Rabu, 11 Mei 2011
Kita Harus Tolerans dalam ber- Dakwah Islam
Toleransi dalam Dakwah Islam
Islam bukan hanya untuk bangsa Arab, tapi sebagai rahmat bagi alam semesta. Maka, ketika para dai berdakwah, mereka selalu mengedepankan toleransi.
Setelah sebagian besar Jazirah Arab berhasil diislamkan, tak lama kemudian Rasulullah SAW merintis dakwah ke empat penjuru, dengan mengutus empat sahabat yang tepercaya. Utusan pertama Zaid bin Haritsah yang memimpin sebuah pasukan ke Mu’tah. Rasulullah SAW mengirim Zaid lengkap dengan pasukan, karena utusan sebelumnya yang membawa surat untuk Gubernur Basrah dibunuh. Ketika itu Basrah dikuasai Romawi.
Sebelumnya, Rasulullah SAW juga telah mempersiapkan sebuah pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid bin Haritsah untuk menghadapi tentara Romawi. Namun, tugas Usamah baru terlaksana di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Shidiq, beberapa waktu setelah Rasulullah SAW wafat.
Ketika memberangkatkan pasukan Usamah, Abu Bakar berpesan, ”Janganlah kalian berkhianat, berbuat zalim, mencincang mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang tua, dan wanita. Janganlah kalian merusak pohon kurma atau pepohonan yang berbuah, jangan pula kalian binasakan binatang ternak.” (HR Ibnul ‘Atsir dalam kitab Al-Kamil). Instruksi Abu Bakar yang sangat gamblang itu menunjukkan toleransi yang sangat tinggi.
Ketika Damaskus dibebaskan oleh pasukan muslimin, Uskup Agung Damaskus menawarkan perdamaian dan minta perlindungan kepada Khalid bin Walid yang memimpin penaklukan tersebut. Maka Khalid pun segera mengeluarkan instruksi perlindungan bagi sang uskup dan pengikutnya. Begitu warga Damaskus menikmati toleransi kaum muslimin, banyak di antara mereka yang kemudian memeluk Islam dengan suka rela dan senang hati.
Tak lama kemudian pasukan muslimin berhasil pula membebaskan beberapa kota di dataran Syam (Persia, Iran) dan sekitarnya, seperti Homs, Aleppo, dan Antokia. Ketika pasukan muslimin mengepung Palestina selama empat bulan, penduduk Palestina dengan suka rela berdamai dengan para prajurit muslim. Mereka bahkan bersedia menyerahkan kota suci itu, dengan syarat Khalifah Umar bin Khaththab menerima kunci kota langsung dari Pendeta Copernicus.
Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah lalu menulis surat kepada Khalifah Umar, meminta kehadirannya untuk menerima penyerahan kota Palestina. Maka datanglah Khalifah Umar dengan mengendarai seekor unta, ditemani seorang budaknya. Kehadiran Khalifah Umar yang sangat sederhana itu membuat takjub penduduk Palestina. Mereka hampir tak percaya melihat Umar menuntun unta yang ditunggangi oleh budaknya. Mereka mengira kebesaran Umar ditandai oleh kebesaran para pengawalnya.
Setelah salat dua rakaat di Masjidil Aqsha alias Baitulmakdis, Umar melakukan peninjauan di seluruh kota Palestina. Ia lalu memerintahkan Gubernur Palestina untuk berlaku baik terhadap penduduk, karena, menurut Umar, mereka berhak mendapatkan penghormatan lebih daripada penduduk kota lainnya. Umar juga mengumumkan perlindungan atas keamanan jiwa, harta, dan rumah peribadatan kaum nonmuslim. Ia bahkan juga melarang kaum muslimin mendirikan masjid di atas tempat peribadatan kaum Nasrani, apalagi merusak gereja untuk mendirikan masjid.
Penderita Kusta
Ketika melewati Desa Jabiyah tak jauh dari Damaskus, Umar melihat sekelompok penderita kusta. Mereka diasingkan di lereng sebuah bukit, karena dianggap berbahaya bagi kesehatan penduduk. Melihat kesengsaraan mereka, hati Umar tergerak untuk mengumpulkan semua tokoh masyarakat di Damaskus. Setelah semua hadir, ia berkata, ”Demi Allah! Aku tidak akan meninggalkan kota ini sebelum kalian mengirim kepada mereka bahan makanan, dan mencatat nama-nama mereka dalam daftar orang yang berhak menerima bantuan setiap bulan.”
Inilah contoh akhlak seorang pemimpin Islam yang sangat menghargai HAM. Padahal kala itu mayoritas penduduk masih menganut agama lain. Sikap pemimpin yang luar biasa inilah yang membuat syiar Islam semakin meluas di Syam dan sekitarnya.
Kisah toleran juga ditunjukkan ketika seorang panglima Islam, Amr bin Ash, minta izin kepada Khalifah Umar untuk membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Pembebasan itu dibantu oleh Zubair bin Awwam, yang membawa pasukan sebanyak 12.000 prajurit, ditambah dengan gerilyawan Mesir yang sudah muak dengan penindasan bangsa Romawi sejak 395 M.
Menyaksikan sambutan bangsa Mesir terhadap pasukan Islam sedemikian besar, Umar melarang pasukan muslim menghancurkan tempat-tempat peribadatan Mesir kuno. Hal itu berlawanan dengan sikap Kaisar Romawi, yang memerintahkan tentaranya menghancurkan tempat peribadatan Mesir Kuno, sehingga mereka sangat dibenci oleh rakyat Mesir.
Amr bin Ash kemudian memulihkan kebebasan dan keadilan bangsa Mesir yang sebelumnya direbut oleh bangsa Romawi selama empat abad. Penduduk bebas menjalankan ajaran agama masing-masaing, sementara kaum muslimin tidak pernah mencampuri urusan mereka. Maka rakyat Mesir pun sempat menikmati kebebasan yang tidak pernah mereka rasakan selama dijajah oleh Romawi.
Sebenarnya, setelah Romawi terusir dari Mesir, kaum muslimin dapat saja memaksa penduduk Mesir memeluk Islam, sebagaimana pernah dilakukan oleh bangsa Romawi terhadap mereka. Namun, itu tidak pernah terjadi dalam sejarah Islam. Hal ini menggugurkan pendapat kaum orientalis bahwa kaum muslimin pernah memaksakan Islam kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya.
Bukan hanya itu, bahkan agama penduduk asli bebas berkembang. Sebagai bukti, di setiap negara Islam yang sebelumnya menjadi pusat agama Kristen – seperti Syam, Palestina, Mesir – agama Nasrani tidak dilarang. Ini membuktikan, Islam tidak pernah memaksakan agama kepada penduduk asli di negara-negara yang dibebaskan.
Justru toleransi yang simpatik para penguasa Islam itulah yang membuat pengikut agama non-Islam akhirnya memeluk Islam. Demikianlah, selama 14 abad Islam disiarkan dengan penuh toleransi, dalam suasana kebebasan dan kedamaian. Salah besar tuduhan kaum orientalis seolah-oleh Islam disebarkan dengan perang dan kekerasan.
Saksi Sejarah Peradaban Islam
Toleransi antar-umat beragama sudah ada dalam sejarah peradaban Islam di masa silam. Banyak masjid yang berdampingan dengan gereja.Bagaimana kaum muslimin memperlakukan kaum nonmuslim, terutama kaum Nasrani? Dalam sejarah Islam, ada sebuah episode betapa Rasulullah SAW mengizinkan kaum Nasrani Najran beribadah di masjid, sementara kaum muslimin juga dengan leluasa dan damai menunaikan salat.
Beberapa abad setelah itu, para penguasa muslim memberi wewenang penuh kepada para pemimpin agama Nasrani atas jemaah mereka dalam urusan agama dan gereja. Negara tidak ikut campur tangan dalam urusan-urusan tersebut, tapi justru menjadi penengah jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Sebelum Islam masuk ke Mesir, misalnya, kaum Nasrani Qibthi tertindas oleh Kekaisaran Romawi. Gereja-gereja mereka dirampas. Ketika Mesir dibebaskan oleh kaum muslimin, gereja-gereja tersebut dikembalikan kepada kaum Qibthi – yang kemudian juga diperlakukan secara adil. Kebebasan beragama bagi kaum nonmuslim kala itu, antara lain, juga tercermin dari tindakan Sultan Muhammad Al-Fathih ketika menguasai Konstatinopel, pusat keuskupan Kristen Orthodox untuk wilayah Timur, dari kekuasaan Kaisar Byzantium.
Sultan memberi jaminan keselamatan bagi jiwa raga, harta benda, akidah, gereja, dan salib mereka. Sultan juga membebaskan mereka dari tugas kemiliteran dan memberi jaminan kepada pemimpin-pemimpinnya untuk menyusun peraturan sendiri. Mereka juga diberi wewenang buat memutuskan perselisihan yang terjadi di antara mereka tanpa campur tangan negara.
Penduduk Konstantinopel, yang mayoritas pemeluk Kristen Orthodox, menjadi lega. Sebab, sebelumnya toleransi seperti itu tidak pernah mereka alami. Kebebasan beragama itu berlangsung kurang lebih selama lima abad. Fenomena toleransi seperti itu juga sudah muncul sejak awal penyebaran Islam di daerah-daerah di luar Jazirah Arab. Banyak gereja yang dijadikan tempat salat oleh kaum muslimin, sekaligus juga sebagai tempat berdoa bagi kaum Nasrani.
Ketika Damaskus dibebaskan oleh kaum muslimin, kaum Nasrani merelakan sebagian dari ruangan di Gereja Agung Yohanna sebagai mushalla (tempat salat) bagi kaum muslimin. Belakangan, gereja tersebut menjkadi Masjid Jami’ Bani ‘Umayah.
Bukti toleransi yang luar biasa kaum muslimin di masa silam juga tampak dalam hal pembagian tugas dan jabatan kepada para pakar nonmuslim. Pertimbangannya bukanlah pada masalah agama, melainkan keahlian. Kala itu, masalah jabatan dan tugas berdasarkan kompetensi, dan sama sekali tidak dikaitkan dengan akidah atau mazhab.
Di masa pemerintahan Dinasti Umayah dan Abbasiyah, misalnya, banyak dokter beragama Nasrani yang menjalankan tugas-tugas penting. Mereka membimbing sekolah-sekolah kedokteran di Damaskus dan Baghdad dalam waktu yang cukup lama. Misalnya Ibnu Usal, dokter pribadi Khalifah Mu’awiyah. Bahkan Mu’awiyah juga mengangkat seorang Nasrani bernama John sebagai sekretarisnya.
Dokter Nasrani
Di masa pemerintahan Khalifah Marwan, ada dua orang Nasrani, Asnasius dan Ishaq, memangku jabatan pemerintahan di Mesir. Belakangan Asnasius menduduki jabatan-jabatan penting dan berpengaruh. Ia mendirikan sebuah gereja di Urfa. Ia juga dipercaya oleh Gubernur Mesir, Abdul Malik bin Aziz.
Di masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, ada seorang dokter Nasrani yang terkenal, Bakhtisyu bin Jibrail. Belakangan, anak Bakhtisyu, Jurjais bin Bakhtisyu, yang juga Nasrani, menjadi dokter pribadi Khalifah Khalifah Al-Manshur. Sementara Khalifah Al-Mu’thasim juga memiliki dokter pribadi seorang Nasrani bernama Salmuwaih bin Banan.
Bukan hanya dokter, para seniman nonmuslim juga mendapat kedudukan istimewa. Misalnyan Al-Akhtal, seorang penyair Nasrani, di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik. Suatu hari ia pernah menulis syair yang menghina kaum Ansar: Kehinaan bersemayam di bawah serban-serban kaum Ansar.
Lalu kaum Ansar mengirimkan Nu’man bin Basyir, seorang sahabat Rasulullah SAW, untuk menemui Khalifah Abdul Malik. Sambil mengangkat serbannya, ia berkata, ”Apakah Tuan melihat kehinaan di sini, wahai Amirul Mukminin?” Maka Khalifah Abdul Malik pun menenteramkan hatinya, tanpa menindak Al-Akhtal.
Ada lagi seorang penyair terkenal yang sangat dikagumi kalangan pejabat kekhalifahan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, yaitu Ibrahim bin Hilal Ash-Shabi, yang memeluk Majusi – kepercayaan yang memuja matahari. Antara Ibrahim bin Hilal dan para sastrawan Arab kala itu terjalin persahabatan yang erat. Ketika ia meninggal, Syarif Ridha, seorang penyair dari Bani Hasyim Alawy, meratapinya dengan syair-syair yang indah.
Di masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun terdapat beberapa halaqah (kelompok diskusi keilmuan) yang menghimpun berbagai ulama dan pakar dari berbagai agama dan mazhab. ”Bahaslah segala macam ilmu yang kalian kehendaki tanpa berdalil pada kitab agama masing-masing, agar tidak menimbulkan kemusykilan dari masing-masing golongan,” kata Khalifah Al-Ma’mun.
Bukan hanya di kalangan istana, toleransi itu bahkan juga merasuk dalam beberapa keluarga muslim. Dalam satu rumah, misalnya, sudah lazim bila berkumpul empat orang bersaudara yang masing-masing bermazhab Sunni, Syi’i, Khariji, Mu’tajili. Namun mereka hidup rukun dan harmonis.
Ketika kaum muslimin menguasai Spanyol, toleransi itu juga dinikmati selama delapan abad oleh kaum Nasrani Spanyol. Rentang waktu yang sangat lama itu merupakan waktu yang cukup baik bagi kaum muslimin untuk membangun peradaban yang tinggi. Peradaban muslim di Spayol itu, kelak, menjadi standar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern di abad-abad sesudahnya.
Pembangunan peradaban Islam di Spanyol tersebut dimulai sejak Khalifah Abdurrahman Ad-Dakhil berkuasa di Cordova pada 756 Masehi. Ketika itu Kesultanan Islam di Spanyol memisahkan diri dari pusat pemerintahan kekhalifahan Islam di Baghdad, Irak. Sejak saat itu Khalifah Abdurrahman merintis pembangunan peradaban Islam yang dilanjutkan oleh para penguasa muslim sesudahnya. Ketika itulah peradaban dan ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Aji Setiawan
http://ajisetiawan1.blogspot.com/2011/04/rindu-madaniyah.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar