Oleh: Aji Setiawan
Qolbun salim berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu qolbun
(hati) dan salim (bersih, suci dan lurus). Jika kedua kata ini
digabungkan, maka akan membentuk arti ‘hati yang lurus, bersih, suci dan ikhlas
dalam segala gerak, fikiran, perasaan, perbuatan dan lain sebagainya hanya
kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut istilah qolbun salim sebanyak
dua kali. Dan keduanya menggambarkan tentang hatinya Nabi Ibrahim AS: ”dan
janganlah Engkau hinakan aku
pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki
tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih.” (QS.
Asy-Syu’arra’;
87 – 89)
Dalam Al Qur’an QS.Ash
Shaffaat ayat 83
– 85,
Allah SWT berfirman: “Dan
sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika
ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata
kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu?”
Jika kita renungkan, sebenarnya Allah SWT di
atas, Allah SWT menginginkan
agar seluruh hamba-hamba-Nya dapat memiliki hati yang bersih, yang dapat
mengantarkan mereka pada surga Allah SWT, sekligus untuk menyempurnakan segala
kenikmatan yang diberikan kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Dan untuk menyucikan
hati manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an (agama Islam), guna dijadikan pedoman
hidup manusia: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah : 6).
Namun untuk memiliki hati yang bersih, kita terlebih dahulu
harus mengetahui seluk beluk hati manusia, sifat-sifatnya dan juga
godaan-godaan yang dapat menghanyutkannya. Hati ini merupakan sentral jiwa
manusia, yang apabila hatinya baik, maka insya Allah akan baik pula seluruh
tubuhnya, dan jika hatinya buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin
Nu’man ra, Rasulullah SAW bersabda:Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat sekerat darah, yang
apabila ia baik maka baik
pula seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya.
Ketahuilah bahwa sekerat darah tersebut adalah hati. (HR. Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas kita dapat memetik satu kesimpulan,
yaitu bahwa hati ternyata laksana nahkoda sebuah bahtera. Dimana arah tujuan
dari bahtera tersebut sangat ditentukan oleh sang nahkoda. Jika nahkodanya
memiliki niatan dan tujuan yang baik, insya Allah akan membawa bahtera tersebut
ke arah yang baik. Sebaliknya, jika ia memiliki tujuan yang jahat, maka secara
otomatis kapal tersebut sedang berjalan ke arah yang negatif. Oleh karena
itulah sangat penting bagi kita memiliki hati yang bersih guna menjadikan
kehidupan kita benar-benar sedang melaju ke arah yang baik, yaitu keridhaan
Allah SWT.
Imam al-Ghazali mengungkapkan, “Hati merupakan sesuatu yang
paling berharga dalam diri manusia. Karena dengan hatilah, seseorang mampu
mengenal Allah, beramal untuk mengharapkan ridha-Nya dan juga guna mendekatkan
diri kepada-Nya. Sedangkan jasad pada hakekatnya hanyalah menjadi pelayan dan
pengikut hati, sebagaimana seorang pelayan terhadap tuannya.
Oleh karena
itulah terdapat sebuah ungkapan, bahwa siapa yang mengenal hatinya maka ia akan
mengenal Rabbnya. Namun disayangkan, karena betapa banyaknya manusia yang tidak
mengenal hatinya sendiri. Lalu Allah menjadikannya seolah dirinya terpisah dari
hatinya. Pemisahan ini dapat berbentuk penghalang untuk mengenal dan
bermuroqobatullah (selalu dalam pengawasan Allah). Dan atas dasar hal inilah,
banyak ulama yang menjadikan ma’rifatul qolb sebagai dasar dan pedoman
bagi orang-orang saleh yang ingin lebih mendekatkan dirinya kepada Allah.
Namun ternyata banyak rintangan untuk mendekatkan hati
kepada Sang Pencipta. Karena godaan syaitan sangat luar biasa terhadap diri
manusia. Imam Al-Ghazali menggambarkannya dengan sebuah benteng yang dikepung
oleh musuh yang berambisi memasuki dan menguasainya. Benteng tersebut sudah
barang tentu harus dijaga pintu-pintunya, guna menghindari desakan musuh yang
bergerak menyerbunya. Namun orang yang tidak mengetahui pintu-pintunya sudah
barang tentu tidak dapat menjaganya. Maka demikian juga halnya dengan hati.
Seseorang tidak mungkin dapat menjaganya bahkan juga mengusir syaitan yang
menyerangnya melainkan dengan mengetahui pintu-pintu yang terdapat dalam
hatinya tersebut.
Demikian pula dengan hati yang dikuasai hawa nafsu serta jauh
dari dzikrullah. Sudah barang tentu ia menjadi mangsa para syaitan yang
kelaparan. Dan untuk mengusirnya juga diperlukan tenaga ekstra, berbeda dengan
hati yang hampa dari nafsu. Inilah sensitifas hati seorang insan, yang ternyata sangat
rentan akan godaan. Oleh karenanya tidak heran, jika Rasulullah SAW sering
mengungkapkan doa yang cukup masyhur; “Wahai Pembolak balik hati, tetapkanlah hati kami lingdalam agama-Mu. Wahai Pemutar
balik hati, tetapkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”
Nabi
Muhammad SAW
yang telah di jamin
dapat menapakkan kakinya dalam surga, masih dengan khusyu’nya memanjatkan irama
doa yang indah. Maka sebagai umat dan pengikutnya, memanjatkan doa guna
kelurusan hati merupakan hal yang seyogyanya mendapatkan prioritas. Marilah
sejenak kita meninggalkan berbagai keegoisan hati dalam diri kita, baik
politik, golongan, jabatan, kekayaaan dan sebagainya. Gunakan jiwa dan raga yang ternyata sangat kecil dan tiada memiliki
daya apapun juga di hadapan Yang Maha Perkasa.
Galibnya,
kita harus bergantung kepada Allah SWT. Mulai saat ini, mari kita bersihkan
diri dan seluruh anggota badan kita,
mata, tangan, kaki, telinga dan hati dari maksiat. Bersihkan rumah kita dari
kemaksiatan dan hal-hal yang dibenci Allah SWT dengan cara; Pertama, hati yang dihiasi
dengan ketaqwaan, dzikir, pembersihan jiwa dan muraqabatullah (sikap hati yang
selalu merasa berada dalam pengawasan Allah). Hati seperti ini, insya Allah
dapat menangkal segala sifat tidak terpuji. Hati seperti ini sering juga
disebut dengan hati bersih (Qolbun Salim).
Kedua, hati yang berlumuran hawa nafsu, terselimuti
sifat-sifat tercela. Hati seperti inilah yang kerap kali menjadi mangsa syaitan
untuk mengobrak abrik sedikit saja sinar terang yang terdapat di dalamnya. Hati
akan lambat laun akan menjadi kelam, seperti malam yang tidak berbulan.
Ketiga, hati yang memiliki potensi mengikuti hawa nafsu,
namun juga masih terdapat jeritan keimanan untuk berbuat kebaikan. Ia berada
diantara kebaikan dan keburukan, walaupun pada akhirnya ia harus menentukan
pilihan; hitam atau putih.
Sebagai hamba Allah, hendaknya kita memohon dan memasrahkan
hati kita kepada Allah, agar hati ini terhindar dari goresan-goresan
kemunafikan menuju keikhlasan-Nya yang abadi. Wahai manusia, wahai diri kita,
wahai para pemimpin-pemimpin bangsa, marilah kita kembali mengenali hati kita
beserta sensitifitasnya, agar kita dapat memiliki hati yang suci (Qolbun Salim), sebagai mana Nabi Muhammad SAW
dan Nabi Ibrahim AS serta para nabi-nabi lainnya. …
Amin. Wallohu ‘alam bis-Shawab.(***)