Oleh : Aji Setiawan
Bulan Sya’ban adalah bulan yang diagungkan oleh Allah SWT. Banyak sekali keistimewaan bulan Sya’ban. Di dalam bulan Sya’ban selain sebagai bulan persiapan untuk masuk bulan Ramadhan atau sebagai bulan taqarub kepada Allah SWT. Dinamakan bulan Sya’ban karena di sana amat banyak kebaikan. Sya’ban diambil dari lafadz “Asy-Syibi”, disebut jalan menuju gunung, dan inilah yang disebut jalan menuju kebaikan.
Diriwayatkan melalui Abu Umamah al Bakhili ra. Rasulullah SAW bersabda,”Bilamana datang bulan Sya’ban, maka bersihkanlah dirimu dan perbaiki niatmu.”
Adalah Aisyah ra pernah berkata,”Aku belum pernah melihat Nabi Muhammad SAW menyempurnakan puasanya sebulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku pun belum pernah melihat beliau berpuasa sebulan lebih kecuali berpuasa di bulan Sya’ban.
Dalam riwayat lain,”Beliau Nabi Muhammad SAW berpuasa apenuh pada bulan Sya’ban kecuali sedikit.” Riwayat ini menjelaskan riwayat pertama, jadi yang dimaksud “penuh” ialah sebagian besar.
Dijelaskan, sesungguhnya para malaikat di langit punya dua malam hari raya, sebagaimana orang-orang Islam di bumi punya dua malam hari Raya. Dan hari raya para malaikat adalah malam “pembebasan,” yakni malam Nisfu Sya’ban dan malam Laitul Qodar. Dan hari rayanya orang-orang mukmin ialah hari Idul Fitri dan Idul Adha.
Imam Subukiy menuturkan dalam tafsirnya,”Sesungguhnya malam Nisfu Sya’ban bisa menutup dosa-dosa setahun, malam Jum’at bisa menutup dosa seumur hidup”. Maksudnya jika kita menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah.
Imam Ghozali dalam Mukasyifil Qulub menamakan bulan Sya’ban karena di bulan tersebut memiliki beberapa kebaikan. Kata asy-si’bi berarti jalan kebaikan. Sya’ban berarti juga bulan Rasulullah karena di bulan itulah, Rasulullah SAW bermunajat di kompleks makam Janatul Baqi’, Madinah. Ketika itu dikisahkan Rasulullah SAW pergi begitu saja saat sedang bercengkrama dengan Aisyah ra.
Maka Sayidatina Aisyah ra bergegas mencari sang suami ke rumah para istri beliau. Namun, Rasulullah SAW tidak diketemukan. Dalam perjalanan pulang, ia melewati Janatul Baq’i dan melihat Rasulullah SAW diketemukan tengah memohon ampunan kepada Allah bagi para syuhada dan kaum mukmin.
“Demi ayah dan ibuku, sungguh aku telah berprasangka buruk. Ternyata kekasihku sedang dalam keadaan membutuhkan pertolongan Sang Pencipta, sementara aku dalam keadaan membutuhkan dunia...” demikian kata Aisyah dalam hati sembari menangis tertahan. Ia lalu bergegas pulang, dan tak lama kemudian Rasulullah SAW pun pulang.
Melihat Aisyah ra termangu bersedih. Rasulullah SAW bertanya ,” Ada apa denganmu, hai humaira (wajah yang kemerah-merahan, demikian Rasulullah SAW memanggil Aisyah dalam keseharian beliau -red)?”
Maka jawab Aisyah yang berwajah ayu dan berpipi kemerah-merahan itu menjawab,”Demi ayah dan ibuku, wahai kekasihku...Ketika kita tengah bercumbu, mendadak engkau pergi. Aku cemburu dan mengira engkau menemui istrimu yang lain. Lalu aku melihat engkau bersujud di Baqi.”
“Istriku tersayang, engkau khawatir Allah dan Rasul-Nya akan menghianatimu? Ketahuilah keetika itu Jibril as datang dan berkata,’Ini adalah malam Nisfu Sya’ban. Allah SWT tengah memerdekakan orang-orang dari api neraka. Di malam ini, Alloh tidak melihat orang musyrik, orang yang bermusuhan, orang yang memanjangkan baju hingga menyentuh tanah (sombong), orang yang durhaka kepada orang tua dan orang yang selalu minum minuman keras.’ Maka izinkan aku wahai istriku, untuk shalat pada malam ini,” kata Nabi Muhammad SAW sambil memandang Asiyah ra dengan mesra.
Dengan ikhlas, Aisyah ra pun menjawab,”Silahkan wahai utusan Allah...”
Rasulullah SAW lalu menunaikan shalat dan melakukan sujud sangat lama, sehingga Aisyah mengira sang suami telah wafat. Karena khawatir, ia lalu menyentuh telapak kaki beliau yang terasa masih hangat dan bergerak-gerak.
Dalam sujudnya, Rasulullah SAW berdoa,”Aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dengan keagungan-Mu. Aku tidak mampu memuji-Mu seperti Engkau memuji diri-Mu sendiri.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar