Pondok Pesantren Al
Falah, Ploso, Kediri
Pondok
Salaf dengan Ribuan Santri
Pesantren
ini bermula dari sebuah majelis taklim yang dirintis KH Achmad
Djazuli Utsman untuk memerangi maksiat di kawasan Ploso, Kediri. Kini
pesantren Al-Falah telah berkembang dengan mencapai 8000 santri
Ploso,
demikian sebuah kampung kecil di sebelah barat sungai Brantas
merupakan daerah yang mudah dijangkau dari Kota Kediri. Jaraknya
kurang lebih lima belas kilometer. Pada awal abad 19, daerah Ploso
dikenal sebagai kawasan basis maksiat di kecamatan Mojo. Tetapi
kemaksiatan yang merajela itu lambat laun semakin lenyap. Itu semua
berkat adanya majelis taklim yang dirintis oleh KH Achmad Djazuli
Utsman yang dikemudian hari dikenal sebagai Pondok Pesantren
Al-Falah.
Kini
bangunan megah pesantren yang menghadap jalan raya Tulung Agung
Kediri itu tampak asri. Sejauh mata memandang, bangunan madrasah dan
pemukiman santri berpadu menjadi bukti konkrit dari buah perjuangan
yang telah digoreskan oleh pendiri pondok, yakni KH Achmad Djazuli
Utsman yang mulai merintis majelis taklim Al-Falah mulai tahun 1925.
Pada
awal berdiri, ia hanya mempunyai santri dari daerah sekitar kecamatan
Mojo dan berjumlah dua orang. Lambat laun, para santri mulai
bertambah. Para santri diajar dan dididik di serambi masjid kena’iban
Ploso.
Waktu
beranjak dari tahun ke tahun. Seiring berjalannya waktu, jumlah
santri pun semakin bertambah. Ini rupanya yang menuntut berdirinya
gedung madrasah untuk menampung para santri yang semakin hari semakin
bertambah. Dengan semangat keikhlasan dan kekuatan untuk mensyiarkan
dakwah Islamiyah, KH Achamd Djazuli Utsman berkeliling dari desa ke
desa dengan mempergunakan sepeda onthel untuk mewujudkan gedung
madrasah itu. Upaya kerja keras, jerih payah dan kesabaran yang
diiringi sikap tawakal kepada Allah SWT ini pun berbuah. Pada tahun
1927, gedung madrasah abang yang terletak persis di depan masjid
dapat dibangun. Gedung asrama pondokan ini masih terlihat utuh dan
menjadi saksi sejarah awal berdirinya Ponpes Ploso.
Selang
beberapa waktu kemudian didirikan pula pondokan lain dan pada tahun
1939 jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 orang. Waktu
Jepang datang dan menjajah RI, Pesantren Ploso menjadi tempat
pendidikan santri untuk berjuang melawan penjajah. Para santri yang
telah digembleng lahir dan bathin, banyak yang ikut berjuang di
berbagai daerah tempat asal santri. Sehingga pada masa itu, pesantren
Ploso menjadi vakum dari kegiatan pengajaran. Bahkan jumlah santri
yang tersisa hanya tinggal 6 orang saja, yakni Bapak Zainuddin
(Kebumen), Masudin (Yogyakarta), Kholil (Solo), Abdul Kholik Dhofir
(Kediri), Romli (Trenggalek), dan Nawawi (Banyumas).
Keenam
pemuda inilah yang bahu membahu membantu dan membina kemajuan pondok
setelah agresi militer I dan II Belanda. Selepas kemerdekaan, sedikit
demi sedikit keadaan pondok mulai pulih kembali. Demikian juga dengan
semakin tersyiarnya dakwah dari Ponpes Ploso, semakin harum dan
namanya ke seluruh pelosok tanah air sebagai pencetak ulama-ulama
yang handal. Perkembangan santri pun semakin lama semakin bertambah
banyak. Untuk mengimbangi jumlah santri yang terus bertambah,
pengelola terus membangun sarana dan prasarana pesantren, seperti
pondokan, fasilitas kesehatan, perpustakaan, aula, ruang-ruang kelas
dan lain-lain.
Jenjang Pendidikan
Memang
tidak mudah mudah merintis pesantren, apalagi sebuah pesantren yang
besar. Lebih sukar lagi dalam pengelolaan pendidikan dan pengajaran
untuk memenuhi kebutuhan para santri. Untuk memudahkan dalam
pengaturan pendidikan santri. Setiap calon santri diharapkan memilih
sesuai dengan taraf pendidikan yang sudah ditempuh. Bagi para santri
baru, mereka masuk jenjang pendidikan ibtidaiyah (sifir)
selama 3 tahun. Kemudian dilanjutkan ke tingkat atasnya yakni
Tsanawiyah selama 4 tahun.
Lepas
dari Tsanawiyah, para santri melanjutkan ke tingkat tertinggi yakni
Madrasah Islamiyah Riyadlotul Uqul (MISRU), ataui setingkat Aliyah.
Dalam program pendidikan terakhir ini, setiap santri memperdalam
pelajaran ‘gramar’ dan ilmu alat bahasa Arab. Selepas tamat dari
madrasah tersebut, bagi santri yang ingin memperdalam ilmu agama
(Fiqh) dibentuk Jami’yatul Musyawaroh Riyadlatut Tholabah. Para
santri yang masuk ke program ini adalah santri-santri yang sudah
menguasai ilmu nahwu, shorof dan imu alat untuk memperdalam kitab
kuning. Karena di forum ini, para santri dituntut untuk menyelesaikan
masalah yang hadapi dan kitab yang dipergunakan dengan cara mandiri.
“Diharapkan supaya nantinya bila terjun dalam masyarakat sudah
mampu menjawab dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
kehidupan masyarakatnya,” kata pengasuh Ponpes Al-Falah, KH. Ahmad
Zainudin Djazuli.
Di Pesantren yang
bersendikan pendidikan salaf ini, hampir seluruh waktu santri
dipergunakan untuk belajar, baik belajar formal mau pun informal.
Dalam hal pengajian, kepada para santri ada yang diwajibkan. Seperti
pengajian kitab Fathul Ghorib dan Ta’limul Muta’alim yang
diajarkan oleh Masyayikh (putra-putri Hadrrotussyeikh KH. Achmad
Djazuli Utsman). Pengertian wajib di sini adalah
para santri yang masih rendah diharuskan mengikuti materi pengajian
dua kitab tersebut. Untuk tingkat di atasnya, diwajibkan mengaji
kitab yang lebih tinggi yakni Bukhari dan Minhajut Tholibin. Untuk
pengajian lainnya ada pengajian kitab Ihya
Ulumiddin, Fatkhul Wahab, Fathul Mu’in, Iqna
dan lain-lain.
Untuk menambah bobot
pengajian, dalam pelajaran juga masih ada pengajian yang diberikan
oleh santri senior yang sudah mampu, waktunya pun dipergunakan dalam
celah-celah kegiatan para santri. Semua sistem yang dipergunakan
adalah model bandongan, yakni guru membaca kitab, para santri
kemudian memberi makna gandul (bahasa kromo).
Tidak sebagaimana sekolah
atau universitas yang memakai kalender Masehi sebagai patokan dalam
memulai aktivitas belajar. Di pesantren ini memakai patokan tahun
Hijriah baik untuk pendidikan madrasah maupun pondok. Hari-hari
efektif dimulai pertengahan bulan Syawal. Sedangkan ujian pertengahan
tahun pada awal bulan Rabiul Awal (Maulud). Setelah ujian selesai,
para santri memperoleh libur selama 1 minggu, biasanya waktu libur
itu dipergunakan untuk menengok keluarga di kampung halaman
masing-masing santri. Ujian akhir sendiri diadakan pada bulan Rajab.
Ketika memasuki ulan Ramadhan, pondok ini juga menyelenggarakan
pesantren kilat (pasaran/puasanan) yang terbuka untuk santri dan
masyarakat umum. Seluruh rangkaian kegiatan belajar santri kemudian
ditutup dengan acara Haflatus Tasyakur (acara tutup tahun)
yang berbarengan dengan acara Haul Al-Maghfurlah KH. Achmad Djazuli
Utsman di bulan Muharram.
Selain kegiatan wajib,
para santri juga dianjurkan untuk mengikuti aktivitas lain yang
menambah wawasan dan pengetahuan santri, seperti; baca Tahlil dan
Yasin, muhafadzah, dhi’baiyah, mujahadah, khitobah, bahtsul
masa’il. Demikian gambaran seluruh rangkaian aktivitas pesantren
yang saat ini jumlah santri baik putra maupun putri sekitar 8000
orang dan yang tersebar di asrama pondokan yang berdiri di atas lahan
sekitar 3 hektar itu. Peran dan sumbangannya untuk mendidik dan
membina generasi yang kokoh, tangguh dan mampu berperan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah tidak diragukan lagi dengan
jumlah alumni yang sudah mencapai lebih dari puluhan ribu dan
tersebar di seluruh Indonesia.
Aji Setiawan
1 komentar:
Minta nomer tlpn nya kang,,,
Dari stasiun kediri naek apa ke pon pes ploso?
Posting Komentar