REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Aji Setiawan
Suatu ketika
Nabi Muhammad SAW telah bersumpah akan berpisah dengan istri-istrinya
selama satu bulan sebagai peringatan bagi mereka. Selama sebulan beliau
tinggal seorang diri dalam sebuah kamar sederhana yang letaknya agak
tinggi.
Terdengar kabar di kalangan para sahabat, Nabi telah
menceraikan semua istrinya. Ketika Umar bin Khathab mendengar kabar ini,
segera ia berlari ke masjid. Setiba di sana, dia melihat para sahabat
sedang duduk termenung, mereka bersedih dan menangis.
Kaum wanita
juga menangis di rumah-rumah mereka. Kemudian, Umar pergi menemui
putrinya, Hafsah yang telah dinikahi Nabi. Umar mendapati Hafsah sedang
menangis di kamarnya.
Ia bertanya kepada Hafsah, “Mengapa engkau
menangis? Bukankah selama ini saya telah melarangmu agar jangan
melakukan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Nabi?” Hafsah tak
menjawab apa-apa, ia terus menangis.
Umar kembali ke masjid.
Terlihat olehnya beberapa orang sahabat sedang menangis di mimbar.
Kemudian, ia duduk bersama para sahabat, lalu ia berjalan ke arah kamar
Nabi Muhammad yang terletak di tingkat atas masjid.
Umar
mendapati Rabah dan dia minta izin untuk menemui Nabi. Rabah menghampiri
Nabi dan memberitahukan bahwa dia telah menyampaikan pesan Umar apakah
bisa menemuia beliau. Tapi, Nabi hanya diam tanpa menjawab
pertanyaannya.
Permintaan untuk menjumpai Nabi diulang. Baru
setelah permintaan yang ketiga kalinya, Nabi Muhammad mengizinkan Umar
naik ke atas. Ketika Umar masuk, dia menjumpai Nabi sedang berbaring di
atas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma.
Terlihat
jelas bekas daun kurma pada badan Nabi yang putih bersih. Di tempat
kepala beliau ada sebuah bantal yang terbuat dari kulit binatang yang
dipenuhi oleh daun dan kulit pohon kurma.
Selepas mengucapkan
salam kepada beliau, Umar bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan
istri-istri engkau, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Tidak.”
Umar
sedikit lega, sambil bercanda ia mengatakan, “Ya Rasulullah, kita adalah
kaum Quraisy yang selamanya telah menguasai wanita-wanita kita. Tetapi,
setelah hijrah ke Madinah, keadaannya sungguh berbeda dengan orang
Anshar. Mereka telah dikuasai wanita-wanita mereka, sehingga
wanita-wanita kita terpengaruh dengan kebiasaan mereka.”
Nabi SAW
tersenyum mendengar perkataan Umar. Umar lalu memperhatikan keadaan
kamar Nabi. Terlihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan
sedikit gandum di sudut kamar itu, selain itu tidak terdapat apa pun.
Umar
menangis sesenggukan melihat keadaan Nabi yang seperti itu. Tiba-tiba
Rasulullah bertanya kepada Umar, “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana
saya tidak menangis, ya Rasululah. Saya sedih melihat bekas tanda tikar
yang engkau tiduri di badan engkau yang mulia dan saya prihatin melihat
keadaan kamar ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada tuan bekal yang
lebih banyak,” jawab Umar.
Ia mengatakan, orang-orang Persia dan
Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah, raja mereka hidup
mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang di tengahnya mengalir sungai,
sedangkan Rasul, hidup dalam keadaan sangat miskin.
Mendengar
jawaban Umar, Rasulullah berkata, “Wahai Umar, sepertinya engkau masih
ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kenikmatan di alam akhirat tentu akan
lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini.”
Beliau
menambahkan, jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini,
umat Islam pun akan memperoleh segala kenikmatan tersebut di akhirat
nanti. Di sana, kita akan mendapatkan segala-galanya.
Mendengar
sabda Nabi, Umar menyesal. Lalu, ia berkata, “Ya Rasulullah, memohonlah
kepada Allah SWT untuk saya. Saya telah bersalah dalam hal ini.”
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/09/05/msmwx1-kehidupan-yang-zuhud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar