Oleh
: Aji Setiawan
Kerusuhan
massa di Indonesia telah banyak menelan korban jiwa dan harta benda.
Kasus Mesuji, Bima, Ternate, Ambon, Temanggung ambilah suatu contoh
kasus –kasus yang masih tersisa akhir-akhir ini. Kerusuhan biasanya
dimulai dari konflik antarwarga masyarakat yang dipicu masalah
sepele,
saling ejek dan mencemooh.
Kemudian membesar dengan adanya provokator yang ingin mengambil
keuntungan. Namun kerusuhan terus terjadi dalam masyarakat tanpa
pemerintah dan aparat menanggulanginya. Apakah kekerasan dan
pelanggaran hukum dalam era sekarang ini telah menjadi budaya bangsa
untuk menyelesaikan masalah?
Pelbagai
amuk massa, kekerasan dan kerusuhan yang diikuti agresifitas massa
melakukan penjarahan, pembakaran dan tindak kekerasan yang terjadi
akhir-akhir ini di tanah air sungguh memprihatinkan. Masih kita ingat
di penghujung tahun 1997 konflik bernuansa SARA begitu mudah menyulut
kerusuhan dari ujung Sabang sampai Merauke. Namun peristiwa amuk
massa ini ternyata tidak saja berhenti begitu reformasi bergulir,
sisa-sisa konflik paergantian rejim orde baru ke orde reformasi
ternyata juga masih menyisakan masalah.
Semua
peristiwa tersebut akhirnya menimbulkan spekulasi tentang apa, siapa
, mengapa dan tujuan yang dicapi dari latarbelakang pelbagai
kerusuhan dengan adanya pendapat adanya provokator yang mengatasi
massa agar menjadi beringas melakukan amuk massa. Keadaan ini
didorong pula dengan munculnya pelbagai isu yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, ketika rakyat masih dihadapi krisis moneter ,
kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi dazn budaya dalam kehidupan
masyarakaat Indonesia, seolah-olah semakin mengukuhkan spekulasi
tersebut.
Pelbagai
diskusi dan pendapat dilontarkan untuk mencari akar masalah amuk
massa ini. Namun sampai sekarang tidak ada satu pun dapat
mengungkapkan siapa sesungguhnya dalang di balik kerusuhan itu.
Pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan gamblang menuding
semua ini adalah ulah provokator tanpa mampu menyeret ke depan meja
hijau. Benang kusut yang melilit persoalan ini tampaknya begitu rumit
dan kompleks diungkapkan dalam waktu singkat. Anehnya, kerusuhan yang
bermotifkan ekonomi antara pihak kepentingan pemodal versus rakyat di
sisi lain dengan membenturkan aparatus keamanan (kepolisian) dengan
rakyat ini terus terjadi tanpa pemerintah Indonesia mampu
menanggulanginya dengan menelan korban jiwa dan harta benda yang
tidak dapat dihitung banyaknya dengan tetap menyembunyikan akar
masalah kerusuhan dan amuk massa melalui simpul-simpul realitas
sosial.
Jika
diperhatikan lebih jauh, pelbagai kerusuhan dan agresifitas massa
merupakan fenomena (gejala) sosial yang rill dalam kehidupan bangsa
yang sedang mengalami perubahan. Artinya, setiap bentuk kerusuhan dan
pelanggaran hukum di negeri ini dapat saja terjadi dalam waktu
singkat, antara lain karena adanya perubahan hukum disebabkan
pengaruh akulturasi internal (Soekanto: Antropologi Hukum 1984).
Secara langsung orang dapat merasakan akibat kerusuhan yang
meninggalkan luka cukup peduli dengan penderitaan para korban menjadi
pengungsi, kehilangan tempat tinggal, harta benda, saudara, orang tua
dan anak-anak bagi kehidupan masa depan mereka.
Sebuah
gejala sosial dengan dimensi hukum yang memiliki jangkauan pengaruh
cukup luas terhadap kehidupan masyarakat. Kerusuhan merupakan suatu
bagian integral sisa kebudayaan lama dalam antropologi hukum dari
masalah dan konflik suatu bangsa (Pospisil, Leopold, 1968). Bukan
saat ini saja tapi juga masa depan bangsa yang tercabik-cabik dengan
adanya pertikaian yang dipicu masalah sepele dengan akibat sangat
mengenaaskan hati. Sampai jauh ke depan peristiwa kerusuhan di
berbagai daerah ini akan menggoreskan tinta hitam bagi perjalan hidup
bangsa Indonesia yang menggambarkan adanya budaya kekerasan dalam
kehidupan masyrakat yang multietis dan multikultural ini.
Timbul
pertanyaan, mengapa bangsa kita begitu mudah melakukan kekerasan
ataukah kekerasan telah menjadi budaya bangsa? Apakah pendekatan
hukum oleh aparat keamanan tidak mampu mengungkap dalang dan latar
belakang kerusuhan? Bagaimanakah mencari akar masalah kekerasan
dengan terjadi nya kerusuhan tersebut?
Masyarakat
Anomie
Satu
hal yang menjadi pusat perhatian dengan merebaknya pelbagai kerusuhan
dan amuk massa adalah mencari sumber latar belakang kerusuhan
tersebut di ruang pengadilan dan menyeret pelaku kerusuhan untuk
mengungkap dalang atau provokator sebenarnya.
Untuk
mengungkapnya dapat dilacak dalam setiap gejala sosial yang ada dapat
berkembang menjadi fakta hukum untuk terjadinya kegiatan kejahatan
yang mengandung asumsi adanya motif dan peran individual atau
kelompok menggerakan suatu peristiwa pidana sebagai pokok persoalan
terjadinya suatu kejahatan, ini berarti setiap keruhan yang
menimbulkan kejahatan dalam kehidupan manusia selalu ada latar
belakang menyebabkan terjadinya peristiwa pidana yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan sebagai faktor pencetus suatu pelanggaran hukum.
Alasannya sangat
sederhana. Sangat kecil kemungkinan bahwa suatu pelanggaran hukum
terjadi begitu saja tanpa ada yang memicunya atau pencetus dari suatu
relasi sebba akibat dengan terjadinya kerusuhan tindak kriminal
murni, tapi juga memiliki unsur politis dan ekonomi dengan adanya
perbedaan kesenjangan ekonomi, sosial dan dominasi budaya suatu etnis
terhadap etnis lain yang sengaja ditiupkan agar terjadi kerusuhan.
Selama ini bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan santun dan pemaaf.
Terjadinya perubahan demi perubahan di negeri ini banyak menyebabkan
sifat tersebut di atas hilang dalam sekejap mata. Bangsa ini terpuruk
pada sifat aslinya yang pemberang dan kejam. Perilaku suku terasing
saja, Malanesia yang hidup liar dan nomaden di kepulauan Trobriand
Papua Nugini saja masih menjunjung tinggi tertib sosial dan menjauhi
tindak kekerasan. Mereka memiliki semangat kelompok dan solidaritas
kebanggaan atas kelompok dan keturunan. Tertib sosial dapat
dipelihara dengan baik dalam suku tersebut, hukum primitif tidak
melulu larangan negatif berupa hukum pidana, tapi juga mengandung
tertib sosial dalam kebudayan mereka yang sederhana.
Dalam teori
sosiologi, ada pandangan mengasumsikan bahwa kejahatan dalam
masyarakat disebabkan oleh faktor tidak ditaatinya hukum dan undang
undang yang berlaku, karena masyarakat itu dalam anomie (Durkim:
1964) yang menggambarkan keadaan tanpa aturan atau deregulasi dalam
masyarkat. Keadaan deregulation,
menurut Durkeim diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang
terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tahu apa yang diharapkan
dari orang lain.
Keadaan masyarakat
tanpa aturan atau undang-undang sering menimbulkan konflik dalam
kehidupan sosial, karena ada dorongan orang untuk melakukan
penyimpangan yang melanggar hukum (Becker: 1966). Konflik itu
sebenarnya sudah dipelihara sejak lama, namun belum membesar dan
hanyakonflik kecil-kecilan --semacam tawuran antar warga di Jakarta--
misalnya.
Namun konflik ini
kemudian bisa merebet dan membesar dan akhirnya meletus sebagai
kerusuhan akibat krisis kepercayaan masyarakat dengan sistem hukum
yang diskriminatif dan tidak mencerminkan penegakkan hukum yang sama.
Sementara masyarakat melihat dengan mata telaanjang adanya perbedaan
perlakukan di depan hukum bagi mereka yang memiliki kekuatan politis
dan ekonomis (mantan pejabat, pejabat dan konglomerat) dengan rakyat
biasa yang melanggar hukum.
Melihat sosiologis
masyarakat sekarang, maka ada tiga penyebab orang melakukan
kerusuhan. Pertama, mereka menganggap dirinya merupakan alat dari
kaum kelas berkuasa yang dapat diperlakukan seenaknya. Artinya hak
untuk mmeperoleh keadilan bagi kelas tertindas sudah tidak ada lagi
dengan eksploitasi kekuasaan oleh pihak berkuasa. Kedua, mereka
melihat semua kerusuhan sebagai jalan untuk merebut kekuasaan dari
pencerminan sikap individualisme dan kompetisi warga yang ingin
berkuasa. Ketiga, perebutan kekuasaan dengan kekerasan termasuk
melakukan kerusuhan adalah perbuatan legal untuk mencapai semua
tujuan.
Arus sosial semacam
ini yang berwujud kemarahan atau luapan emosi yang tak terkendali dan
menghanyutkan massa dalam melakukan tindak kekerasan merupakan luapan
kemarahan sesaat, sementara. Kemarahan itu akann terhenti jika
diperoleh solusi atau pemecahan masalah yang tepat oleh para
pengambil keputusan. Namun, semua muara dari kerusuhan itu tidak lain
adalah perlakuan tidak adil atau diskriminatif dalam penerapan hukum
atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang ekonomi,
politik, sosial budaya.
Apa pun bentuknya,
kekerasan harus dikutuk habis-habisan. Suatu sistem budaya yang
dianut dengan kekerasan dalam menyelesaikan masalah tentu akan
menyebabkan suatu maslaah baru, yakni tindak kekerasan itu sendiri.
Karena itu perlu bangunan sistem budaya baru, tanpa kekerasan yang
berperan sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia sebagai
pedoman kehidupan; norma-norma, hukum dan aturan.
Upaya keras
penegakan hukum perlu dibuktikan dengan kesungguhan aparat pemerintah
untuk melakukan penegakan hukum (law
enforcement)
terhadap mereka yang melakukan tindak kejahatan dan kerusuhan.
Penegakan hukum itu akan berhasil bila (1) Hukum atau peraturan
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan hukum rakyat yang mendambakan
keadilan; (2) mentalitas petugas penegak hukum harus baik; (3)
Fasilitas kerja aparat hukum yang memadai; (4) Kesadaran dan
kepatuhan hukum serta perilaku masyarakat dan apararat keamanan yang
mau bersungguh-sungguh dalam menegakan hukum dan HAM secara konsisten
dan konsekwen.
Kalau persyarakat
tersebut dipenuhi, maka masalah kerusuhan akan dapat ditanggulangi
untuk meniptakan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu. Upaya
melakukan kerukunan antar warga dan golongan diantara masyarakat
dapat dilakukan melalui jalur silaturahmi, dialog dan rekonsiliasi
yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dibantu pemerintah dan
aparat keamanan. Kegiatan ini hendaknya melembaga dari mulai grass
root
sampai lapisan atas sehingga mampu mencairkan suasana rasa permusuhan
dan menyelesaikan perselisihan antar warga masyarakat kita.
Kita memerlukan
masyakarat yang menjunjung tinggi solidaritas organik, hukum yang
berlaku bersifat hukum restitutif (memperbaiki) dari budaya
masyarakat bukan hukum yang otoriter dan restruktrif. Artinya, hukum
yang muncul adalah sesuai aspirasi rakyat dan ditegakan dengan
otoritas moral aparat penegak hukum yang baik serta pemerintahan yang
bersih dan berwibawa bebas KKN.
Untuk menata kembali
kehidupan masa depan bangsa diperlukan juga tipe hukum responsif
denga kebutuhan hukum masyarakat yang menginginkan keadilan bagi
semua orang tanpa perlakuan diskriminatif. Semoga Indonesia kembali
menjadi Indonesia yang aman , damai, adil dan makmur! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar