Kamis, 05 Mei 2011
Ponpes Darussalam Bukateja Kab Purbalingga
Dunia pesantren sini dikenal sangat teguh dalam mempertahankan ajaran ahlussunah Waljama’ah. Salah satunya adalah pesantren Darussalam Desa Cipawon Kecamatan Bukateja Kabvupaten Purbalingga Jawa Tengah
Dusun Kembaran, Desa Cipawon, demikian sebuah kampung kecil di sebelah utara Sungai Serayu, adalah daerah yang mudah dijangkau dari kota Purbalingga. Jaraknya kurang lebih lima belas kilometer. Walau terletak di pelosok timur Purbalingga bagian timur, di daerah yang terkenal dengan penghasil bunga melati gambir ini juga terdapat sebuah pesantren salaf yang banyak diminati santri dari berbagai daerah di sekitar Purbalingga, bahkan dari luar daerah.
Berdirinya Pesantren Darussalam ini karena pesan dan perintah sang guru besar, Al-Maghfurlah K.H. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blok Agung, Banyuwangi, Jawa Timur, kepada K.H. Abdul Ghofur Arifin. Ia memerintahkan sang murid, yang kebetulan menjadi khadamnya selama bertahun-tahun sehingga banyak mendapatkan pelajaran khusus dan pesan-pesan penuh makna, untuk mendirikan sebuah pesantren.
Berbekal pesan-pesan dan ilmu dari sang guru, K.H. Abdul Ghofur Arifin kemudian mendirikan sebuah majelis ta’lim untuk kalangan muslimat pada tahun 1983. Lambat laun majelis ta’lim itu semakin berkembang dan banyak diminati dan diikuti masyarakat sekitar.
Setahun kemudian, didirikanlah pesantren yang pada awalnya dinamai Darul Muttaqin. Selang satu tahun, sang guru, K.H. Mukhtar Syafaat, berkunjung dan memerintahkan agar pondok pesantren yang baru di rintis itu dinamai Darussalam.
Dengan semakin berkembang syiar dan dakwah Ponpes Darussalam, Dusun Kembaran Desa Cipawon kecamatan Bukteja Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah pun semakin harum namanya. Santri juga semakin lama semakin bertambah banyak. Untuk mengimbangi jumlah santri yang terus bertambah, pengelola terus membangun sarana dan prasarana pesantren, seperti asrama, aula, ruang kelas, dan lain-lain.
Jenjang Pendidikan
Para santri baru, masuk jenjang pendidikan ibtidaiyah (sifir) selama tiga tahun.”Ini dimksudkan untuk membuat pondasi agar terjdi kesinambungan belajar bagi santri yang akan meneruskn pendidikan berikutnya, sekaligus mencetak kader muslim awam yang terampil serta memahami betul cara beribadah dan bisa melakukannya dengan benar. Setiap santri diharapkan mengetaahui mana yang wajib, sunnah, mubah dan haram yang berarti pula telah terpenuhi tholabul ilmi’ fardhu ‘ain nya . Lulus ibtidaiyah setiap santri bisa masuk ke jenjang berikutnya. yakni ke tingkat atasnya, tsanawiyah, selama empat tahun.
Di program tsanawiyah ini targetnya adalah ,”Mencetak siswa bisa menjadi guru dan pimpinan di daeraahnya maasing-masing. Karenanya, setiap santri diupayakan agar memahami semua bidang ilmu agama yang ada dan mampu memahami kitab-kitab salaf dengan sedikit ketergantungan dengan orang lain atau bisa mandiri sendiri. Pada program tsanawiyah ini, setiap santri ditargetkan mengerti hukum Islam dan mampu mengkaji masalah-masalah baik ubudiyah, muamalah yang kerap terjadi dalam masyarakat luas,” kata KH Abdul Ghafur Arifin.
Lepas dari tsanawiyah, para santri melanjutkan ke tingkat tertinggi, yakni Madrasah Islamiyah Salafiyah Al-Amiriyyah, setingkat aliyah. Dalam program ini, setiap santri memperdalam ilmu alat (gramatika bahasa Arab), yakni nahwu dan sharaf. Selain itu, santri pada jenjang ini diupayakan mampu men jadi rujukan siswa jenjang sebelumnya dimana setiap santri benar-benar bisa menguasaii dan memahami ilmu-ilmu alat di atas. Sehingga setiap santri ditargetkan mampu menjawab masalah-masalah waqiiyah ataupun yang jarang terjadi bahkan masalah-masalah yang mungkin belum diterangkan oleh ulama salaf secara shorih/jelas serta mampu mepertahankan ajaran ahlussunnah wal jama’ah sekaligus dapat meng counter paham-paham lain yang tidak sesuai. Untuk itu pelajaran “gramatika” bahasa Arab dan ilmu alat sangat ditekankan pada jenjang ini.
Setamat dari madrasah tersebut, santri yang ingin memperdalam ilmu agama (fiqih) masuk program Jami’yatul Musyawaroh Riyadlatut Tholabah. Meraka adalah santri-santri yang sudah menguasai nahwu dan sharaf, untuk memperdalam kitab kuning.
Dalam forum tersebut, para santri dituntut untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi secara mandiri, dengan menggunakan kitab kuning sebagai pedoman. “Diharapkan, nantinya bila terjun ke masyarakat, mereka akan mampu menjawab dan menyelesaikan masalah yang dihadapi,” kata sang pengasuh.
Di pesantren yang bersendikan pendidikan salaf ini, hampir seluruh waktu santri dipergunakan untuk belajar, baik belajar formal mau pun informal.
Para santri pemula diwajibkan mengikuti pengajian kitab Fathul Qarib dan Ta’limul Muta’alim, yang diajarkan langsung oleh pengasuh. Sedangkan santri tingkat yang lebih tinggi diwajibkan mengaji kitab yang tingkatannya juga lebih tinggi, yakni Ihya Ulumiddin, Tafsir Quran, Fathul Wahhab, Fathul Mu’in, Iqna, dan lain-lain. Pada jenjang tertinggi, pesantren ini melengkapi kajian ilmu tasawuf yang diajarkan langsung oleh pengasuh pondok pesantren dengan menggunakan kitab Ihya Ulumiddin. “Pengajian ini dimaksudkan agar berimbang antara ilmu dhohir dan batin. Ojo ngasi kelemon ilmu njobone (Jangan sampai kebanyakan ilmu luarnya (umum),” kata pengasuh pondok pesantren. Karenanya di pondok ini para santri juga dilatih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berusaha meneladani Rasulullah Kanjeng Nabi SAW dengan ibadah qiyamulail, mujahadah dan riyadoh-riyadoh lainnya.
Untuk menambah bobot pengajian, dalam pelajaran juga masih ada pengajian yang diberikan oleh santri senior yang sudah mampu. Pengajian ini mengambil celah-celah waktu senggang santri. Semua sistem yang dipergunakan adalah model bandongan, yakni guru membaca kitab, para santri kemudian memberi makna gandhul (bahasa Jawa), atau model sorogan, yakni santri membaca kitab secara aktif yang dibimbing oleh santri senior.
Diharapkan bisa Mandiri
Tidak sebagaimana sekolah atau universitas yang menggunakan kalender Masehi sebagai patokan dalam memulai aktivitas belajar, di pesantren ini digunakan patokan tahun Hijriah, baik untuk pendidikan madrasah maupun pondok. Hari-hari efektif dimulai pertengahan bulan Syawal. Sedangkan ujian pertengahan tahun pada awal bulan Rabi’ul Awwal (Maulid).
Setelah ujian selesai, para santri memperoleh libur selama seminggu. Biasanya waktu libur itu dipergunakan untuk menengok keluarga di kampung halaman masing-masing santri. Ujian akhir diadakan pada bulan Rajab.
Memasuki bulan Ramadhan, pesantren ini biasanya menyelenggarakan pesantren kilat (pasaran/puasanan) yang terbuka untuk santri dan masyarakat umum. Seluruh rangkaian kegiatan belajar santri kemudian ditutup dengan acara Haflatut Tasyakur (acara tutup tahun).
Selain kegiatan wajib, para santri juga dianjurkan untuk mengikuti aktivitas lain yang menambah wawasan dan pengetahuan santri, seperti membaca surah Tahlil dan Ya-Sin, muhafazhah (hafalan pelajaran), Maulidan (membaca Ad-Di’bai), mujahadah, latihan khitabah (pidato), bahtsul masa’il, dan lain-lain.
Di samping itu, untuk bekal santri setelah bermukim di kampung halaman masing-masing, santri juga diajari keterampilan bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. Diharapkan, nantinya santri bisa hidup mandiri setelah kembali ke masyarakat. Sampai saat ini pesantren ini telah mendidik kurang lebih sekitar 1.700 alumnus yang berkiprah di tengah masyarakat luas dalam bidang agama, sosial, dan pemerintahan.
Kini di pesantren ini ada sekitar 150 santri, putra dan putri, yang tersebar di asrama pondokan yang berdiri di atas lahan sekitar satu hektare. Sumbangannya sungguh besar dalam mendidik dan membina generasi yang kukuh, tangguh, dan mampu berperan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Aji Setiawan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar