Berhijrah
Menuju Kebajikan
Hijrah adalah
berasal dari kata Bahasa Arab darikata hajara, yang artinya
memutuskan hubungan, pindah , meninggalkan sesuatu lalu pindah kepada
yang lain
Dalam arti umum,
hijrah adalah meninggalkan tempat tinggal dan pindah ke tempat yang
baru. Dalam Islam menjadi istilah yang populer , yakni berpindahnya
kaum muslimin dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah ini paling
tidak tiga kali dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi Islam
memberikan arti yang lebih luas mengenai hijrah ini, yaitu
meninggalkan yang jelek dan berpindah ke hal yang baik.
Seseorang yang
meninggalkan suatu paham atau kepercayaan (katakanlah misalnya
kepercayaan kebatinan). Kemudian ditinggalkannya dan lalu mengikuti
faham lain (misalnya : agama Islam) dapat juga disebut sebagai orang
ber-hijrah, yaitu hijrah dari suatu kesesatan menuju ke kebenaran.
Seseorang yang
biasanya berperilaku jelek, buruk, jahat tidak terpuji kemudian
meninggalkan semua perilaku yang serba negatif tersebut dan
menggantinya dengan perilaku yang baik , terpuji bermanfaat maka
orang tersebut dapat jug adisebut sebagai orang yang berhijrah dari
perilaku jelek dan berpindah menjadi berperilaku baik. Rasulullah SAW
menjelaskan dalam lewat salah seorang sahabat yang bertanya kepada
beliau, ”Hai Nabi Allah, hijrah yang manakah yang baik?”
Rasulullah SAW menjawab, ”Apabila kamu meninggalkan sesuatu yang
jelek.”
Hadist di atas
memang hanya begitu. Ini dapat diartikan , bahwa hijrah yang paling
baik itu setidaknya meninggalkan segala sesuatu yang buruk. Tentunya
langkah berikutnya adalah,”berpindah kepada hal yang baik.” Namun
bila hanya meninggalkan yang buruk saja lalu diam, cukup lah artinya
walau kemudian tidak berpindah ke hal yang baik, bersikap diam tidak
melakukan yang jelek itu pun sudah dinilai “baik” dalam arti
minimal. Seperti kata pepatah: Dari pada berbuat jelek lebih baik
diam.
Kata hijrah
mempunyai ciri: berpindah. Sifat yang mendominasi adalah adanya
peningkatan dari sifat negatif ke sifat yang positif. Jadi hijrah
dilakukan untuk mengadakan perbaikan atau penyempurnaan bukan
sebaliknya.
Secara langsung
maupun tidak Allah SWT menyarankan agar manusia jangan terpaku di
suatu tempat saja karena bumi Allah ini sangat luas. Ini berarti kita
disarankan memilih tempat yang menguntungkan bagi kita, kalau memang
tempat yang kita huni tidak menyenangkan. Firman Allah SWT tersebut
disebut dalam QS Anissa ayat 97 dan 100. Serta dalam QS Az-Zummar
ayat 10 yang artinya,”Sesungguhnyua orang-orang diwafatkan oleh
Malaiakat dalam keadaan menganiaya dirinya sendiri (tidak mau
hijrah) , maka Malaikat bertanya kepada mereka,”Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab ,”Kami adalah orang –orang
yang tertindas di negeri ini.” Para malaikat berlata,”Bukankah
bumi Allah itu luas, maka hijrahlah atau pindahlah ke mana pun di
bumi ini.” Orang –orang tersebut tempatnya adalah dalam jahanam
dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisa : 97).
Dalam agama Islam
hijrah mempunyai pengertian tersendiri, karena kaum muslimin memang
beberapa kali melakukan hijrah yaitu berpindah tempat tinggal atau
tempat bermukim dalam rangka mencari kondisi yang lebih baik atau
lebih menguntungkan dan menyenangkan. Khususnya pindah dari kota
Mekkah ke tempat lain. Hijrah menurut ajaran Islam harus dilakukan
karena mencari ridha Allah bukan untuk mencari sesuatu yang lain.
Menurut Sabda Rasulullah SAW, barang siapa yang berhijrah dengan niat
mencari wanita atau harta yang diinginkan tersebut.
Bunyi hadist ini
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, dari
Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab ra ia berkata,”Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda,’Bahwasannya smua amal perbuatan
itu tergantung pada niatnya , dan bahwasaannya apa yang diperoleh
oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya , dan barangsiapa
yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan
dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya
itu.”
Jadi jelas, bahwa
perpindahannya dari suatu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain
berhijrah, diijinkan dalam Islam, dan insya Allah apa yang akan kita
peroleh adalah apa yang diniatkan. Niat yang paling baik adalah
mencari Ridha Allah SWT.
Hijrah
muslimin
Sejak
masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak
mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belas
orang saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang
menolak ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan
kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka
dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka.
Ancaman
, tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam
tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan
sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat
lain. Karena itu mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk
hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu
Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi ke Habsyi
(Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang
Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini
terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan
Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12
orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang
mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal /
pemula (assabiqunal
awwalin)
Kebetulan saat itu
di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah
berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke
pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai
ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi
(Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota
Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia),
kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri ini
diperintah oleh seorang Raja Nashrani , Negus (Najasyi), tetapi
karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda
dengan ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan
kepada kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt
Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar
ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin telah
berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang di
antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah
setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih.
Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi
dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan
kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka
kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil, menyusulah
rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau
tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua
ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan
ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan
marga di lingkungan suku Quraisy.
Kepndahan hijrah
kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka
khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi
lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk
mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan
penyebaran Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya
yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah dan dikawal Ammarah
bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah
yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga
kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena
dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan
para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi
kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari
Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan
ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang
Islami, damai dan tentram secara leluasa di Madinah. Di samping itu
Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai kesempatan untuk
menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap dan
dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh
penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini
kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam
karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak
serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender
Islam, karena setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru
menggunakannya sebagai permulaan kalender Islam. Itu pun setelah
melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum muslimin
menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari
lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan
ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini
mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama,
periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah
(perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke
kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di
bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu,
sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak
menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam
Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama
guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan
sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme,
anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam
semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang
fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (gol Ansor)
yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan
Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya
(Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib
(Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan
Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum
musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW
tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat
Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang
pluralistik tersebut.
Masyarakat baru
tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al
Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota
Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun
kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai
konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat
tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar
warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah”
atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan
kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar
etnis.
Kedamaian dan
kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri
bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah
yang dulu anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah
tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung
Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah.
Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh
Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di
akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam
(Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama
pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh
ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat
mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk
ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan
proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi
pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat
sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil
Society).
Misi Islam, kemudian
ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi
menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji,
saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari
631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari
setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah
“Ayyuhan-naas,
inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum,
ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,”
wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat
dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini
(Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah
wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman
seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan
menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan
atas hak milik (property)
serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah
penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan
bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan
HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyrakat sipil dalam
konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian,
pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin
bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi
Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan
prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan
masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan
panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 60
tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami
tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya
yang berlarut-larut.
Bangunan
kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses
transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen
yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk
menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan
pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.
Ini sesuai dengan
firman Tuhan, ”fa-bima
rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal
qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum
wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah,
innallaha yuhibbul mutawakkilin”
(QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi
mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
(Aji Setiawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar