan
identitas pribadi. Akan tetapi (QS Al Hujuraat : 13) di atas memandang
penting dan memberikan tempat yang wajar pada nilai-nilai dan identitas pribadi
dalam kebersamaan.
Dengan
perkataan lita’arafu yang berarti untuk saling kenal mengenal. Al
Qur’an menegaskan bahwa dalam komunikasi anatara manusia dengan manusia
masing-masing pihak tegak sebagai subyek dan pribadi yang utuh. Hidup
kebersamaan , menurut al Qur’an bukanlah wahana peluluhan melainkan sebagai
media pertumbuhan nilai-nilai dan identitas diri. Dalam komunikasi itu manusia
memperoleh kesempatan dan kemungkinan untuk memperkaya dan membangun jiwanya.
Menurut
Al Qur’an sifat kebersamaan antar kehidupan manusia tersebut tidak hanya harus
dimanisfestasikan dalam ta’awun atau
kerja sama (coorperation) melainkan
juga harus diwujudkan dalam istibaq
atau persaingan (competation). Al
Qur’an mengajarkan agar manusia saling bekerjasama untuk menegakkan kebajikan
dan ketakwaan dan saling bersaing dalam mengejar kebaikan (QS Al Maa-idah :
48). Dengan memberikan arti yang senilai dan searah sama pada kerja sama dan
persaingan antar manusia . Al Qur’an mmeberikan bentuk dan isi pada hidup kebersamaan yang sesuai dengan
fitrah manuisa. Kebersamaan ini diwujudkan dalam sikap yang
saling berbuat baik satu sama lain baik untuk dirinya mau pun untuk orang lain.
Perkembangan
Jiwa
Perkembangan
jiwa berlangsung menyatu dalam kesenyawaan dengan penyerapan dan pemancaran
kembali sifat-sifat ilahi yang diwujudkan dalam kehidupan keberagamaan dan
kebersamaan yang masing-masing dan bersama-sama merupakan aspek asasi bagi
keberadaan manusia. Maka hanya yang dalama hidup keberagamaan dan kebersamaan
tersebutlah manusia akan mencapai kesetabilan jiwa. Inilah yang oleh Al Qur’an
disebut al nafs al muthmainnah serupa
dengan firman Allah SWT dalam QS Al Fajar ayat 27-30: ”Hai Jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.”
Dilihat
dari segi perkembangan kejiwaan manusia maka nafs al muthmainnah dapat sepeerti diungkapkan oleh Yusuf Ali dalam
The Holy of Qur’an hal 1735 dapat
disebut sebagai tingkat terakhir dari kebahagiaan atau lebih tepat tingkat
tertinggi dari perkembangan ruhani. Dan dalam tingkat inilah manusia mencapai
dan berada dalam suasana batin “la khawf
‘alayhim wa la hum yahzanun”, yakni suasana batin di mana manusia mersakan
kebahagiaan diliputi oleh rasa aman, tentram bebas dari rasa takut dan duka
cita.
“(Tidak
demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah , sedang ia
berbuat kebajikan , maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al
Baqarah :112).
Kebebasan
batin dari rasa takut dan duka cita itulah yang harus menjadi arah perjalanan
hidup manusia di dunia ini. Hal inilah telah diisyaratkan Al Qur’an dalam kisah
kejatuhan Adam dari situasi surgawi ke situasi duniawi.
“Kami
berfirman,”Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka , dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al
Baqarah : 38).
Jika
Insan Kamil atau manusia sempurna itu hanya gagasan ideal dalam dunia cita dan
tidak akan pernah terwujud dalam dunia nyata, maka suasana batin yang “la khawf ‘alayhim wa la hum yahzanun” harus
dipandang sebagai gagasan dinamis dalam prosess perkembangan keperibdaian
manusia. Proses pengembangan kepribadian manusia adalah penyempurnaan diri
pribadi yang bersifat terus menerus dan tidak mengenal titik akhir . Ia harus
dilakukan tanpa jemu dan henti dalam keberagamaan dan kebersamaan.
Keberagamaan
dan kebersamaan bukanlah dua aspek yang terpisah satu sama lain, melainkan
harus dilihat dan didudukan dalam keutuhan hidup manuisa yang berlangsung
dinamis. Dr Mohammad Iqbal dalam The
Reconstruction of religion Thought in Islam menyebutkan manusia dan
seterusnya sebagai penerima cahaya ketuhanan , bukanlah hanya penerima pasif.
Setiap
perbuatan dari sifat ego merdeka melahirkan situasi baru, dan dengan demikian
kemungkinan lebih jauh akan menimbulkan kerja kreatif. Dan justru dari kerja
kreatif itulah manusia berusaha secara terus menerus mengembangkan keperibadian
dirinya , memperjelas kehadiran nya dan memberibentuk serta isi pada
keberadaannya sebagai mahluk yang diciptakan dalam keadaan ahsan al taqwim.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar