Oleh : Aji Setiawan
Masalah pendidikan di negara kita telah menarik perhatian berbagai kalangan, mengingat pendidikan belum bisa beranjak dari masalah-masalah dari kurang berkualitasnya para lulusan sekolah , masih banyaknya guru yang mismatch sampai kurang memadainya gaji para guru yang menyebabkan proses pengajaran mereka lakukan kurang terkonsentrasi.
Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan dengan dibuatnya undang-undang yang menjamin pendidikan yang memadai hingga peningkatan insentif guru. Tetapi masalah pendidikan itu belum kunjung reda. Dari aspek kualitas pendidikan, kita berada jauh di bawah negara-negara maju, bahkan jika kita bandingkan dengan negara tetangga kita yakni Malaysia dan Philipina. Belum lagi kalau kita tengok kepada bangsa Indonesia pendidikan semakin hari semakin merosot moralnya. Buruknya kondisi moral bangsa ini tetntunya berkaitan dengan tidak berhasilnya misi pendidikan.
Banyak orang menilai bahwa kegagalan pendidikan di negeri ini pada umumnya disebabkan kurang diarahkannya pendidikan kita pada pembentukan karakter bangsa (nation caracter building). Pengajaran di sekolah sekolah atau perguruan tinggi hanya difokuskan pada penguasaan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang diberikan. Mengenai masalah ini, pendidikan kita memang berhasil meluluskan para anak didiknya setiap tahun dari berbagai pendidikan tinggi dan sekolah, sehingga secara statistik jumlah orang pintar selalu bertambah.
Kalau pendidikan pada umumnya kurang memberi perhatian pada aspek pembentukann karakter, hal ini kelihatannya lebih ditangani oleh lembaga lembaga pendidikan agama. Sesuai dengan tradisinya, pendidikan Islam sebenarnya lebih menekankan pada aspek pendidikan karakter, seperti terlihat dari aberbagai aspek materi yang diajarkannya. Akan tetapi sekolah-sekolah agama pun sekarang ini terkesan telah meninggalkan habitatnya. Mereka justru telah meninggalkan tradisinya hanya untuk melayani kebutuhan umum yang dikelola pesantren , misalnya, sama saja dengan pembelajaran sekolah-sekolah umum yang memeberi pelajaran sekuler dengan meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan budi pekerti dan akhlak.
Sudah menjadi pemahaman umum di kalangan kaum muslimin bahwa mencari ilmu pengetahuan merupakan keharusan atau mendekati kewajiban mengingat pengetahuan manusia itu hidup dan dengan pengetahuan pula mereka mengabdi kepada Allah SWT sesuai dengan hadist Rasulullah SAW,”Mencari ilmu itu merupakan kewajiban (faridhotun) bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan”. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadist Nabi Muhammad SAW,”Carilah ilmu sejak kamu dalam ayunan sampai kamu masuk liang kubur.”
Allah SWT secara tegas memberikan penghargaan kepada mereka yang berpengetahuan dan mengangkat derajat oraang-orang yang berilmu. ”Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang –orang yang berilmu melebihi orang lainnya: QS Adzariyat : 56).
Ketinggian derajat orang yang berilmu itu jelas terlihat dalam kehidupan bermasyarakat kita. Orang-orang yang berilmu itu telah menjadi penerang dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan kita sebagai manusia. Jadi benarlah apa yang diungkapkan melalui sebuah kata ulama bahwa “ilmu itu adalah cahaya”, karena dengan ilmu lah manusia mendapat jalan terang untuk mengarungi kehidupannya. Penghargaan terhadap orang berilmu sendiri juga disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW,”khoirukum anfa’ukum linnas” (Yang paling bagus di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia).
Sejarah Islam telah memperlihatkan bahwa melalui ajarannya yang menganjurkan pencarian pengetahuan yang menyebabkan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang berbudaya tinggi (Civilized). Perkembangan pengetahuan dalam masa Islam awal telah melahirkan berbagai macam ahli yang kemudian bisa menerangi dunia dengan pengetahuannya.
Dengan berbagai tuntutan yang dikemukakan di atas, apa yang disodorkan oleh Islam sebenarnya bisa disederhanakan pada apa yang disebut “longlife education”. Ini berarti bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya pembelajaran di dalam kelas , di mana para murid mendapatkan pengetahuan dari para guru. Pendidikan dalam Islam haruslah dijadikan sebagai media pembentukan watak dan karakter, sehingga anak didik tidak hanya pintar, tetapi juga berperadaban secara pengetahuan atau berakhlaq. Akhlaq itu bukan hanya aspek moralitas tingkah laku atau sopan santun manusia, tetapi juga menyangkut sikap , pandangan atau bahkan karakter seorang muslim.
Dengan demikian, pendidikan adalah totalitas pembentukan manusia supaya berguna bagi sesamanya dengan mempunyai akhlaq yang tinggi. Imam Gozali merumuskan akhlaq sebagai potensi yang dipunyai manusia dalam kaitan manusia berperan sebagai khalifatul fil ardhi. Potensi ini harus diarahkan agar bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Pendidikan, sekali lagi harus dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, yakni ketika pendidikan mampu membentuk manusia-manusia yang tidak hanya pintar tapi juga berakhlaq atau berperadaban. Sering dikatakan orang bahwa menjadi orang pintar itu gampang, sebab dengan disekolahkan orang akan menjadi pintar, artinya mempunyai pengetahuan. Yang tidak mudah adalah membentuk manusia pintar dan berakhlaq.
Imam Ghozali membedakan akhlaq itu ke dalam akhlaq karimah dan akhlaq madzummah. Ahlaq karimah adalah potensi manusia yang direalisasikan dalam kehidupan nya yang memberi manfaat bagi sesama manusia. Sedangkan akhlaq madzummah itu muncul ketika potensi manusia tidak memberikan manfaat bagi manusia. Jadi dalam hal ini akhlaq tidak diartikan semata-mata sebagai sopan santun, tetapi sebagai peradaban.
Akhlaq itu adab sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW,”addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”. Memang berbeda Rasulullah SAW yang mengajari akhlaq beliau adalah Allah SWT sehingga ta’dib nya tentu sempurna. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang berakhlaq mulia. Jadi ahlaq mulia itu tidak hanya berkaitan dengan sopan santun tetapi juga sikap dan karakter manusia yang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi umat manusia.
Misi pendidikan
Ada dua konsep penting yang berkaitan yang berkaitan dengan keberadaan manusia yang karenanya pendidikan yang kita lakukan juga diarahkan ke sana. Konsep itu terangkum dalam firman Allah SWT,”wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun”, yang artinya adalah, ”tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah Ku”. Perintah Allah SWT mengharapkan manusia agar menjadi hamba yang Islam (yang taat) yang melaksanakan perintah-Nya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam perintah Allah SWT ini bersifat universal. Artinya hal itu berkaitan dengan ukuran yang sama dirumuskan oleh manusia. Al Qur’an dalam hal ini mendorong manusia agar menjadi khalifatullah (khalifah Allah) di bumi yang berarti menjadi hamba Allah yang mengurusi kehidupannya dan kehidupan manusia lainnya. “mengurusi” itu mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti menjadi pemimpin manusia juga mengekplorasi rahasia alam dan lainnya untuk kepentingan umat manusia.
Karena itulah dalam pendidikan Islam anak didik itu dengan pengetahuannya diarahkan untuk mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya. Dengan berilmu manusia itu dibebani untuk membantu sesamanya dan menciptakan tidak saja masyarakat yang religius tetapi juga masyarakat yang makmur, tidak kekurangan.
Jadi misi pendidikan tidak saja membentuk kesalehan individu menjadi abdullah (hablum minallah) belaka namun juga kesalehan sosial di mana seorang manusia juga dituntut menjadi manusia yang baik secara sosial (kholifatullah). Dalam konsep kholifatullah itulah dimensi akhlaq mendapatkan tempat, karena salah satu aspek yang harus dipenuhi manusia untuk menjadi khalifatullah yang berhasil adalah masalah keberadaban (akhlaq).
Pemenuhan kedua konsep di atas adalah bentuk ekspresi dari keimanan dan keislaman umat Islam. Islam itu memang berkaitan dengan masalah akidah dan syariah, yang menuntut manusia untuk mempersembahkan keimannya kepada Allah SWT serta memberikan ketaatannya atas aturan –aturan Nya. Sepertti sering dinyatakan dalam ajaran Islam sendiri, pencapaian keduanya haruslah seimbang dalam artian tidak ditinggal salah satunya, karena keduanya yakni hablumninnallah dan hablumminannas merupakan hal yang saling berkaitan dengan keislaman itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan, pengenalan kedua hal itu harus ditekankan karena keduanya menjadi sumber pembentukan karakter para siswa. Jadi, pendidikan Islam itu membentuk kesalehan secara menyeluruh. Orang yang saleh itu bukan hanya yang taat beribadah, tetapi juga harus peduli dengan masalah kehidupan sosial manusia. Dengan kata lain, kesalehan yang harus dibentuk melalui pendidikan keagamaan juga kesalehan sosial dan kesalehan religius.
Orang yang taat sholat di masjid harus juga menjadi orang yang peduli lingkungan dan orang yang mengikuti aturan sosial yang berlaku. Di jalanan, misalnya, orang yang saleh itu harus menjadi pengendara yang baik, mentaati semua peraturan lalu lintas, karena melakukan hal itu juga bagian dari keharusan agama, yakni menjadi khalifah di muka bumi. Memang banyak nilai-nilai dan ajaran Islam yang mendorong manusia untuk beradab tadi.
Misi pendidikan Islam sebaiknya diarahkan bagi terbentuknya manusia yang mengabdi kepada Allah SWT dengan juga melakukan masalah keduniawiyannya sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah SWT. Jangan sampai pendidikan yang dilakukan melulu untuk mencerdaskan bangsa dengan tanpa mengasah unsur spritualnya.
Demikian juga kurang sempurna pendidikan hanya bagi pembentukan spiritual manusia dengan melupakan maslaah-masalah duniaawi di mana manusia sendiri hidup. Penggabungan keduanya menjadi keharusan, sebab disamping hamba yang taat menjadi kekasih Allah SWT, tetapi juga menjadi khalifah di muka bumi yang mendapatkan nilai lebih dari Allah SWT. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar