Jejaring
Ulama Nusantara
Katalog Dalam Penerbitan : ISBN : 0507-11878 U
Jejaring Ulama
Nusantara
Hak penerbitan ada pada penerbit :
Penyusun: Aji Setiawan
Penyunting: Penerbit
Desain Sampul:
Diterbitkan oleh penerbit:
Buku ini dapat dipesan di perwakilan
penerbit:
Pengantar
Penulis
Segala puji bagi
Allah SWT, shalawat serta salam semoga selalu kita haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga , sahabat dan pengikut setia beliau hingga hari
kemudian.
Pembaca yang budiman
yang semoga senantiasa di Rahmati Allah SWT, pada kesempatan kali ini penulis
mencoba menyajikan sebuah jejaring ulama-ulama terkemuka Nusantara sejak
kedatangan Islam masuk Indonesia. Ada banyak sekali ulama-ulama dari Indonesia
yang menjadi rujukan bagi umat Islam dunia. Sumbangan pemikiran dan intelektual
muslim Indonesia itu tidak saja mewarnai khazanah Islam Indonesia namun juga
Dunia yang terangkum dalam buku “Jejaring Ulama Nusantara”. Di mana mereka
menyambung mata rantai khazanah Islam
Nusantara dari dahulu dan berkembang hingga kini.
Dengan dibukukan
semoga karya dan sumbangsih ulama-ulama terkemuka Nusantara itu dapat dijadikan
referensi dan dapat dijadikan rujukan lebih lanjut dalam khazanah Islam
Nusantara.
Demikian pengantar
penulis dalam penerbitan buku “Jejaring Ulama Nusantara” semoga dapat
bermanfaat bagi kita sekalian.
Penulis
Aji Setiawan
Daftar
Isi
Buku : Jejaring Ulama Nusantara
Cover---i
Katalog
Dalam Penerbitan—ii
Pengantar
Penulis--iii
Daftar
isi---iv
1.
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia---
2.
Sejarah Thariqah Masuk Indonesia—
3.
Jejaring Ulama
Nusantara Sepanjang Masa---
4.
Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di
Indonesia—
5.
Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi Hari Santri Nasional—
6.
Peran NU Pra dan Pasca Kemerdekaan
7.
Habaib dan Ulama Berdampingan Membangun Betawi—
8.
Peran Strategis Ulama Pada Masa Sekarang—
9.
Pentingnya Pendidikan Karakter---
10. Misi Pendidikan
Islami--
11. Catatan Penutup
12. Daftar Pustaka
13.
Biografi Penulis
1 Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
Wacana tentang masuknya Islam ke
Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli.
Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi perbedaan.
Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum
tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada
kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu aspek dan mengabaikan
aspek-aspek yang lain.
Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli
mengenai masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan
“Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda.
Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari
Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel
dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, orang-orang Arab yang
bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa
Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24).
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori
ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan:
Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama
terjalin lama. Ketiga, transkripsi tertua tentang Islam yang terdapat di
Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat.
(Suryanegara, 1998: 75)
Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai
pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap
sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru yang
menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan dengan
pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia mendasarkan
kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara
Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan
yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik,
Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan,
bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal
tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa.
Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia
juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya
agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada
bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik
Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi
masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan bahwa Islam disebarkan
melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa. Di
samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan
Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di
Gujarat. (Suryanegara,1998: 76).
Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik
Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa
Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui
jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan
bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan
Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di
Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618
dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini ternyata mempraktekkan
ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia
Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya
Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7.
Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut
terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India.
Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya
jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat
Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka.
Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni
runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526 M) dan
diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang
mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).
Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW
Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi,
Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari
India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka mengakui
adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).
Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk
Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini
memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang
kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang awal
masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan kepada saat timbulnya
kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan perkembangan Islam di tengah
masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya
pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan
laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan
bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya telah
memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah satu-satunya daerah
Islam di Indonesa waktu itu.
Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para
ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan
sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di Indoensia.
Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para ahli yang lain.
SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang
mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh
dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan
Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan
tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu
seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam masuk
ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan
perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di
Bengal bermahzab Hanafi. (Azra, 25).
Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang
menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari
Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini
dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai
wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan
Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa muslim. Menurut
Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari Corromandel
(India Timur). (Azra, 26).
Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang
berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini
disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan mazhab,
yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan
Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia
pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)
Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori
Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori
ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia
dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat
persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan mazhab, meski berbeda
asal muasalnya.
Kesamaan kebudayaan yang dimaksud dalam teori Persia ini
adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan
Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringatan ini ditandai dengan pembuatan
bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di
Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke
sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran
sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda
bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin
tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik
Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori
Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab
Syafi’i sama dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen
Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan
budaya Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan
mazhab ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab
Syafi’i. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang
intelektual Islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima
pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman
bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu
tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat peradaban Islam
berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia
berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia.
(Suryanegara, 91.)
Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek
kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini
sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori
Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold,
Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka.
Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan
Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal
Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat
catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan
fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad
VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir
Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal
yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu
juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan
kitab ‘Ajaib al-Hind, yang
mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada
Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa
langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur
India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua
wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander
memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.
Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia
menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat
sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor
dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding
dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang perlu dikaji dalam
membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara
yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan
kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28).
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam
yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang
yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia,
bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik
dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke
Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa
setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari
Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magribi (Maroko).
Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka
adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai
contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan
Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan
mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti
Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan
interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).
Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya
dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di
Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori
Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal
langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada
Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963.
Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih
mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di
Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah
adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran.
(Suryanegara, 81-82).
Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i
yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya,
hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan
Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka
lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu
Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada
abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad
VII. (Ibid. 82).
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan
Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak
mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad
kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang
tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila
dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan
pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang
orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan
bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera
yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur. Hamka juga
menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia
dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan
bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang
bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka
menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang
tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92).
Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi
persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia
memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal
dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan
dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik
muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah
yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit)
bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah memandang
Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan
Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.
Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam
perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih
melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab yang
membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan
Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai,
dan waktunya pada abad ke-13.
Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa
agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada
abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai.
Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat
menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada
berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada
abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafi’i di
Indonesia.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh
mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya
pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab
Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar. Dari
Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke Indonesia.
Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil
kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7
Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru
terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan
adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India. Demikian pula
asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan India.
Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena
posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian
menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan
(1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480).
(***)
2 Masuknya Thariqah
dan Perkembangannya di Indonesia
Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di
tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah
tersebar luas di nusantara.
Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh
terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada
masa daulah Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan
kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih
mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan
mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada
munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah, dan
Zuhhad.
Dua golongan pertama memberontak dengan motivasi
politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan
“pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran
agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat bahwa
kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat
memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena
perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan
duniawi dan takut mati) itu pula yang belakangan mereka yakini telah
menghancurleburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski
keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di
dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia
dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.
Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan
sebagian kaum muslimin yang semata- mata berusaha mengendalikan
jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT, agar
tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi).
Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat
untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu
mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang
sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah
(perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir
antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan
Allah).
Dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh
dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela),
lalu tahalli (menghiasi hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli
(mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata cara kehidupan rohani tersebut
kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat muslim, yang akhirnya
menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu tashawuf atau
sufisme.
Bersamaan munculnya tasawuf di akhir abad kedua hijriah,
lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan bentuknya
sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah,
akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi. Thariqah Shufiyyah,
metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil
Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan
akal dan pikiran.
Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq
(rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata
/empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk menyebut
suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang
guru musyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak
difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku
batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan
perbedaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir
mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode
itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah yang namanya diambil
dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah,
Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah,
Alawiyyah dan lain sebagainya.
Mursyid
Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing
thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya,
yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth
Thariqah, untuk men-talqin-kan
dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya
(murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu
thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam
kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan
terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi
para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia
merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT.
Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.
Oleh karena itu,
jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya
tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki
kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin
Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i,
menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai
maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya
dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’.
Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna
pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang
lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad
SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan
wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan
ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya,
itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki
jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya
dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya
untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai
mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan.
Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang
lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau
ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang
benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip
oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi
mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para
ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain
membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi
murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi,
budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan
thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid
adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan
seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya,
melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah SAW, sebagai pemilik
dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk
atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya
diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.
Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur
spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan
selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid
menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua
dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai
kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin
mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk
Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak
berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang
ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan
menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan
mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan
dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang
mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau
mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan
thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah
–termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal
Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan
thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak
mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari
seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima
pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka
pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid
wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para
murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid
lain.
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan
sejarah masuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara
secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15,
bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di
Timur Tengah.
Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan
keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara
terbuka oleh kaum fuqoha yang
sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang
kontroversial.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya
yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi
yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut
saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya
menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221
M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali
Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika
Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.
Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase
pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad
Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan
Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut
belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah
air.
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik
itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha
menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi
metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah
beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para Wali.
Sayangnya dokumen sejarah Islam sebelum abad 17 cukup
sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton
sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana
raja-raja muslim. Sebenarnya tak jauh berbeda, definisi tasawuf menurut Buya
HAMKA dalam buku Tasawwuf Modern, tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang
jelek menuju budi pekerti yang luhur.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia
thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya
sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada
fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan
berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili.
Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon
memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah. Meski jika
mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan
Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang
wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun
1221 M, tidaklah mungkin.
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati
dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan
Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah
dan Syadziliyyah ke tanah Jawa. Thariqah lain yang masuk Nusantara pada
periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga
thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul
menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18,
tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawa adalah Syaikh
Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah
SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah
Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal
banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode
berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.
Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di
tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah
tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya
sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga
memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah
terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa
dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan
seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi
Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di
komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari
Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.
Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media
penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat
baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad
Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah
(asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul
Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal
di Makkah).
Thariqah Alawiyyah sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam
Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur
keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak
leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW.
Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib
dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai
Rasulullah SAW. Di Kemudian hari,
keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang
penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek
kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim
Nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani
(1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah
ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah
Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran
Makkah.
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada
lagi beberapa thariqah yang masuk ke Nusantara di seputar abad 19-20. Seperti
Nama Al-Idrisiyyah dinisbatkan kepada salah seorang Mursyid Al-Idrisiyyah yang
bernama Syekh Ahmad bin Idris Ali Al-Masyisyi Al-Yamlakhi Al-Hasani. (1760 -
1837), salah seorang Mujaddid (Neo Sufisme) yang berasal dari Maroko
(Maghribi). Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama tarekat ini adalah nama ayah
dari pendirinya. Syekh Ahmad bin Idris dikenal sebagai sosok Ulama yang
berhasil memadukan dua aspek lahir (syari’at) dan batin (hakikat). Ia juga
dikenal sebagai pembaharu dalam dunia tasawuf dari penyelewengan kaum kebatinan
seperti tahayul, khurafat, dll.
Tarekat Sanusiyyah dibawa ke Indonesia oleh Asy-Syekh
Al-Akbar Abdul Fattah tahun 1932. Dia menerimanya dari Syekh Ahmad Syarif
As-Sanusi (1875-1933) di Jabal Qubais (Mekkah) dan berguru selama 4 tahun.
Kemudian dengan beberapa alasan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah mengganti nama
tarekatnya menjadi Tarekat Idrisiyyah. Sejak masuknya ke Indonesia pada masa
penjajahan, Tarekat ini sudah mengalami 4 kepemimpinan. Saat ini tampuk
pimpinan tarekat dipegang oleh Syekh Muhammad Fathurahman, M.Ag. Dalam masa
kepemimpinannya Al-Idrisiyyah telah berkembang hingga memiliki 50 Zawiyah yang
tersebar pada 12 Propinsi di Indonesia.
Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah
Chalidiyyah (TNC), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan
oleh Maulana Chalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut
berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah
di Indonesia, masuk Nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail
Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat
ijazah dari Syaikh Abdullah Barzanjani (khalifah Maula Khalid) itu TNC-pun
menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.
Thariqah Naqsyabandiyyah Chalidiyyah semakin berkembang
pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah
thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah.
Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh
Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan
Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).
Setidaknya ada 45 Thariqah NU yang berstandar, yakni
Thariqah yang Mu’tabaroh. Hanya mereka yang memenuhi standar saja yang
diperkenankan masuk menjadi Banom NU dalam JATMAN, Jamiyyah Ahlith Thariqah Al
Mu’tabaroh Al Nahdliyyah. Seperti apa standar Thariqah versi NU? KH. Aziz
Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar Jombang pernah
melakukan penelitian tentang aliran Thariqah di Indonesia. Kesimpulan yang
didapat; keberadaan Thariqah di tanah air ini ada sekitar ribuan. Jumlah itu
dianggap wajar seiring dengan dinamika yang mengelilinginya.
Secara singkat, Kiai Aziz mengemukakan bahwa kriteria ke
mu’tabaran sebuah Thariqah adalah dapat dilihat dari sanad para Mursyidnya yang
muttashil (bersambung ijazah bai’at -nya) sampai kepada Rasulullah
SAW. Demikian pula yang tidak bisa ditawar adalah ajaran yang disampaikan harus
berpedoman pada pakem NU; yakni dalam fiqh mengikuti salah satu imam empat.
Dalam aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Maturidi.
Jika di andaikan sebuah rumah, maka Thariqat adalah pondasi
paling bawah yang menjadi dasar bangunan besar Nahdlatul ulama. Kemudian
pesantren, di lapis kedua, dari struktur
bangunan organisasi kemasyarakatan NU. “Karena masuknya Islam ke bumi
Nusantara, diawali dengan masuknya thariqat, jadi thariqat adalah peletak dasar
bangunan NU. Kekuatan inilah yang menjadikan NU mengakar di tengah-tengah
jama’ah dan jamiyyahnya,” demikian diungkapkan Ro’is A’am Jam’iyyah Ahli
Thariqah Al-Mu’Tabarah An Nahdliyah, KH. Habib Luthfiy Ali bin Yahya.
Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa agama Islam di
berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama yang kemudian dikenal
sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara dan Afrika Selatan bahkan di
Indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan
untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan Ilmu-ilmu Islam di daerah itu,
seperti Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh Abdurrauf Singkly, Syekh Syamsuddin
Sumatrani, dan masih banyak lagi; sebagai orang-orang yang sangat berjasa dalam
pengembangan Islam di sana.
Demikian pula di Jawa, terkenal dengan Walisongonya sebagai
ulama yang berjasa dalam pengembangan Islam. Dan masih banyak lagi yang dapat
disebutkan hanya untuk menjelaskan bahwa ulama-ulama tasawuflah yang banyak
jasa dan pengorbanannya dalam pengembangan Islam di dunia. Karena dimanapun
tempat mereka berada, walaupun berbeda adat dan budaya maupun bahasa mereka
berbaur dengan masyarakat dengan hati dan jiwa suci sehingga dengan mudahlah
ajaran Allah dan Rasul-Nya difahami.
“Jadi sufisme atau dalam Islam diberi nama tasawuf ,
bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari sufisme,
adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan
lewat jalan kontemplasi. Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf
dikenal dengan istilah tarekat,” urai habib Luthfi bin Yahya yang memiliki
puluhan juta jama’aah ini.(***)
3
Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa
Dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama
menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di Mekkah
dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama Indonesia mulai
mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk menggerakan
semangat jihad melawan kolonialisme
John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual
Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama
Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat
pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam. Gerakan
ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai
lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan kedaerahan, pola
tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan modern.
Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama
diteliti oleh Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The Transmission of
Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian
‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi saudara
Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University,
New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam
penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh, bahwa penelitian
ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan
intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya
perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Karena tidak mungkin, pembaharuan yang
terjadi di berbagai negara Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang
sambung-bersambung (sanad ‘ilm, mata rantai emas sanad keilmuan-red)
dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam dari tempat Nabi Muhammad SAW
berasal, yakni daratan tanah Arab (Timur Tengah).
Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan
dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan
erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi
oleh faktor politis. Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad
ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai
hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir abad
ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas.
Disamping mereka melakukan praktik
perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran
agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat
erat diantara keduanya. Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paruh kedua abad
ke-17, hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani,
lebih banyak diwarnai oleh faktor politis.
Kenyataan ini sebagai akibat dari
adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan
Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di
Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani.
Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan
para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini,
kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian sejak paruh
kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di
Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan
sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian
historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat
menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi
dikawasan periferi, yang selama ini
dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern. Dari penelitian little
tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide
pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama,
yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great
tradition.
Jaringan Ulama yang telah lama
terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan
ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di
Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas
keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama
Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana
pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di
wilayah Islam Nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada dua
istilah kunci digunakan Dr Azyumardi Azra
dalam menguak jejaring ulama Nusantara yang menjadi sangat penting dan
menentukan. Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara
para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk
melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little
tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi
besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara
ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua adalah kata Transmisi.
Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang
untuk menyebarkan , menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari
daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan
ke berbagai daerah lainnya. Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya
yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu
serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat
keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi
(Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan
pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi
perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing.
Ulama-ulama Nusantara memberikan
sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena, pertama, tertolaknya suatu asumsi yang
mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di
Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17,
terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada
aspek sosial-intelektual (keilmuan).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang
mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam.
Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis
dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam. Islam dimasa ini
bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang
merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya
perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari
akan keberadaan serta peranan masing-masing. Dengan adanya kesadaran yang
demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru,
yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme.
Ketiga, adanya peranan serta
keterlibatan ulama-ulama Melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada
taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke
wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan. Perkembangan pemikiran
dan keilmuan didunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang
terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai
dunia Muslim.
Demikian pula dengan perkembangan pemikiran
dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan
hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan
tersebut. Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan
serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau
juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya.
Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah,
dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai
dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali
Songo). Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China (
melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi
dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat ditarik benang
merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan
perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional
yang berpusat di Haramayn (Mekkah). Berbagai kebijakan yang diambil dalam
pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas
diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain
itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi,
sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini.
Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada
neo-sufisme. Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran
pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Ulama Nusantara pada masa itu antara
lain Syekh Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), Syekh ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili
(1024-1105/1615-1730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari
(1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad
Al Banjari (w.1777) dll.
Sementara jaringan ulama beserta
langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia
pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah pimpinan Teuku
Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll , ulama-ulama Padri di bawah komando
Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), P Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah
Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan
H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum
meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme. Pengembangan keilmuan
Islam pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya
banyak ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (territorial)
Kompeni Belanda.
Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama
pesantren di Nusantara di atas makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah
Madinah (Haramain) konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di
Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik
Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan
tanah dan bangsa Indonesia. Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring ‘Busur
Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang
telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan
terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan
abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci.
Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail
di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari mereka
telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal
tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus
jejaring ulama Nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara
sebelumnya.
Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang
mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama
Nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan
berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di
Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru
nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan
bergeraknya jejaring yang telah dibangun.
Seperti dari Kalimantan muncul Syekh
Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari
Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan
Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga
Bugis, dari Jawa muncul Syekh Habib Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned
al Batawi , Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh
Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani, Syekh Mahfudz Termas Pacitan, Syekh Abdul
Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid
Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi
ulama-ulama Nusantara.
Poros ulama Nusantara di Haramain
tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal Syekh
Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan,
Al Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, Syekh Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogjawi, Tuan
Guru Haji Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Zainudin
Pancor , Lombok NTB) , KH Ahmad Sanusi Sukabumi Gunung Puyuh Sukabumi, Guru
Mansur Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri,
Dr. H Moh Hatta Bukit Tinggi dll. Kenapa penulis perlu memasukan Dr
Hatta dalam salah satu khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan
Haji Mohammad Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga belajar dengan Syekh
Arsyad dan Syekh Djambek yang tiada lain tokoh besar ulama Minangkabau pada
masa itu, dll.
Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari
menjadi jangkar ulama di Nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah
di pesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain,
tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan
garis perjuangan. Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti
kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam meskipun
percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di
kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat, simpul-simpul
utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan
bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asy’ari berupaya mensinergikan simpul-simpul
utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (intelegensia/cendekiawan) untuk
bergerak bersama KH Wahab Hasbullah dan kyai-kyai di Surabaya pada tahun 1926
dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad
Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al
Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan
Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus (Guru Tua) dengan Al Khairat
di Palu (Sulawesi), Syekh
Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru
Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru,
Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin
Amsar ad-Dari, KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Fatullah Harun, KH
Zayadi Muhajir dll). Sementara tokoh
pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil Dr Moh Hatta , KH Abdul Wachid Hasyim,
Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain
sebagainya.
Melalui jejaring gurunya, koleganya dan
muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama baik Jumhuriyyah Indunisie maupun pergerakan
nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuk dan
terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new emergyzing) yang
nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan
Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moderat. Gerakan Islam yang
tradisional , moderat dan toleran itu masih berkembang hingga kini telah mewarnai, bentuk dan serta corak
gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya kemasyarakatan dalam
bingkai NKRI . (***)
4 Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di Indonesia
Hasil penyebaran Islam tahap awal
selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam
antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama
pesantren.
Istilah pesantren sendiri berasal dari
kata India shastri, yang berarti
orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa
pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan
akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau
sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur,
di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis
dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam
terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka
dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain
bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah
pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang,
meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren
para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan
bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan
jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai
lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad
ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal
Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah
Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan
pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya
melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau
Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada
tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren
Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas
di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti
Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran,
Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan,
tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran
Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen,
belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum
abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal.
Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari
orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji
atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di
sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga
memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat
berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya.
Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila
memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada
abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan
sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo)
juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan
adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan
upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang
Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam
penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa
Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan
Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah
(ed.), 2002: 22).
Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat
Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di
Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu
tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul
Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah
Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan
seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki
Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di
desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam
tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22)
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren
membekali santrinya dengan ilmu hidup, mengajari mereka berinteraksi
dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan.
Dari pesantren, Menag mengaku
memahami peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini
penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya
esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan
manusia,” ujarnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
mengapresiasi kiprah pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat
Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi. Menurutnya, hal
itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren itu sendiri
yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan
halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah
keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait
keilmuan” tutur Menag. Keikhlasan
para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal
ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut
dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak
bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap
mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa
entrepreneurship tinggi, sehingga
sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta.
“Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri
mempunyai jiwa ke thawadu’an yang tak
diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan
keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan
ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam
norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada
liberalisasi,” jelasnya.
Bebas di sini, tambah Menag, adalah
suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri.
Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah
pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya.
Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap
menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa
yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa depan santri,” urai Menag panjang lebar.
Demikianlah, pesantren menjadi pusat
penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh
posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya
di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang
spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat
sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan
memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan wali
dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata
rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan
nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan
akhirat. (Brunessen, 1999:20). (*****)
5 Peran Ulama pada Masa
Kemerdekaan dan Refleksi Hari Santri
Nasional
Gagasan Hari Santri Nasional yang
diperingati setiap 22 Oktober menjadi
sebuah rutinitas ceremonial (upacara) kenegaraan baru namun perlu disambut
dengan positif thinking.
Hari
ini tanggal tepat 22 Oktober 2015 pada kalender Nasional ditetapkan sebagai Hari
Santri Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo dengan lewat Keputusan Presiden
(Keppres) No 22 Tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta patut disambut dengan positif thingking. Kenapa hari ini
dipilih sebagai hari santri? Keppres tersebut telah diteken oleh Presiden
Jokowi 15 Oktober. Penetapan Hari Santri sendiri telah dijanjikan Jokowi saat
berkampanye di Pilpres 2014. Alasannya adalah untuk menghargai jasa santri yang
ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada
hari ini, bertepatan dengan 70 tahun yang lalu dikeluarkankan fatwa Jihad oleh
AlHadratus Syaikh Hasyim Asy’ari al Basyaiban. Dengan demikian 22 Oktober 1945
bagi santri Nahdlatul Ulama pada saat itu pada saat itu keluarnya Fatwa
berperang (jihad) melawan Kompeni Belanda.
Keluarnya
berperang melawan segala bentuk penjajahan dunia sebelumnya sebenarnya sudah
dilakukan oleh AlHadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sejak pertama kali Asyaikh
membuka pesantren. KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama
yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim
Asy’ari merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai
Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah
selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara.
Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan
dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Asy’ari
mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH.
Hasyim Asy’ari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap
tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya
mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim
meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren
ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo,
Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi
Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang
dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan
Kyai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan,
Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa
benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai
ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun–
Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri
kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja
mendapat ilmu, melainkan juga istri.
Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah,
salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama
istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana,
Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893,
ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7
tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At
Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani,
Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten
milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren
Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani
dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa
sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual
hasil pertaniannya baik padi maupun palawija serta rempah-rempah. Dari bertani
dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang
dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik
Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng
terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun
sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio
Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak
bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat
itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28
orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali
harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka
sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah
kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan
Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah,
(2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul
Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah
kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang
putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad
Ya’kub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama
besar, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH. Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu
saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai
Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya,
seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan
tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah
Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami
sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar
di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena
sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain
menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah,
keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului,
karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi
seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang
sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah
Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri
NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh
sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan
saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat
kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama,
terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu
mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang
dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai
Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim.
Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri
Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh
luas. KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul
Arifin, KH. Wahid Hasyim (anaknya, salah satu founding father Republik Indonesia) dan KH. Achmad Siddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi
pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di
Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa
pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren
di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi
gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim Asy’ari al
Basyaiban.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai
Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha
untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan
penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Karuan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada
l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya
tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya,
ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal
perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun
1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai
Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat
piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan
taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara
adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya,
hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan
serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga
masa-masa revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia
Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi
kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang
menggabungkan antara kebijakan represif
dan kooptasi, sebagai upaya untuk
memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang
adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan
kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan
membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol
penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga
wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali
berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan
tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya,
Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara
Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada
di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam
tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus
Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total.
Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai.
Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat
Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai
Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan
santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid
Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang,
terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara
NICA Nedherland (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha
melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan
Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan,
Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10
November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu
keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati
sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum
meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai
politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi
umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode
tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal
sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar
perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan
Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Para ulama dianggap oleh para penjajah
sebagai ‘Pendeta Islam’ itu ternyata merupakan golongan yang paling aktif dalam
setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah campuran antara orang
Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah besar berkeliling dari negara satu ke
negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan hasutan mereka, pemimpin
pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh orang Eropa, yang
mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.”
Kedua,
memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda. Para ulama di masa
penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk
menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota. Ketika Belanda, di masa
revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan ongkos dan
fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di daerah jajahannya, KH Hasyim
Asy’ari —pemimpin para ulama di Jawa—menentang. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa
pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan kapal Belanda hukumnya haram.
Ketika
posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka meminta orang-orang
Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk mempertahankan Indonesia
melawan musuh Jepang. Waktu itu Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa yang terkenal,
yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerjasama dengan
Belanda dalam bentuk apapun.
Setiap
bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan mendukung Belanda selalu gagal dilakukan.
Bahkan tawaran Belanda yang akan menganugerahkan bintang jasa terbuat dari
perak dan emas pada 1937 ditolaknya. Gerakan non kooperatif pada penjajah itu
juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama lainnya.
Ketiga,
mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat
besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan
penjajah dianggap jihad fi sabîlillah,
yakni perang suci atau perang sabil demi agama. Ajaran perang suci ini muncul
di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada masa
krisis, yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah
medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidin—ajaran utama tahun 1889—bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang
diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb.
Jihad merupakan kewajiban moral (fardu
ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk
mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam. Padahal pada waktu Muktamar HBNO (Hoolfbestuur Nahdlatoel Oelama) 1928 di
Banjarmasin Kalimantan, HBNO telah menyebut sebuah konsep Negeri Darussalam
(sebuah negeri yang penuh aman, sehat, adil makmur, sejahtera dan penuh
keselamatan).
Perang
Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar lima tahun (1825-1830) juga karena
alasan serupa. Dalam proklamasi dan permintaan dukungannya pada ulama,
bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro—pangeran yang juga
ulama—menekankan bahwa ia adalah pemimpin ‘perang sabil’, perang suci, untuk
mengusir Belanda yang tidak beriman dari Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin
di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menghimbau mereka “untuk ikut melawan Belanda di
seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi kerajaan berdasar agama
yang benar (ngluhurken agami Islam)”.Dalam
menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari,
dan ulama-ulama lainnya.
Setelah
penjajahan Jepang berakhir dengan kekalahannya pada Perang Dunia II, Belanda
dan pasukan Sekutu berusaha menjajah Indonesia lagi. Saat itu, Resolusi Jihad
yang dikeluarkan para ulama NU, sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan
perlawanan rakyat terhadap Belanda dan Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa
KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kemudian dikokohkan
pada Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946.
Resolusi
Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban fardu ain
bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau
kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anak-anak,
bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar jarak 94 km (jauh),
kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup dikerjakan oleh sebagian
saja. Keberhasilan pertempuran Hari Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya tak
lepas dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh,
Pemberontakan Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat Singaparna di Jawa Barat,
dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa jihad dari para ulama.
Mengenang hari santri pada hari ini tepatnya tanggal 22
Oktober 2015 setidaknya mengenang jasa perjuangan salah seorang pejuang dan founding father bangsa ini KH Hasyim
Asy’ari. Setidaknya dimana rekam jejak KH. Hasyim dari kurun waktu 1899 sampai
1913 dalam membangun pesantren Tebuireng tidak mudah. Pesantren Tebuireng
sempat dibakar Belanda pada tahun 1913 karena perlawanan halusnya kepada
pemerintah. Namun saat itu KH. Hasyim menasehati santrinya agar tidak melakukan
perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya waktunya dianggap belum tiba.
Sebuah kesabaran yang luar biasa dari sosok seorang ulama
dan pejuang, AlHadratus Syaikh sampai menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang
untuk membiayai pesantren. AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner (pengusaha) yang sukses, Jatuh bangun membangun nama
besar Tebuireng, sebagai sebuah Pondok Pesantren. Namun berkat kesabaran, semua
rintangan beliau lalui dengan sukses selain bertani, berkebun, berdagang kuda
dan rempah-rempah di Surabaya.
KH. alHadratussyaikh Hasyim Asy’ari alBasyaiban juga seorang
pendidik modernis. Akan tetapi model pendidikan pesantren yang saat itu juga
bersamaan dengan cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat
yaitu Dinniyah School dan Sumatra Tawalib School serta Madrasah Jamiat Kheir Tanah Abang Lembaga
Rabithah Alawiyah. KH. Hasyim Asy’ari
juga menjalankan sistem yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal
dipesantrennya pada 1916. Pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf
latin , ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren
pun dilengkapi dengan dengan bangku dan meja. Pembaruan dan pembaharuan ini
sempat menimbulkan reaksi cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua memindahkan
anak-anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dianggap terlalu modern.
Kesadaran bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga
melahirkan salah satu santrinya yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asy’ari
yang juga tidak lain adalah anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya
jauh sebelum Hasyim meninggal, Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin
Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis
Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO. KH. Wahid Hasyim pernah diminta
pulang ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes
Tebuireng jumlah santrinya berjumlah 1500 orang.
Semasa kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna
tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pesantren tidak melulu
diajarkan pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non
agama seperti Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda dan Inggris. Dalam proses belajar KH. Wahid juga
menekankan pentingnya proses dialogis (discusy)
antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar.
Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid
Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya.
“Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,” kata KH. Muchit
Muzadi (alm) sebagaimana dikutip majalah
Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45.
Selain perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A.
Wahid Hasyim juga membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi
perpustakaan. Ragam bacaan mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan
majalah. Pada waktu itu perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan
Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan
Kementrian Sosial sekarang-red).
Perkembangan pesat Tebuireng juga diganggu Perang. Pada
pertengahan 1948-setahun setelah
Wahid menggantikan Bapaknya,
pasukan Belanda masuk Jombang bahkan merangsek masuk pesantren. Santri
Tebuireng berpencar kemana-mana, sementara KH. Wahid Hasyim beserta keluarga memutuskan pindah ke
Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh Masyumi apalagi setahun
kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Tebuireng saat itu
dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim dan KH. Ahmad Baidlowi. Ditengah
kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid Hasyim tetap memantau perkembangan
Tebuireng, semua santri yang terpencar di mana-mana dipanggil kembali untuk
meneruskan pelajaran.
Kata Jihad (berperang)
dikeluarkan pada saat penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan
keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian
ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut positif,
karena mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era sekarang di saat Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan berperang, kita diajak
untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga
diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas perguruan tinggi
mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran
P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer
berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad
juga tidak harus memanggul senjata dan berperang.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di
atas panggung podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad
harta (bil mal), jihad tenaga dan
ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul
fiqry, sampai ijtihad, orang yang
sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun
sangat sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam)
dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya
dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan
kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang
besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy).
Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada
abad 19-an yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk
AlHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara
dan dunia pada saat itu. Ketujuh tokoh
tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad
Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh
At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al
Banyumasi dan Syaikh Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada
akhir abad 18 dan awal abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh
tokoh dari Indunisie di muka.
Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam
awam dalam bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di
tanah Jawa mulai dari menulis ilmu
fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam,
yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon.
Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon,
Syaikh Saleh Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang
ingin melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang
belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab
kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan
atau arab gandulan (karena ada
pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar
guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada
waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda. Sementara para ulama di atas
mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti Mekkah saat itu. Sementara
untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.
Kembali kesoal dunia santri, santri bila dilihat secara harfiyah terdiri dari lima huruf; Sin, Nun, Ta’, Ro dan Ya’. Kelima huruf itu mempunyai arti
tersendiri. Pertama huruf Sin,
berasal dari kata salikul fil’ibadah (melaksanakan
ibadah). Nun, berasal dari kata naibun ‘anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika masih
hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta’
berasal dari kata taibun artinya
santri senantiasa bertaubat dari melakukan dosa
dan menjauhi maksiat. Huruf keempat Ro’
berasal dari kata roghibu artinya
senang mendatangi tiap-tiap kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara
yang bajik (baik, bagus), santri selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf
kelima Ya, berasal dari kata yaqin. Satri harus yakin dengan
pembagian nikmat dari Allah Subhannallah Wata’ala
Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren “Al
Kautsar” Babadan Kediri; 2002).
Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang
mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren
(tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri dengan
dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan
Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah
agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah
berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat.
Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan
pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak.
Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih
dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang
mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di
Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri
melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam
pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom,
1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat
pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat
cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa.
Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w.
1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran
ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga.
Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama
kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren
ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada
tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di
Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah
di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian,
murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura,
Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga
semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20.
Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan
orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang
kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang
Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan
mengajarkan kitab agama Islam.
Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian
umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya
untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar
lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah.
Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran
Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih
dalam masa belajar tidak berfikir yang penting sebagai santri mencari
kepintaran dan masih perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan
Ulama di Pesantren, yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi.
Demikianlah uraian seputar dunia santri, Manghayubagya
Hari Santri Nasional yang pertama semoga sinar agama Islam tetap berkibar
ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga cita-cita Negara dan Bangsa Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman,
adil, makmur penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin
Amin Ya Mujibas Sailin. (*****)
6 PErAN NU PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN RI
Sejarah mencatat Tinta Emas kemerdekaan RI
tidak jatuh dari langit, namun melalui jalan panjang pergerakan umat Islam
Indonesia. Jejaring ulama pada 18-19 yang banyak menimbulkan korban begitu
banyak di kalangan rakyat, mulai dari Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang
Padri, Pemberontakan Petani Banten, membuat sebagian tokoh cendekian terpelajar
merubah pergerakaan yang tadinya non kooperasi menjadi kooperasi sembari
menyatukan barisan untuk sebuah pergerakan melalui jalur pendidikan.
“Pergerakan tanpa pendidikan adalah
pemberontakan” sangat pas lah untuk
menggambarkan perjuangan umat Islam pada masa untuk mencapai cita-cita bersama
atau mimpi besar (great imagine) masa
depan gemilang. Munculnya Jami’at Kheir, NU, Muhammadiyyah, Masyumi adalah
upaya –upaya organisasi Islam untuk
memperjuangkan anggota-anggotanya.
Nahdlatul
Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran
yang berliku-liku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang
bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam
memimpin umat menuju terciptanya izzul
Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin)
Kongres
Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima
di Bandung (5 Februari 1926), kedua Rapat Akbar Umat Islam Indonesia ini untuk
memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah.
Kongres
Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam
modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah
mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu
keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas
Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah.
KH
A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam
perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis
agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan,
membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang
menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya
dikesampingkan oleh kalangan modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik
Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya
Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil
inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior.
Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang
datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah
sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu
dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak
Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik).
Baru
setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah
pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri
sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan
Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud.
Pertemuan
bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh,
seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi
(Kudus), KH Ma’sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi
Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH
Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono),
KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa
Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal
10-11).
Pertemuan
para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah
sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama
Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina
masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang
dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926,
HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara
oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai
oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli
Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”
Dalam
forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh
KH Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel
Oelama) dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah.
Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara
lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad
Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus
menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud
menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan
ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan
menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Sampai
sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat
sulit dilacak. Hanya saja sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan
KH. Rois Said berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan
Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54
menyebutkan, Hasan Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas
Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari “marga” Gipo sehingga nama Gipo
diletakan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan
Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, saqaf
(pelindung, atap para wali) dan al-dien
(agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga
dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah
keturunan Abdul Latief Gipo.
Gipo
yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya.
Hingga kampung tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini
mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks
Masjid Ampel.
Gang
Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik. Sebagai orang yang punya
keturunan Arab, Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk
dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian
keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik.
Baru
sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh
KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang didampingi KH Hasyim Asya’ri sebagai Rois
Akbar HBNO dengan KH Wahab Chasbullah sebagai Katib ‘Am. (Sumber: surat
permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 M oleh kuasa
Nahdlatoel Oelama yakni KH Said bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru
merespon permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam
besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam
Statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis
dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas
nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini
berada di Universitas Leiden, Belanda.
Kantor HBNO
Presiden HBNO
pertama, H. Hasan Gipo, menempati sebuah rumah yang sederhana sebagai
sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan
otonom NO yakni barisan pemuda Anshor berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya.
Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul meletusnya perlawanan rakyat
melawan penjajah pada 10 November 1945. KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa
Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi
Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH
Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9,
Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus pemberontakan PKI Madiun dan
disusul dengan Angresi Militer Belanda II. Akhirnya kantor PBNU kembali
dipindahkan ke Surabaya. Sejak ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta,
1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta. Ruangan kantor PBNO terletak di Jl
Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah timur stasiun Gambir. Ruangan
tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang ‘Waras’, sebuah perusahaan dagang
milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim, Zainul Arifin dan Achsien.
Sekalipun
berpindah-pindah kantor, NO telah menjelma menjadi ‘bayi raksasa’ seperti yang
telah diramalkan KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat
telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan menadapat dukungan yang
luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf. Tak mengherankan jika pada
Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun persiapan, NO mampu menduduki
tiga dari the big four (empat besar) pemenang pemilu dengan jumlah pemilih
6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi keempat ditempati PKI.
Tentu, untuk ukuran
sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di
Indonesia, kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH
Saifuddin Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk
mencari tempat yang lebih layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH
Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164.
Ketika melihat
bangunan fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya,
gedung tersebut hanya layak sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin
bahwa letak yang strategis dan harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan
dapat diangsur dua kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang
baik dan harga terjangkau PBNO karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang
menggembirakan. (sumber: Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT
Gunung Agung, 1987).
Selain itu ada cerita
menarik lainnya, dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai
kesukaan yang sama yakni makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh
yang terkenal sangat nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat
164 sebagai kantor PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri.”Letaknya
kan hanya 300-400 meter dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan
kita,” kata Dahlan kepada Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari
sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti
diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya
dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4
partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara
200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati
Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI.
Hingga kini, setelah 70
tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan sebagai
kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI,
gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan.(***)
7 Berdampingan Membangun Betawi
Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama
lokal Betawi, di Jakarta atau Batavia itu. Ada sebutan Habaib yang menandakan
bahwa ia adalah anak keturunan Rasulullah SAW
Para Habaib itu datang ke Betawi sejak jaman penaklukan
Sunda Kelapa oleh R Fatahillah (Jatinegara Kaum) dan seiring migrasi
besar-besaran dari tanah Hijren terutama pada abad 18. Dalam dunia Islam, baik
dari sunni maupun syiah, di Arab maupun di luar Arab, bertarikat ataupun tidak,
dikenal dengan adanya golongan-golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau
sebagai keturunan nabi.
Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling
valid atau benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah
Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam
pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena
hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian
dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang
bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan
letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat
dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di
belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara
Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh
Post Kolonialisme.
Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat
khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta
pelindung tanah suci.
Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan
Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang
memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain
sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini
dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin,
para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang
masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh
masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai
perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum
Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa
orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam
Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini
dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan
berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah
keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti
Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini
ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di
antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya
masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat
(India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di
Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah
bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya
yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib
Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib
Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai
kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam
Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar
bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid
al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin
atau qabilah Ba’alawi
dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak
hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena
mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar
Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah
julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi
Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam
arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi
anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu
berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam
Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa
yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini
dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya
melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya
menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru
diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang
datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia.
Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan
jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan
orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad
pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk
berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan
berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul
banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah
islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut
dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua
adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya
adalah kaum Sayyid (Syarif).
Berjuang
Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan
Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama
Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia,
ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung
yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini
pernah dinamai Raffles House.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun
Bataviasch Genootschap — lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen
— Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan
Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al Qur’an yang
kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.
Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa
Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi
Nasrani itu mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. ”Jika
kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang
berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris
saat itu.
Seperti layaknya meneruskan perang Salib, sekalipun tidak
sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk
terhadap para mubaligh dan kiai — figur yang dihormati di masa penjajahan.
Ia memang banyak belajar dari kekalahan kumpeni pada Sunda
Kelapa yang saat itu ditaklukan R Fatahillah. Sesudah Sunda Kelapa kembali berusaha
direbut VOC Kumpeni, tetapi itupun sangat tidak mudah bahkan terus menerus
mendapat perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh kyai dari Jawa, para ulama dan
Jawara, pendekar Banten yang bahu membahu mempertahankan Sunda Kelapa atau
Batavia dari pendudukan penjajahan asing.
Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925
pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan
dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan
pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini — sekalipun oleh para ulama Betawi
tidak diindahkan — lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak
lembaga pendidikan Islam bermunculan.
Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah
bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal
berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh
berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.”
Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, Prof Dr
Abdul Karim Amrulah (HAMKA) yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan
Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam.
Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air —
meskipun keduanya dimasukkan ke dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.
Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi
banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang
Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang
berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi,
kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak
menghasilkan ulama terkemuka.
Seiring dengan arus urbanisasi itu, mereka datang ke Sunda
Kelapa pada waktu itu. Ini
bisa dilacak dengan kedatangan para Habaib di bumi Betawi di makam-makam
keramat yang ada di Luar Batang, Kramat Bandan, Koja, Kwitang, Al Hawi,
Kalibata dll yang menandakan bahwa kaum Habaib tidak membentuk komunitas
sendiri menjadi kaum Arab, namun bersimbiosis dengan ulama lokal Betawi dalam
bahu membahu pergerakan dakwah Islam dari masa lalu hinggi kini. Pergerakan
jalur maritim lewat pantai utara Jawa yakni Pelabuhan barang Tanjung Priok dan
Pasar Ikan Muara Angke.
Yang awalnya komunitas penduduk itu berada di belahan utara
Jakarta sedikit demi sedikit bergeser ke arah Selatan atau Kota mulai dari
Pekojan, Tanah Abang, Senin, hingga akhirnya kawasan kampung Arab tidak bisa
menjadi dominasi penduduk karena Jakarta sudah bercampur baur. Ada mungkin
orang akan mencari jejaknya lewat kumpulan makam Habaib Arab yang ada di Kramat
Luar Batang, kampung Bandan, Al Hawi Cililitan, Kalibata, hingga Bekasi, Depok,
Bogor bahkan Banten. Keberadaan makam para Habaib ini tetap lestari karena
ziarah makam, peringatan Maulid dan Haul (memperingati hari meninggalnya orang),
upacara menikah, tasmiyah (aqiqah,
pemotongan rambut pada bayi) sampai upacara saat meninggal menjadi tradisi dan
adat kalangan Habaib.
Berdampingan
Kaum Habaib sangat
terbuka dan berjalan seiring berdampingan dengan ulama setempat, karena ajaran
Islam yang dibawa sama, bahkan ulama lokal banyak berguru dengan Habaib dan
Habaib juga banyak berguru dengan ulama Betawi yang berbobot.
Sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya
cukup menonjol masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang
berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui berkiprah
dalam melaksanakan ibadah haji saat ini — dengan pesawat udara — hanya perlu
waktu 10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar.
Perlu waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko
selama pelayaran.
Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak
yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena
perjalanan yang begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang
tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah al Maukaramlah.
Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi
sebagai nama keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan
nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al
Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Al Banjari dari Banjarmasin, Syech
Basuni Imran al Sambasi dari Sambas dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.
Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19
(1834), Syech Junaid, seorang
ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat
termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syaikh Junaid al Betawi, yang
diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama Mahzab Syafi’ie, juga mengajar
agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para
mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di
tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan Jakarta Barat, ini.
Enam ulama Betawi mulai Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru
Mansyur, Guru Madjid, Guru Mahmud dan Guru Khalid juga dikemudian hari yang
hadir sebagai simpul pengikat mata rantai emas keilmuan (sanad ‘ilm)
dari hampir setiap ulama di kemudian hari. Keenam guru utama ini adalah murid
terkemuka Syekh Junaid Al Betawi.
Selama itu di Betawi bukan sepi oleh perlawanan rakyat.
Justru bersamaan dengan berakhirnya Perang Diponegoro, saat itu di Betawi
muncul awal letupan-letupan sosial sebagaimana Kisah Si Pitung, Jampang dan
Entong Gendut dan nun jauh di bagian barat Betawi yakni bagian paling Barat
Pulau Jawa, Kab Cilegon (sekarang Provinsi Banten-red), muncul pemberontakan
lokal petani desa oleh Haji
Wasit, H. Abdul Karim, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji
Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail.
Ulama-ulama lokal yang pergi haji, kemudian banyak belajar
dengan Syaikh Junaid di Mekkah. Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua
orang puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri,
seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta
Pusat.
Seorang puteri lainnya yang menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua
puteranya, Syech Junaid yakni As’ad
dan Arsyad, menjadi pelanjut
ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam
usia 100 tahun.
Kawasan Pekojan dikenal melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji’un, dan
Kyai Syamun. Termasuk Habib Ustman bin Yahya dan Guru Mansyur dari Kampung
Jembatan Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena
memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk,
”Betawi, rempug.”
Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Al Habsji
(1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman,
adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman yang melukis gambar
Pangeran Diponegoro bertempur dengan seekor macan.
Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib
Ali, seperti KH R Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun dan KH
Sjafi’i Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di
Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad.
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut
mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan — sebagai bagian dari jihad
fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima),
KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Al Hamidi (Matraman). Ada
ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.
Di antara murid Syekh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya
masih tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri
kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah).
Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syech Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri
Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru
Mujtaba tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena
alimnya, guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah
suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan
dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech
Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki Cipinang Muara Jakarta Timur, yang hingga kini
memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya
kepada kedua orang tuanya. Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian
menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi’ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan
Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam
(Assyafiiyah dan Tohiriah) itu kini berkembang pesat sekali. Keduanya memiliki
sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinya
menangani 63 lembaga pendidikan Islam.
Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta
Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan
masjid yang megah. Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi
cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah
selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie — perguruannya
menghasilkan ribuan orang — di antara mereka kini menjadi tokoh agama dan
pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia.
KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu
mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan
masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an.
Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.
Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk
partai Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode
pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH
Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap
Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian,
yang jamaahnya cukup banyak.
Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir
Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh
Belanda karena keberaniannya di front terdepan Bekasi — Karawang — Purwakarta,
KH Fathullah Harun, KH Zayadi
dari Klender, Mualim Tabrani,
Paseban, dan sejumlah kyai lainnya.
Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafi’i Hazami, mantan ketua MUI
Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota. Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki
tiga buah pesantren yang kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan
Tugu (Sawangan Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak
tingkat TK sampai SLTA.
Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga
pesantren — sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok — KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH
Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di
sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran.
Sementara, kakaknya, Hj
Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas
Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH. Abdurahman Nawi sendiri
merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga
tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah
sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.
Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Al Habsyi, putera
Habib Muhammad Al Habsji dan
cucu Habib Ali Kwitang. Pada
awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang
diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid
perempuan ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali
yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama
Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir
bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama
Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya.
Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Al Hazami. Yang
belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Mantan Gubernur
DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan
penulis produktif adalah KH Ali Al
Hamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti
Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Al Hamidy setiap
minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di
masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di Sumatera. Termasuk
masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah
Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan
Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis
naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi
Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla
maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap
tabu. Pada masa itu di Betawi sejaman dengan Singa Podium Jakarta Habib Novel
bin Salim bin Ahmad Jindan alm, Habib Syekh Ali Jufri alm (Condet), KH Syukron
Makmun, KH Hasyim Adnan (Kayu Manis) dll.
Perjuangan Habib Alawi kemudian diteruskan oleh puteranya,
Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo forum alim
ulama Betawi yang pada waktu itu dikomandani KH Saifuddin Amsir ke DPR menolak
SDSB. Keluarga Jamalullail termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari
Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung
Malaysia sekarang ini juga dari keluarga Jamalulail.
Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala
Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC.
Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari
segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung
Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak
menjadi juru dakwah yang handal. Mereka telah mempelopori berdirinya
surau-surau di Jakarta — yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung
Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875.
Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al
Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia
berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujtaba bin Ahmad Al Betawi.
Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Ustman, pengarang
kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori
penggunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri
serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang
dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi
orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala
penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan
terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala
penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul
beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri atau Hari Idul Adha.
Tahun 80 sampai akhir tahun 2000 an gaya berdakwah ulama
Betawi tetap berbobot dan bersahaja. Di balik riuh denyut ibukota, kehadiran
gaya orasi KH Zainudin MZ (alm) adalah cukup fenomenal sebagai awal kebangkitan
dakwah di akhir abad 19 karena banyak menyedot perhatian dan simpati puluhan
ribu pengunjung dan dakwah Islam menjadi menarik bisa masuk ke acara televisi,
media telivisi dan elektronik.
Kemunculannya lewat polesan KH Dr. Idham Khalid alm semasa
menjadi ketua NU dan sekaligus Ketua PPP pada waktu itu, di kemudian hari
menjadikan gaya berdakwah KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (Bang Haji) pada
Pemilu 1977 menjadi rujukan banyak ustadz dan kyai yang masuk ke dalam dunia
televisi dan media. Mulailah bermunculan dai-dai bintang ibukota yang lahir
dari sentuhan dingin dari Habaib dan ulama Betawi.
Dengan demikian, selain arus gelombang urbanisasi pada kurun
tahun 70-90 an dan simbiose mutulalisme masyarakat setempat pada akhirnya
banyak juga melahirkan ulama-ulama yang sebelumnya belajar pada ulama-ulama
lokal bahkan internasional kemudian masuk ke ibu kota berbaur dengan tradisi
masyarakat setempat, seperti Buya Hamka alm (Univ Hamka), KH Sukron Makmun
(Ittiihadul Mubalighin, Ponpes Darul Rohman, Kebayoran Baru), KH Abdurrahman
Wahid alm (PBNU Ciganjur), Prof. Dr. Nur Kholismadjid alm (Paramadina), KH
Iskandar Noer As-Shidiqy (Assyidiqiyah Jakarta Barat) dll dan belakangan
seabrek ustadz-ustadz muda muncul ke panggung dakwah seperti Ustadz Jefry
Bukhori (alm), KH Arifin Ilham (Ad Zikra Depok), Ustadz Solmed, Ustadz Guntur,
Ustadz Cecep, Ustadz Maulana, Mamak Dedeh dan yang jelas bukan ustadz dadakan
dan ustadz karbitan dll.
Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak melulu berada di atas
panggung podium (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul
fiqry, sampai ijtihad, orang yang
sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun
sangat sulit) namun para ulama dan Habaib juga berdakwah (bil kalam)
dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya
dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan
kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan. Ada banyak ulama
Betawi yang cukup banyak dikenal produktif menulis kitab bukan sekedar
penerjemah seperti Dr Nahrowi Al Indunisie alm (Mampang), Syekh Muhadjirin
Amsar Ad-Dari alm (Bekasi Utara), Guru Mansyur, Syaikh Junaid Al Betawi, KH
Syafi’i Hadzami, dll.
Tentu berbeda dengan gaya ustadz baru pada jaman sekarang
yang mudah tergiur oleh perang tarif dan rating di media, sehingga mudah pasang
harga. Sudah barang tentu pergerakan ustadz jaman sekarang, akan mudah terkikis
oleh para ustadz dan Habaib kampung Betawi yang ikhlas berdakwah dan mereka
cukup berbobot secara keilmuan dan mereka kuat menjaga tradisi dalam menjalankan ajaran agama.
Ulama dan Habaib lokal Betawi juga dikenal sangat keras dan
kuat serta energik dalam mengembangkan syiar Islam di berbagai majlis taklim
dan pesantren yang begitu banyak tersebar seantero Ibu Kota Jakarta, karena
sangat jelas mereka sangat mengerti ilmu agama (‘alim) dan bisa dijadikan petunjuk (mua‘alim). Untuk
mendapatkan mereka sangat mudah, cukup hadir dengan melakukan rihlah dan
silaturahmi di banyak acara pengajian, peringatan Maulid atau Haul ulama serta
Habaib yang ada di Jakarta.
Ulama dan Habaib di Jakarta dapat dikatakan berdampingan
dalam berdakwah. Lahan dan garapan umat yang mendiami kota Jakarta yang sangat
luas serta ber ragam, namun masih dalam satu nafas gerakan Islam, satu Thariqah
(jalan) yakni Thariqah Islam Ahlus Sunnah wal Jamma’ah.
Pluralitas dan keberagaman aliran serta madzhab dalam Islam
yang bersebar di berbagai lembaga agama, organisasi masa bahkan partai politik
bila dikelola dengan baik tentu saja dalam pengembangan dan penyebaran ajaran
Islam yang penuh Rahmatan Lil ‘Alamin
ini dengan cara-cara tawassut, i’tidal,
toleran dan mauizah’idzotil khasanah
akan melahirkan kekayaan khazanah keilmuan (dapat menjadi al ikhtilafu ummah ila rahmah) dan budaya Islam yang menjadi modal
sosial dalam membangun negeri. Jadi gerakan modernisasi dan yang puritan tradisional
dalam Islam sebenarnya bisa berjalan seiring dan seirama dalam menyongsong masa
depan yang lebih baik.
Yang mencirikan pergerakan Habaib adalah pada masa kini,
kalangan ini biasa di sebut kaum Alawiyin, karena bernasab dengan jalur
keturunan Rasulullah SAW dan berbagai pesantren serta majlis taklim yang ada di
Ibu kota ini
tidak menjadi ekslusif, namun semakin terbuka menerima murid atau jamaah anak
muda, sehingga tidak heran Majlis Taklim yang awalnya hanya terkenal di Majlis
Taklim Minggu Pagi Habib Ali Kwitang Kawasan Pasar Senin, Jakarta Pusat, kini
banyak bermunculan semacam Majlis Taklim Habib Munzir (alm) yang terkenal
dengan Majlis Rasulullah SAW, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Mustofa
Alaydrus Tebet, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Hasan bi Jakfar Assegaf dan
ribuan majlis Taklim dan pesantren yang tersebar di seantero Betawi saat ini.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya
pepohonan menebar hawa sejuk keshalihan , seluruh penjuru kota Betawi hingga
sekarang. Tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bumbungan asap
polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta bisa dibilang hampir tidak pernah
sepi melahirkan tokoh –tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah
perjalanan syiar Islam Nusantara. (***)
8 Peran Strategis Ulama Indonesia Masa Kini
Dalam
membangun bangsa yang maju besar dan beradab, agama memiliki peran yang sangat
besar. Sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak dulu Ulama-ulama berperan
sangat besar dalam mengayomi dan membangun masyarakat, baik melalui pendidikan,
dakwah dan lain sebagainya.
Peran
ulama yang sedemikian besar itu diemban oleh para ulama tidak lain karena ulama
adalah pewaris dari ajaran naby (al
ulama’ warisatun anbiya, sementara tugas ulama selain liyatafaqqahu
fiddin, mengggali, merumuskan dan mengembangkan
pemikiran keagamaan, tetapi juga memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya dan
bahkan sangat strategis yang berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaaan
yaitu tugas liyundziru qaumahum
(membangun masyarakat) yakni membentuk kepribadian.
Dalam
kaitan dengan masalah masyarakat, Ulama masa kini memiliki beberapa tugas pertama
adalah pembangunan mental-spiritual, pembentukan
kepribadian atau karakter masyarakat (character building)
ini sangat penting agar lahir kader orang-orang atau masyarakat yang
memiliki sikap, memiliki ketegasan, memiliki prinsip serta memiliki tanggung
jawab baik terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia dan terhadap bangsa dan
Negara. Karena itu para ulama memiliki tugas kedua yaitu
nation building (pembangunan
bangsa).
Dengan
adanya pembantukan karakter (character building)
itulah nation building
(pembangunan bangsa) bisa dilaksanakan dan ini merupakan modal dasar bagi state
building (membangun Negara). Dengan nation
building ini maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
yang disegani, karena memiliki kepribadian nasional yang kokoh, sehingga bisa
berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa beradab yang lain.
Tugas
ketiga adalah criticism
buiding (membangun sikap kritis), ini sesuai dengan
prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Sebagaimana sering ditegaskan bahwa sikap ulama terhadap negara taat mutlak
bahwa negara harus dijaga dan dibela, tetapi terhadap pemerintah yang ada ulama
menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sementara dalam melakukan amar
ma’ruf sendiri perlu menggunakan etika,”Amar ma’ruf bil
ma’ruf.”(Barangsiapa mengajak kebaikan maka dengan cara yang baik pula). Pun demikian dalam mencegah
kemunkaran dengan cara-cara yang baik pula,
mauidzotil khasanah (nahy munkar bil ma’ruf-red).
Sikap
kritis Ulama dalam mendukung atau mengkritik pemerintah ini didasari oleh
pertimbangan etis, bukan oleh pertimbangan politis, karena itu akan dilakukan
terus walaupun Ulama sudah banyak di Partai Politik dan Ormas, namun ulama
memang memiliki tugas moral atau etis.
Kembali
pada upaya character building
dan nation building,
ini merupakan langkah yang sangat mendesak saat ini, karena ini merupakan
persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ketika sekolah dan
lembaga pendidikan lain termasuk lembaga kebudayaan yang ada tidak melakukan
tugas ini. Sementara gelombang globalisasi yang begitu besar menghancurkan
sendi-sendi bangsa ini di semua sektor kehidupan, sehingga terjadi kemerosotan
moral, budipekerti, akhlaq dan lunturnya karakter. Penanaman rasa cinta tanah
air dan bangga terhadap sejarah serta peradaban sendiri itu dilakukan karena
berdasarkan pertimbangan bahwa: (barang siapa tidak
memiliki tanah air dan tidak mencintai tanah air, maka tidak memiliki sejarah,
barang siapa tidak memiliki sejarah maka tidak memiliki memori dan karakter).
Bagi
orang atau bangsa yang tidak memiliki memori maka dia akan menjadi bangsa tidak
memiliki karakter, dan bangsa yang tidak memiliki karakter akan kehilangan
segalanya. Politiknya akan hilang, peradabannya akan merosot dan aset
ekonominya pun akan dijarah bangsa lain akhirnya akan menjadi bangsa yang
miskin dan tidak terhormat. Inilah pentingnya menanamkan rasa cinta tanah air,
dan karena itu tidak henti-hentinya, ulama-ulama Indonesia sejak jaman dahulu
menanamkan rasa cinta tanah air. Penegasan pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika dan NKRI ini merupakan bentuk paling nyata dari rasa cinta tanah
air tersebut. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa cinta tanah
air merupakan bagian dari iman (hubbul
wathan minal iman). Dalam pengertian itulah agama ditempatkan sebagai unsur
mutlak dalam nation dan character
building.
(Said Agil Siraj, Pidato Harlah NU ke 89).
Pentingnya pendidikan karakter ini tentu menjadi kewajiban
para ulama untuk membentuk kader-kader pejuang ummat. Syarat-syarat berjuang
bagi ummat Islam di jaman sekarang menurut Prof. Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah” (spiritualisme
sosial) dengan: (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al Qur’an ; (2)
Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunnah dan
sirah (membaca biografi) beliau; (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang
saleh seperti ulama dan tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan
tingkah laku tercela; (5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al Qur’an dan sunnah dengan sikap penuh
percaya; (6) Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah.
KH Sahal Mahfudz dalam sebuah buku Nuansa Fiqih Sosial,
2004 (Yogyakarta: LKiS) telah mengisaratkan akan adanya kemungkinan munculnya
kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis
di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong
persiapan sedini mungkin.
Pembicaraan kali ini menyangkut ulama. Tidak sembarang orang
boleh dan mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang
sering kali tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat. Saya hanya menggunakan
kriteria dan batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin yang
menyebutkan, ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam
berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrawi, senantiasa ikhlas karena
Allah dan faqih dalam segala aspek
kemaslahatan umat.
Dari kriteria itu, yang seringkali tidak dipahami secara
benar adalah sebutan “faqih” bagi
ulama. Ada dua pengertian yang hampir sama, yakni faqih dan mutafaqqih.
Faqih secara harfiah berarti seorang yang alim fiqih. Sementara mutafaqqih adalah orang yang menguasai fiqih.
Kedudukan faqih berada di atas mutafaqqih, karena di dalam mengkaji masalah-masalah
fiqih seorang faqih tidak hanya memahami teks-teks kodifikasi fiqih yang sudah matang, akan tetapi
juga melalui kajian-kajian suplementer, seperti ushul al-fiqh, qowa'id al-fiqh, ishtilah al-fuqaha' dan lain
sebagainya. Sedangkan mutafaqqih adalah
seorang yang hanya menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab
fiqih yang ada. (KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)
Mengapa isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan
garis historis yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu.
Semenjak beberapa abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat Indonesia sempat menjadi sumber ni1ai. Fiqih tidak saja berlaku
sebagai norma yang berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku
masyarakat. Bahkan sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur
yang telah menyatu dengan kehidupan yang ada.
Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan
para ulama yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural
sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari
ajaran fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang
berarti. Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama
sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.
Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan
masyarakat yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan
eksistensi pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi
pembudayaan fiqih itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin (memahami agama) yang
begitu kuat, mengakar dan sekaligus diterima oleh masyarakat pada zamannya.
Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah masyarakat kelas bawah, sehingga
warna konvensional sangat pekat tampak dalam sikap, langkah dan pemikiran
pesantren.
Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian,
pesantren menjadi lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam
kehidupan yang ada. Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang
tidak terlalu asing, aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek
perilaku kehidupannya. Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja
datang dari penjajah, tentu saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah
semakin mendukung langkah pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih.
Sebagai lembaga tafaqquh
fiddin, pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu yang
bermuara pada pendalaman masa’il diniyah
(masalah-masalah agama). Ilmu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam
hal itu, karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang
lain, meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren
sebagai lembaga tafaqquh fiddin
berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika pemerintah kolonial
Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang benama sekolah, untuk
mengimbangi pengaruh pesantren.
Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga
mengimbangi sistem klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan
lembaga pendidikan dalam pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah
adalah terjemahan dari sekolah.
Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski
wilayah garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan
eksistensinya di tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren,
juga tetap menitikberatkan tafaqquh
fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan metodenya berbeda
dengan pesantren tradisional (salaf).
Madrasah-madrasah pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi
setiap lulusannya dan juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan
lain.
Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh
pemerintah yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka
mulai tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi karena ijasah. Dampaknya, eksistensi
pesantren menjadi kabur, bahkan hilang identitasnya secara perlahan.
Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata
diartikan sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih
cukup banyak ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa,
meski profilnya tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang,
di mana para alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran tersebut hanya
merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan pesantren dan bukan
secara kolektif.
Lalu di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada
kriteria al-Ghazali tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita
bisa melihat dan menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh
faktor-faktor eksternal. Produk yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah
alumnus-alumnus pesantren yang kurang representatif untuk disebut ulama.
Memang, kita tidak bisa mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor
eksternal.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangnya animo
santri sekarang ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan
ada beberapa pihak yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji
ilmu-ilmu agama dengan jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja
tidak akan bisa sama persis dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya,
apalagi bagi orang yang telah berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi
dan kemerosotan yang sangat terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak
mustahil akan berubah menjadi satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.
Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan
ditanggulangi oleh beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari
setengah dasawarsa yang lalu, ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama
dalam kehidupan yang semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi. Meskipun
banyak pihak yang kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi
jumlah kuantitas umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya
dihadapi dengan jumlah pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan
tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan
menggeser posisi sentral ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.
Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan
serius bagi para ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat
terhadap kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha'’(ahli-ahli
ilmu fiqih) yang rapih dengan
manajemen dan pendanaan yang memadahi.
Kebutuhan dan urgensi akan lembaga ini pernah muncul dan
dibahas dalam sebuah forum ulama pada sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu,
alhamdulillah sambutan para ulama cukup positif. Saya beserta para ulama
pengasuh pesantren yang hadir mencoba memformulasikan lembaga yang ideal bagi
penempaan kader-kader fuqoha’ yang
alami, zuhud dan ikhlas itu.Alhamdulillah pula, gaung yang ada terus bersambut.
Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk berpartisipasi. Sebagai
contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang diprakarsai Departemen
Agama. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi kebutuhan. Kita masih
menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat sekalian.
Pendidikan Sosial Keagamaan
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk
watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial,
secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat
atau secara abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut
pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi
mikro individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan
berarti masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam
atau sekurang-kurangnya mempunyai nilai Islamiah.
Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai
tujuan, media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa
kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan
menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Ajaran Islam atau lebih khusus syari’at Islam, mempunyai
titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena,
syari’at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual
mau pun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia
dengan alam lingkungannya.
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik
individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu’amalah dan mu’asyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak
menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam,
sehingga menjadikan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah al-mutlaqah).
Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang
cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang
lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra'sumaliah
al-mutlaqah).
Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang
diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab
kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain
berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang
kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain.
Sedangkan prinsip mu’asyarah
dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai dimensi kepentingan dan struktur
sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum, kaum Muslimin dituntut oleh ajaran
Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan
antara kaum Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam
kerangka ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan
sehari-hari.
Dari sisi struktur sosial yang menyangkut stratifikasi
sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya
hubungan lingkar balik antara ulama, umara'
(pemerintah), aghniya’ (orang kaya)
dan kelompok fuqara’ (orang fakir).
Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu’asyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status
masing-masing.
Disiplin sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai
suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai
“ketertiban umum”. Ketertiban itu sendiri merupakan aturan mu’asyarah antar masyarakat baik yang ditentukan oleh
perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan dari suatu
kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku, baik
yang berorientasi pada budaya mau pun agama.
Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran
menghayati dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam
sikap, perilaku, perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam
Islam dikenal ada huquq Allah
(hak-hak Allah) dan huquq al-Adami
(hak-hak manusia). Sedangkan hak-hak manusia pada hakikatnya adalah
kewajiban-kewajiban atas yang lain. Bila hak dan kewajiban masing-masing bisa
dipenuhi, maka tentu akan timbul sikap-sikap sebagai berikut: Solidaritas
sosial (al-takaaful
al-ijtima'i), toleransi (al-tasamuh),
mutualitas/kerjasama (al-ta’awun),
tengah-tengah (al-i'tidal),
dan stabilitas (al-tsabat).
Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat
hubungannya dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan
yang berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi
bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap
itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah.
Disiplin sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal).
Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil
kesimpulan, bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek
kehidupan sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat
dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial.
Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam
pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek
‘aqidah), Islam (aspek syari’ah), hubungan antar manusia (muamalah) dan ihsan (aspek akhlaq, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani
bagi kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial. (***)
9 Pendidikan Berbasis karakter
"Begitu terpilih
sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dalam berbagai kesempatan
mengemukakan pendapatnya, “Untuk membangun bangsa ini dengan melakukan
revolusi mental.”
Revolusi mental hanya
bisa diwujudkan melalui dunia pendidikan (Gramsci). Dalam era globalisasi yang
terjadi saat ini membawa masyarakat Indonesia melupakan pendidikan
karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa
yang sangat penting dan perlu ditanamkan dini kepada anak-anak. Dari kasus
kekerasan yang semakin marak di tanah air ini menunjukan bahwa masyarakat
ternyata mampu melakukan tindak kekerasan yang sebelumnya mungkin
belum pernah terbayangkan. Hal ini karena globalisasi telah membawa kita pada
“penuhanan” materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan
ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.
Banyak faktor yang
menyebabkan runtuhnya karakter bangsa Indonesia pada saat ini. Di
antaranya adalah faktor pendidikan. Kita tentu sadar bahwa pendidikan merupakan
mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan karakter bangsa dan
juga berfungsi sebagai arena mencapai tiga hal prinsipal dalam pembinaan
karakter bangsa.
Ada tiga hal
prinsipal dalam membangun karakter bangsa; Pertama, pendidikan sebagai arena
untuk re-aktivasi karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa
Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kepahlawanan , nasionalisme ,
sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan.
Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau adalah bukti
keberhasilan pembangunan karakter yang mencetak masyarakat maju, berbudaya dan
berpengaruh.
Kedua, pendidikan
sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat
mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk
meningkatkan daya saing bangsa.
Ketiga, pendidikan
sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek di atas, yakni se-aktivasi
sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif , ke dalam
segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pemerintah. Internalisasi ini
harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh instansi dan pemerintah.
Berdasar fenomena
tersebut dan menyadari akan pentingnya pendidikan berbasis karakter sebagai
tindak lanjut dan jalan keluar dari berbagai masalah dan testimoni tantangan
multidimensional dunia pendidikan.
Di mana dunia
pendidikan di Indonesia dinilai belum mendorong pembangunan bangsa. Hal ini
disebabkan oleh ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter
peserta didik, tapi dikembalikan pada pasar. Pendidikan nasional belum mampu
mencerahkan bangsa ini. Pendidikan nasional telah kehilangan nilai-nilai luhur
kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai
luhur. Dunia pendidikan telah kehilangan ruhnya lantaran tunduk dengan pasar
bukan pencerahan pada peserta didik.Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan
menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan , karena kehilangan
karakter itu sendiri.
Selain itu faktor
kemunduran bangsa Indonesia adalah karena bobroknya mental pejabat di
pemerintahan. Ini bisa dilihat dari skor korupsi, di mana Indonesia merupakan
rangking tertinggi sebagai negara terkorup se Asia Tenggara.
Jika melihat kondisi
terburuk dalam korupsi, maka pantaslah bangsa Indonesia mengalami kemunduran
dalam berbagai macam posisi di dunia. Untuk mengawasi permasalahan tersebut,
pemerintahan yang terbentuk di bawah Kabinet duet H. Joko Widodo dan H.
Yusuf Kala (Jokowi-Kala), pemerintah harus membina membangun bangsa dengan
menanamkan nilai-nilai positif (pendidikan berbasis karakter), agar bangsa
Indonesia memiliki karakter yang positif dan mampu bersaing dengan negara lain
di era globalisasi.
Gagasan pembangunan
bangsa yang unggul sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Di mana Presiden Soekarno pada
waktu itu telah menyatakan perlunya nation and character building sebagai bagian
integral dari pembangunan bangsa.
Ir Soekarno (Presiden
1) pada waktu itu menyadari bahwa karakter bangsa berperan besar dalam
mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia. Cukup banyak fakta empiris yang
membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar dalam mencapai
tingkat keberhasilan dan kemajuan bangsa. Contoh pertama adalah bangsa Cina.
Negeri Cina dikatakan tidak lebih makmur di banding Indonesia pada tahun
1970-an.
Namun, dalam kurun
kurang lebih 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah
berhasil bangkit menggerakan mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina
tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan
birokrat (pemerintahan) tanpa pandang bulu baik secara struktural maupun
substansial.
Sementara itu, budaya
kerja keras menampak pada semangat rakyat Cina untuk bersedia selama 7 hari
dalam seminggu untuk bekerja demi mencapai keunggulan dan kejayaan negerinya.
Saat ini Cina tidak saja menjadi pengekspor terbesar, akan tetapi produksi ekspor
Cina semakin banyak yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi
tinggi.
Contoh lainnya adalah
India. Negeri India telah berhasil menjadi berswasembada pangan. Dengan jumlah
penduduk kedua terbesar sedunia, pencapaian posisi kesanggupan memenuhi
kebutuhan pangan secara mandiri merupakan prestasi yang membanggakan.
Keberhasilan ini didorong keinginan yang kuat (karakter) bangsa India
untuk dan membangun dengan kemampuan sendiri atau dikenal dengan budaya
swadesi.
Prinsip inilah yang
membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai
kebutuhan hidup mulai dari paling sederhana seperti sabun mandi
hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan pesawat terbang
dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah (tidak
mempunyai keunggulan kompetitif) dengan bangsa Jepang maupun barat, namun
semangat Swadesi (cinta produk dalam negeri) secara komparatif produk-produk
domestik India telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor yang
sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar
negeri India tidak ada (zero).
Karakter
bangsa-bangsa lainnya juga hampir sama.Prinsipnya adalah ada kombinasi antara
semangat juang, disiplin, dan kerja keras. Indonesia yang memiliki sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah ruah seharusnya dapat
menjadi salah satu bangsa yang unggul di kancah dunia. Namun, untuk mencapai
hal tersebut bangsa Indonesia haruslah berbenah diri terlebih dahulu dan harus
membangun bangsa ini dengan menumbuhkan karakter positif diri setiap bangsa
Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK sebagai rregulator dan instruktur bahkan
sekaligus dirigen dari kabinet sudah terbentuk sejak bulan Oktober 2014 perlu
membangun langkah-langkah strategis agar dapat membentuk karakter bangsa
Indonesia yang unggul dan siap bersaing dengan bangsa lain di era globalisasi.
Beberapa langkah yang
dapat diambil pemerintah untuk membangun karakter bangsa antara lain: Pertama,
menginternalisasikan pendidikan karakter pada instansi pendidikan sejak tingkat
dini atau anak-anak. Kedua, menanamkan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi
kebangsaan bersama generasi muda, yang diarahkan terutama pada penguatan
ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap upaya nihilisasi pihak luar terhadap
nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia.
Ketiga, meningkatkan
daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Daya
saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan
entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era abad ke 21 sekarang ini
namun sudah muncul sejak jaman yang lampau. Daya saing di sini tentunya harus
dipahami dalam arti yang lebih luas. Peran teknologi dan informasi serta
telekomunikasi hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing
dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.
Keempat, menggunakan
media sebagai penyalur upaya pembangunan karakter bangsa. Dimana peran media
ada tiga yakni sebagai informasi, edukasi dan hiburan. Peran strategis ini
dapat diberdayakan pemerintah dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dan
pemilik media dalam penayangan informasi yang positif dan mendorong karakter
bangsa yang kompetitif.
Keempat langkah di
atas hanyalah sebagian dari langkah-langkah strategis yang dapat diambil
oleh pemerintahan yang baru akan terbentuk untuk membangun karakter bangsa ini.
Masih banyak cara yang dapat ditempuh agar dunia pendidikan bangsa ini
memiliki kapasitas daya saing yang tinggi, agar mampu memberikan
komplementasi baik keunggulan komparatif maupun kompetitif pada persaingan
global sehingga mampu menyumbangkan dan memberikan peran pada sektor
perekonomian dan sektor-sektor lainnnya. Semoga! (***) Makalah ini dimuat di http://www.muslimedianews.com/2015/02/membangun-pendidikan-berbasis-karakter.html
20 Februari 2015
10
Misi Pendidikan Islam
Masalah
pendidikan di negara kita telah menarik perhatian berbagai kalangan, mengingat
pendidikan belum bisa beranjak dari masalah-masalah dari kurang berkualitasnya
para lulusan sekolah , masih banyaknya guru yang mismatch sampai kurang
memadainya gaji para guru yang menyebabkan proses pengajaran mereka lakukan
kurang terkonsentrasi.
Berbagai upaya perbaikan
telah dilakukan dengan dibuatnya undang-undang yang menjamin pendidikan yang
memadai hingga peningkatan insentif guru. Tetapi masalah pendidikan itu belum
kunjung reda. Dari aspek kualitas pendidikan, kita berada jauh di bawah
negara-negara maju, bahkan jika kita bandingkan dengan negara tetangga kita
yakni Malaysia dan Philipina. Belum lagi kalau kita tengok kepada bangsa
Indonesia pendidikan semakin hari semakin merosot moralnya. Buruknya kondisi
moral bangsa ini tetntunya berkaitan dengan tidak berhasilnya misi pendidikan.
Banyak orang menilai
bahwa kegagalan pendidikan di negeri ini pada umumnya disebabkan kurang
diarahkannya pendidikan kita pada pembentukan karakter bangsa (nation caracter building). Pengajaran
di sekolah sekolah atau perguruan tinggi hanya difokuskan pada penguasaan siswa
terhadap pelajaran-pelajaran yang diberikan. Mengenai masalah ini, pendidikan
kita memang berhasil meluluskan para anak didiknya setiap tahun dari berbagai
pendidikan tinggi dan sekolah, sehingga secara statistik jumlah orang pintar
selalu bertambah.
Kalau pendidikan pada
umumnya kurang memberi perhatian pada aspek pembentukann karakter, hal ini
kelihatannya lebih ditangani oleh lembaga lembaga pendidikan agama. Sesuai
dengan tradisinya, pendidikan Islam sebenarnya lebih menekankan pada aspek
pendidikan karakter, seperti terlihat dari berbagai aspek materi yang
diajarkannya. Akan tetapi sekolah-sekolah agama pun sekarang ini terkesan telah
meninggalkan habitatnya. Mereka justru telah meninggalkan tradisinya hanya
untuk melayani kebutuhan umum yang dikelola pesantren , misalnya, sama
saja dengan pembelajaran sekolah-sekolah umum yang memeberi pelajaran sekuler
dengan meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan budi pekerti dan
akhlak.
Sudah menjadi pemahaman
umum di kalangan kaum muslimin bahwa mencari ilmu pengetahuan merupakan
keharusan atau mendekati kewajiban mengingat pengetahuan manusia itu hidup dan
dengan pengetahuan pula mereka mengabdi kepada Allah SWT sesuai dengan hadist
Rasulullah SAW, ”Mencari ilmu itu merupakan kewajiban (faridhotun) bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan”.
Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadist Nabi Muhammad SAW,”Carilah ilmu
sejak kamu dalam ayunan sampai kamu masuk liang kubur.”
Allah SWT secara
tegas memberikan penghargaan kepada mereka yang berpengetahuan dan mengangkat
derajat oraang-orang yang berilmu. ”Allah mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan orang –orang yang berilmu melebihi orang lainnya: QS Adzariyat :
56).
Ketinggian derajat
orang yang berilmu itu jelas terlihat dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Orang-orang yang berilmu itu telah menjadi penerang dalam mengatasi
masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan kita sebagai manusia. Jadi benarlah
apa yang diungkapkan melalui sebuah kata ulama bahwa “ilmu itu adalah cahaya”,
karena dengan ilmu lah manusia mendapat jalan terang untuk mengarungi
kehidupannya. Penghargaan terhadap orang berilmu sendiri juga disabdakan oleh
Nabi Muhammad SAW, ”khoirunnas anfa’uhum
linnas” (Yang paling bagus di antara kamu adalah yang paling bermanfaat
bagi manusia).
Sejarah Islam telah
memperlihatkan bahwa melalui ajarannya yang menganjurkan pencarian pengetahuan
yang menyebabkan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang berbudaya tinggi (civilized). Perkembangan pengetahuan
dalam masa Islam awal telah melahirkan berbagai macam ahli yang kemudian bisa
menerangi dunia dengan pengetahuannya.
Dengan berbagai
tuntutan yang dikemukakan di atas, apa yang disodorkan oleh Islam sebenarnya
bisa disederhanakan pada apa yang disebut “longlife
education”. Ini berarti bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya
pembelajaran di dalam kelas , di mana para murid mendapatkan pengetahuan dari
para guru. Pendidikan dalam Islam haruslah dijadikan sebagai media pembentukan
watak dan karakter, sehingga anak didik tidak hanya pintar, tetapi juga
berperadaban secara pengetahuan atau berakhlaq. Akhlaq itu bukan hanya aspek
moralitas tingkah laku atau sopan santun manusia, tetapi juga menyangkut sikap
, pandangan atau bahkan karakter seorang muslim.
Dengan demikian,
pendidikan adalah totalitas pembentukan manusia supaya berguna bagi sesamanya
dengan mempunyai akhlaq yang tinggi. Imam Ghozali merumuskan akhlaq sebagai
potensi yang dipunyai manusia dalam kaitan manusia berperan sebagai khalifatul fil ardhi. Potensi ini harus
diarahkan agar bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya.
Pendidikan, sekali
lagi harus dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, yakni ketika pendidikan
mampu membentuk manusia-manusia yang tidak hanya pintar tapi juga berakhlaq
atau berperadaban. Sering dikatakan orang bahwa menjadi orang pintar itu
gampang, sebab dengan disekolahkan orang akan menjadi pintar, artinya mempunyai
pengetahuan. Yang tidak mudah adalah membentuk manusia pintar dan
berakhlaq.
Imam Ghozali
membedakan akhlaq itu ke dalam akhlaq
karimah dan akhlaq madzummah.
Ahlaq karimah adalah potensi manusia yang direalisasikan dalam kehidupan nya
yang memberi manfaat bagi sesama manusia. Sedangkan akhlaq madzummah itu muncul
ketika potensi manusia tidak memberikan manfaat bagi manusia. Jadi dalam hal
ini akhlaq tidak diartikan semata-mata sebagai sopan santun, tetapi sebagai
peradaban.
Akhlaq itu adab
sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW,
”addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”. Memang berbeda Rasulullah SAW yang
mengajari akhlaq beliau adalah Allah SWT sehingga ta’dib nya tentu sempurna.
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang berakhlaq
mulia. Jadi ahlaq mulia itu tidak hanya berkaitan dengan sopan santun tetapi
juga sikap dan karakter manusia yang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi
umat manusia.
Misi pendidikan
Ada dua konsep
penting yang berkaitan yang berkaitan dengan keberadaan manusia yang karenanya
pendidikan yang kita lakukan juga diarahkan ke sana. Konsep itu terangkum dalam
firman Allah SWT, ”wa ma kholaqtul jinna
wal insa illa liya’budun”, yang artinya adalah, ”tidak aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk menyembah Ku”. Perintah Allah SWT mengharapkan manusia
agar menjadi hamba yang Islam (yang taat) yang melaksanakan perintah-Nya.
Nilai-nilai yang
terkandung dalam perintah Allah SWT ini bersifat universal. Artinya hal itu
berkaitan dengan ukuran yang sama dirumuskan oleh manusia. Al Qur’an dalam hal
ini mendorong manusia agar menjadi khalifatullah (khalifah Allah) di bumi yang
berarti menjadi hamba Allah yang mengurusi kehidupannya dan kehidupan manusia
lainnya. “mengurusi” itu mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti menjadi
pemimpin manusia juga mengekplorasi rahasia alam dan lainnya untuk kepentingan
umat manusia.
Karena itulah dalam
pendidikan Islam anak didik itu dengan pengetahuannya diarahkan untuk mempunyai
tanggung jawab terhadap sesamanya. Dengan berilmu manusia itu dibebani untuk
membantu sesamanya dan menciptakan tidak saja masyarakat yang religius tetapi
juga masyarakat yang makmur, tidak kekurangan.
Jadi misi pendidikan
tidak saja membentuk kesalehan individu menjadi abdullah (hablum minallah)
belaka namun juga kesalehan sosial di mana seorang manusia juga dituntut
menjadi manusia yang baik secara sosial (kholifatullah).
Dalam konsep kholifatullah itulah dimensi akhlaq mendapatkan tempat, karena
salah satu aspek yang harus dipenuhi manusia untuk menjadi khalifatullah yang berhasil
adalah masalah keberadaban (akhlaq).
Pemenuhan kedua
konsep di atas adalah bentuk ekspresi dari keimanan dan keislaman umat Islam.
Islam itu memang berkaitan dengan masalah akidah dan syariah, yang menuntut
manusia untuk mempersembahkan keimannya kepada Allah SWT serta memberikan
ketaatannya atas aturan –aturan Nya. Sepertti sering dinyatakan dalam ajaran
Islam sendiri, pencapaian keduanya haruslah seimbang dalam artian tidak
ditinggal salah satunya, karena keduanya yakni hablumninnallah dan hablumminannas
merupakan hal yang saling berkaitan dengan keislaman itu sendiri.
Dalam dunia
pendidikan, pengenalan kedua hal itu harus ditekankan karena keduanya menjadi
sumber pembentukan karakter para siswa. Jadi, pendidikan Islam itu membentuk
kesalehan secara menyeluruh. Orang yang saleh itu bukan hanya yang taat
beribadah, tetapi juga harus peduli dengan masalah kehidupan sosial manusia.
Dengan kata lain, kesalehan yang harus dibentuk melalui pendidikan keagamaan
juga kesalehan sosial dan kesalehan religius.
Orang yang taat
sholat di masjid harus juga menjadi orang yang peduli lingkungan dan orang yang
mengikuti aturan sosial yang berlaku. Di jalanan, misalnya, orang yang saleh
itu harus menjadi pengendara yang baik, mentaati semua peraturan lalu lintas,
karena melakukan hal itu juga bagian dari keharusan agama, yakni menjadi
khalifah di muka bumi. Memang banyak nilai-nilai dan ajaran Islam yang
mendorong manusia untuk beradab tadi.
Misi pendidikan Islam
sebaiknya diarahkan bagi terbentuknya manusia yang mengabdi kepada Allah SWT
dengan juga melakukan masalah keduniawiyannya sebagai bagian dari pengabdiannya
kepada Allah SWT. Jangan sampai pendidikan yang dilakukan melulu untuk
mencerdaskan bangsa dengan tanpa mengasah unsur spritualnya. Demikian juga
kurang sempurna pendidikan hanya bagi pembentukan spiritual manusia dengan
melupakan maslaah-masalah duniaawi di mana manusia sendiri hidup. Penggabungan
keduanya menjadi keharusan, sebab disamping hamba yang taat menjadi kekasih
Allah SWT, tetapi juga menjadi khalifah di muka bumi yang mendapatkan nilai
lebih dari Allah SWT. (***) Makalah ini dimuat di http://www.muslimedianews.com/2015/03/misi-pendidikan-islam.html
8 Maret 2015
11 CATATAN PENUTUP
Meneladani Sang Insanul Kamil
Ihsannul kamil atau
akhlaq paripurna atau budi pekerti mulia sebagaimana dicontohkan dan
digambarkan dalam perilaku Rasulullah SAW. Sungguh pada diri Rasulullah SAW
terdapat perilaku dan suri tauladan yang mulia dan terpuji.
Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh
Allah sendiri telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk
insane-insan yang mulia. Inilah dinnul
Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal. Tentu saja agama
yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan yang mulia dan
sempurna pula. Utusan yang mengemban agama Tuhan yang terakhir ini adalah nabi
terakhir, Sayidunna Muhammad SAW.
Kekaguman kepada Rasulullah SAW tidak hanya diakui oleh
orang Islam sendiri, namun dunia Barat juga mengakuinya, sebagaimana mereka
tulis dalam buku-buku mereka. Adalah sarjana Barat Michael H Hart salah satu
ilmuwan barat yang mengakui dan mengagumi Rasulullah SAW, ia tulis dalam
bukunya “The 100 a Ranking of The Most
Influential Person in History,” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul,”Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah,”
dia menempatkan nama Nabi Muhammad SAW pada rangking pertama. Dia menjatuhkan
pilihan kepada Nabi Muhammad SAW pada
urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh tentu mengejutkan para pembacanya dan menjadi tanda Tanya
sebagian yang lain.
“Tapi saya berpegang pada keyakinan saya , dia (Nabi
Muhammad SAW-red) satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukses luar
biasa , baik ditilik dari sisi agama ataupun lingkup duniawi,” demikian alasan
Michael H Hart sang penulis buku.
Sedemikian tinggi kedudukan agung Rasulullah SAW sehingga
orang non muslim seperti Michael H Hart pun sebagai sejarahwan besar
kontemporer mengakui dan kita atas umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk
mengikuti dan menjadikannya suri tauladan , karena inilah makna dari beriman
kepada Nabi Muhammad SAW termasuk mengamalkan al Qur’an dan al Hadist menjadi
bagian pokok dari tanggung jawab untuk mencontoh dan mengikuti ajaran beliau.
Adalah Sunnah-sunnah beliau yang dahulu kita tinggalkan,
mulailah kita hidupkan kembali termasuk upaya untuk mengikuti beliau. Kewajiban
kita adalah mendahulukan sunnah-sunnah beliau di atas nalar pemikiran. Jangan
sampai mempertentangkan dengan Allah SWT sebab tidak mungkin beliau menyimpang
dari pada ajaran syariat Allah SWT. Selain itu beliau adalah Nabi terakhir
sebagai utusan Allah kepada ummat manusia sepanjang masa.
Jika pada zaman ini ada yang mempertentangkan Sunnah insan
kamil ini dengan Allah SWT atau dengan al Qur’an maka sudah barang tentu orang
tersebut telah terseret dalam kesesatan aqidah. Sebab tidak mungkin dan
mustahil seorang utusan seperti beliau bertentangkan dengan Allah dan tidak
mungkin pula syariat yang dibawanya menyimpang dari tuntunan Illahy.
Setiap kata yang terucap dari lisannya, perbuatan dan
perangainya berada dalam bingkai syari’at dan tentunya itu semua datang dari
Allah SWT yang telah mengutus beliau sebagai Nabi. Hal ini senada dengan
penjelasan Allah dalam Al Qur’an, ”Dan tidaklah Dia (Nabi Muhammad SAW)
berbicara dengan hawa nafsu (keinginan dirinya semata), ucapannya itu tiada
lain adalah wahyu yang diturunkan (kepadanya).” (QS An-Najm; 3-14).
Maka semua akhlaq Rasulullah adalah yang terbaik,
perkataannya adalah paling utama. Dengan mengikuti jejak Sang Insan Kamil ini
dapat dipastikan kita akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.
Ayat Al Qu’ran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah
ayat berbunyi wa innaka la’ala
khuluqin ‘azhim, yang artinya sesungguhnya engkau (hai Muhammad )
memiliki akhlak yang sangat agung. Kata khuluq
berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan
khalq yang berarti
ciptaan. Bedanya kalau kalau khalq
lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal,
maka khuluq adalah
ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang
mulia dengan kalimat kana
rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqan, bahwa Rasulullah SAW
adalah manusia yang terbaik secara khalq
dan khuluq.
Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna dalam segala aspek,
baik lahiriah maupun batiniah.
Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat
para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah
misalnya mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan
bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang.
Postur tubuh Nabi tegap. Rambutnya ikal dan panjang tidak
melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya
memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua
alisnya yang akan timbul saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok,
yang bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat, pipinya halus. Matanya
hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu
ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan
dadanya.
Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari
atas. Bila menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah
bumi ketimbang langit, sering merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di
saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam.
Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manuisa
agung seperti ini sangat banyak. Namun ada yang fokus dari al-Qur’an tentang
gambaran sifat Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang menjadi fokus pandangan
al-Qur’an terhadap Nabi? Jawabnya adalah khuluq-nya
alias akhlaqnya. Apa arti akhlak?
Kata Imam al-Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia.
Ia bisa indah dan juga bisa buruk. Akhlak yang indah disebut al khuluq al
hasan; sementara akhlak yang buruk disebut al khuluq as-sayyi. Akhlak yang baik
adalah akhlak yang mampu meletakan secara proporsional fakultas-fakultas yang
ada di dalam jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultas-fakultas
yang ada dalam dirinya: ‘aqliyah
(rasio), ghadabiyah
(emosi), syahwaniyyah
(syahwat) dan wahmiyah
(imajinasi).
Manusia yang berakhlak baik adalah yang tidak melampui batas
dalam menggunakan empat fakultas di atas dan tidak mengabaikannya secara total.
Ia akan sangat adil dan proposional di dalam menggunakan fakultas yang ada
dalam dirinya.
Orang yang menyandang khuluq
al-hasan adalah orang yang mampu meletakan secara proposional dalam
membagi secara adil mana hak dunia dan hak akhiratnya. Orang yang menyandang
sifat ini akan memantulkan suatu bentuk sangat indah lahiriah di dalam segala
aspek kehidupan sehari-hari. Akhlak seperti inilah yang ditunjukan Rasulullah
SAW kepada umatnya.
Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan al Qur’an. Bahkan
beliau sendiri adalah Al Qur’an hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia.
Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi
kandungan Al Qur’an. Itulah kenapa Siti Aisyah berkata akhlaq Nabi adalah
al-Qur’an.
Kecintaan kita tulus benar adanya, setiap langkah Nabi
SAW pasti kita ikuti dan diamalkan,
itulah definisi cinta .”Jika cintamu sungguh-sungguh pasti kamu menaatinya,
sesungguhnya orang yang cinta pasti taat pada orang yang dicintainya.”
Ekspresi gembira, bersukaria, memperbanyak shalawat dan
puji-pujian atas beliau, membaca sejarah , menghormati sahabat dan keturunan
beliau serta menziarahi makam beliau di Masjid Nabawi adalah wujud cinta kepada
beliau
Sejak
masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat
tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belasan orang saja yang mau
menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam
mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti
ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama
nenek moyang mereka.
Ancaman
, tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut
(kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi
belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon
ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW
mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi
ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang
Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa
ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab
tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi
Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang
wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam
dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin)
Kebetulan
saat itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah
berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai
Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah
pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di
Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi
(Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri
ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi karena
mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa
Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah
dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16
orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin
telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa
orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah
setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari
mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah
kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis
(zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan
yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum
Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah
kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini
mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di
lingkungan suku Quraisy.
Perpindahan
hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka
khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat
dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi
peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais
mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah
dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam
hadiah yang sangat berharga.
Hijrah
yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena
dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para
sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum
muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum
muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan
dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di
Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai
kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap
dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru
dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah
ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam
karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta
penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah
17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan
kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab
sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam
dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW
bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode
Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah
wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10
tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh
umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini
memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan
masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47
pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak
menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi
piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna
membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari
intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti
proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar
normatif dan formalitas.
Sosok
Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan
Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad
SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah
barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu
masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta
golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi
Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan
masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang
pluralistik tersebut.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah
tersebar dengan cepat. Para sahabat yang telah terlebih dahulu di Madinah tak kuasa menahan rindu kepada
pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad SAW.Setiap hari mereka menanti
kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah. Akhirnya saat yang
dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar As-Shiddiq memasuki kota
Madinah dengan selamat.
Seketika wajah kota Madinah berubah
total, menjadi bermandikan cahaya lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung,
sang pembawa budi pekerti yang luhur yakni Rasulullah SAW.
Kegembiraan warga Madinah tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata . Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih
yang selama ini dirindukan, telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang
telah lama terpendam dalam dada tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis
bahagia, haru penuh rasa cinta menembus sukma.
Anak-anak dan para perempuan yang
sudah menjadi penduduk Madinah (kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari
melantunkan syair Shalawat Badar sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa
risalah Islam pari purna yakni Nabi SAW:
“Thala’al badru ‘alaina
Min tsaniyatil wada’
Wajabsy syukru ‘alaina
Mada’a lillahi da’….
(Telah
terbit purnama bersinar dari Bukit Wada’ . Wajiblah kita bersyukur tibanya
penyeru ke jalan Allah….)
Banyak gubahan syair saat menyambut
kedatangan Rasulullah SAW di hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para
ulama. Upacara ceremonial maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri) mulai
dari Maulid Simthud Durar, Burdah,
Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad
Dhiaul Lami’ semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok
sang manusia teragung dan mulia Habibuna
murrobuna al Musthofa wal wafa Nabiyuna alhady Muhammad SAW.”Marhaban Ahlan wa sahlan….
Yaa
Nabiy salaam ‘alaika
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa
habiib salaam ‘alaika
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul
musyaffa’
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat
ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa danaa
waqtul hidaayah
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Marhaban
ahlan wa sahlan
Bika yâ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Bika yâ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya
imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN
YA MARHABAN YA NUURO ‘AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta
fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Wa
yunaaduuna taroo maa
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
THOLA’AL
BADRU ‘ALAINAA
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
Falahaa
anta Fatasjud
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Fa’alaikalloohu
shollaa
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Wa
bika~rrohmaanu nas-al
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Ya
‘adhiimal manni yaa Robb
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
SHOLLALLAAHU
‘ALAA MUHAMMAD (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
Wa bihi
Fandhur ilainaa
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
wakfinaa
kullal balaayaa
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wasqinaa
yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh)
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
ROBBI
FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
Wakhtimil
‘umro bihusnaa (Ya Alloh)
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
SHOLLALLAH
‘ALA MUHAMMAD
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
Wa
shollatullohi Taghsyaa
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Ahmadat
thohro wa Aalih
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.
Kehadiran Rasulullah SAW serasa ada di depan mata.
Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan penuh haru dan gembira sebagaimana wujud
kegembiraan warga Anshor. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah melarang
tetabuhan dan senandung syair yang dipersembahkan warga Madinah dalam menyambut
beliau tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika beliau tiba dari
perang Tabuk, warga Madinah (kaum Anshor) kembali menyambut beliau dengan
tetabuhan rebana dan syair shalawat Badr tersebut di atas.
Rasa senang dan gembira warga Madinah akhirnya menjadi
kebiasaan yang dilakukan oleh Madinah dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW,
mereka wujudkan dengan senandung syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu
menjadi sunnah—lantaran Rasulullah SAW tidak melarangnya dengan cara
mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW
menyetujui perbuatan yang dilakukan para sahabat dalam menyambutnya.
Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad
diceritakan , ketika Rasulullah SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak
wanita berkulit hitam legam datang menemui beliau membawa rebana sambil
berkata,”Duhai Rasulullah SAW, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan
dirimu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di
hadapanmu.”
Rasulullah SAW kemudian menjawab,”Jika engkau telah
bernazar, tunaikanlah nazarmu. Jika tidak, jangan.”
Wanita itupun kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian
menabuh rebana sambil bernyanyi gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah
SAW cukup lama.
Satu demi satu , sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu
Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Afan dan Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi
Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu tetap menabuh rebana dan bernyanyi,
sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan dan menikmati lantunan senandung
syair dan iringan rebana.
Ketika Umar bin Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti
dan menyembunyikan rebana dengan mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu takut
dengan sahabat Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas.
Setelah keempat Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan
Rasulullah SAW lu, beliau pun berkata , ”Hai Umar, sesungguhnya setan saja
takut kepadamu. Ketika aku duduk, perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu
Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan
menabuh rebana demikian pun ketika Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau
masuk, hai Umar, wanita itu segera menghentikan dan menyembunyikan rebananya.”
(HR Tirmidzi).
Dengan
demikian, peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang
kesenian rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah SAW masih hidup
juga pernah dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib seusai perang
Tabuk dan Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak melarangnya.
Masyarakat
baru tersebut (state) kemudian
dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang
disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah
penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyarakat warga Madinah,
akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia.
Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan
persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi
lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian
dan kemakmuran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai
kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu
anti-Muhammad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan
darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung
di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW
wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan
di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam
(Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan
Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi
dan Kisro Persia.
Masyarakat
mutamaddin sebagai konotasi
masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib
(pengaraban) dari masyarakat warga (civil
society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan
sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi
masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi
Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW
niatnya untuk melaksanakan haji pada
tahun itu. Begitu terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke
Madinah hendak mengikuti beliau. Empat
hari menjelang habisnya bulan Dzulqo’dah selepas shalat Dzuhur, beliau mulai
berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai memasuki bulan Dzulhijjah
(Haji Qiran).
Tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW
dalam perjalanan Haji Wada’ pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib
dan Isya di sana. Setelah beberapa saat hingga matahari terbit, beliau
melaksanakan perjalanan hingga Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana.
Setelah matahari tergelincir, beliau menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di
tengah Padang Arafah. Di sana telah
berkumpul sekitar 140.000 jamaah haji , dan beliau menyampaikan pidato yang berisi
wasiat penting kepada ummat.
“Wahai sekalian manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak
tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan ketemu kalian lagi setelah tahun ini
dalam keadaan seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian suci atas
kalian, seperti kesucian hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini.
Bertaqwalah kepada Allah dan hati-hati
terhadap masalah wanita, karena kalian memperistri mereka yang menjadikan
mereka halal bagi kalian juga karena amanat dan dengan kalimah Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas
kalian , sebagaimana kalian memiliki hak
atas mereka. Hak kalian adalah istri kalian tidak boleh mengizinkan orang yang
tidak disenangi masuk ke rumah kalian kecuali seizin kalian. Terlarang bagi
mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan
mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan
yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah
menjamin makanan dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Aku telah meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu
yang sekali-kali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap
berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku.
Sembahlah Allah, dirikanlah shalat lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan,
bayarlah zakat dengan sukarela, tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian,
niscaya kalian masuk sorga.
Tentu kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang
kalian pertanyakan?
Mereka menjawab,”Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh
melaksanakan kewajiban dan nasehat.”
Lalu bersabda sambil
mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin,”Ya Allah,
persaksikanlah!” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan
sabda beliau Rabi’ah bin Umayyah bin
Khalaaf.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al
Maidah ayat 3, yang menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi kenabian) Muhammad SAW
yang merupakan satu rahmat kenikmatan yang tiada tara bagi kaum muslimin berupa
agama Islam, yang nyata-nyata telah mendapat Ridha dari Allah SWT Yang Maha
Pengasih.
Pidato khutbah selesai. Bilal kemudian
mengumandangkan adzan, disusul dengan iqomah dan shalat Dzuhur qashar dan jama’
secara berjama’ah diimami Rasulullah SAW dan diikuti oleh para jama’ah. Begitu
selesai shalat Dzuhur, Bilal iqamah lagi untuk melaksanakan jama’ah shalat
Ashar. Selesai shalat, dengan menunggang Al Qashwa, beliau menuju tempat wukuf.
Di situ beliau menghabiskan wukuf sampai matahari
terbenam.
Keremangan senja lambat laun menghilang. Dengan mengendong
Usamah, beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan
Isya dengan satu adzan dan dua iqamah tanpa ada shalat apa pun di antara
keduanya, kemudian beliau berbaring sampai fajar menyingsing.
Setelah adzan dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat
Subuh dan kemudian beliau naik Al Qashwa menuju Masy’aril Haram. Dengan
menghadap qiblat beliau berdoa, bertahlil dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT.
Dari Muzdalifah beliau pergi menuju Mina sebelum matahari
terbit dengan membonceng Al Fadhl bin Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian
jumrah Aqabah, dan beliau melempar jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir
kerikil, sambil bertakbir pada setiap kali melempar.
Selanjutnya, beliau menuju ke tempat
penyembelihan Kurban dan menyembelih 63 ekor unta, selanjutnya memerintahkan
kepada Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan penyembelihan sebanyak 37 ekor unta
sehingga genap 100 ekor.
Di situ beliau memerintahkan untuk
mengambil sebagian daging masing-masing unta, kemudian dimasak dan beliau ikut
menikmati masakan itu berikut kuahnya.
Pada waktu Dhuha, di atas punggung
bighal, beliau menyampaikan pidato yang ditirukan Sayidinna Ali bin Abi Thalib
dengan suara nyaring, yang isinya banyak
mengulang isi pidato yang disampaikan sebelumnya. Namun demikian, banyak hal
penting yang beliau tambahkan, antara lain:
“Kalian pada waktunya akan menghadap
Allah SWT. Dia akan menanyakan amal
kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat sepeninggalku hingga sebagian
kalian memenggal leher sebagian lainnya. Ketahuilah, janganlah seseorang
menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) , menganiaya anak dan anak
menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya syetan sudah putus asa untuk
dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan tetapi dia akan ditaati dengan
amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian remehkan dan dia pun ridha kepadanya.”
Pada hari Tasyriq, beliau di Mina
untuk melaksanakan ibadah haji lainnya
sembari mengajarkan syariat perihal dzikir kepada Allah, menegakan
sunnah-sunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik, amalan syirik dan
pengaruhnya. Pada hari tasyriq, beliau
menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari sebelumnya.
Anas bin
Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan
shalat Subuh –sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka—Nabi SAW
tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan
memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau
tersenyum.
Abu
Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak
keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir
terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah
SAW.
Namun,
beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan
shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir. Setelah itu,
Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.Ketika waktu Dhuha hampir
habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan
Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu
Fatimah tersenyum.
Aisyah
berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.
Fatmah
Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis.
Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di
antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).
Nabi SAW
juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta
alam.Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW
sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau
menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”
Beliau
memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap
baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau
memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.
Sakit
beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging
yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai
beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang
kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat
nadiku karena racun tersebut.”
Beliau
juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan
budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa
kali.
Tanda-tanda
datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke
pangkuannya.Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang
dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari
giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah
beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman
dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW
memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku
bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’
Beliau
memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau.
Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak
itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu
aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di
hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam
air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah,
sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih
Bukhari II, 640).
Seusai
bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya
mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak.
Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah
ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha
Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)
Beliau
mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau
lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin
12 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Ketika itu beliau berusia 63 lebih
empat hari.
Apa makna yang paling mendalam dari
peristiwa Haji Wada’ tersebut? Dalam
peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada
puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16
Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari
setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi
khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum
haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum
hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat
dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan
negeri ini (Mekkah).
Dari
teks khutbah haji wada’ di atas,
mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya
penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan
intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi
seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas
nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran
Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat
penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan
negara.
Dengan
demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin
bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad
SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan
di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan
panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun
kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa
kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan
kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses
transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi
atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial
politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada
masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah,
4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka
Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa
Indonesia
Ini
sesuai dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau
kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum
wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah,
innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka
disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya,
kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Cinta Rasul SAW
Salah satu hadits yang terkenal mengungkapkan betapa penting
kecintaan kaum muslimin pada Rasulullah SAW. Sabda beliau, “Tidak sempurna iman
seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai
ibu-bapaknya, anaknya, dan semua manusia” (HR Bukhari).
Memang, mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu bukti
keimanan seorang muslim. Sebaliknya, iman pulalah yang membuat para sahabat
sangat setia mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai
maupun perang. Kecintaan itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan
perbuatan nyata.
Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika
Rasulullah SAW bersama Abu Bakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam
perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu
Rasulullah SAW tertidur berbantalkan paha Abu Bakar. Tiba-tiba Abu Bakar merasa
kesakitan karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga
menahan sakit, hingga mencucurkan air mata, jangan sampai pahanya
bergerak—khawatir Rasulullah SAW terbangun.
Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar
menghadapi ancaman kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada
Rasulullah SAW. Ketika itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan
akan dibunuh. ”Hari ini, tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan
kita sehingga kami dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada
keluargamu?” kata Abu Sufyan kepadanya.
“Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada
di sini, di mana satu duri pun dapat menyakitinya – jika hal itu menjadi syarat
agar aku dapat kembali ke keluargaku,” jawab Zaid tegas. “Wah, aku belum pernah
melihat seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat
Muhammad menyayangi Muhammad,” sahut Abu Sofyan.
Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak
diungkapkan dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab.
”Ya, Rasulullah. Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku,” kata
Umar. Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab, ”Tak seorang pun di antara kalian
beriman, sampai aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.”
”Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku
mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri,” sahut Umar spontan.
Maka Rasulullah SAW pun menukas, ”Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan iman
itu” (HR Bukhari).
Hari Kiamat
Penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang
merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau
sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu
sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya,
dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al Fath : 8-9).
Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah
SWT dan Rasulullah SAW, ”Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu,
anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu,
perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu senangi,
lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).
Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan
faktor penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap
ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada rasulullah SAW, ”Kapankah
datangnya hari kiamat?” Maka jawab Rasulullah SAW, ”Apa yang sudah engkau
persiapkan untuk menghadapinya?” Jawab sahabat itu, “Saya tidak
mempersiapkannya dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan
mencintaimu dalam hati.” Lalu, sabda Rasulullah SAW, ”Insya Allah, engkau akan
bersama orang yang engkau cintai itu.”
Menurut Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Shafwan, dan Abu
Dzar, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus
mencintainya, ”Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang
dicintainya.” Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka
sangat mencintai beliau.
Suatu hari seorang sahabat hadir dalam suatu majelis bersama
Rasulullah SAW, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih
dari mencintai nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu
memikirkanmu. Aku selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana
jadinya jika aku tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat,
demikian juga aku. Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku
tidak?”
Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian
datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, ”Dan barang siapa menaati Allah
dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat,
dan itulah karunia Allah Yang Maha Mengetahui” (QS An-Nisa : 69-70).
Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang
menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia.
Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar
pada diri seorang perempuan—beberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja
kehilangan ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia
bukannya meratapi mereka, tapi menanyakan nasib rasulullah SAW, ”Apa yang
terjadi pada diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian
kepadanya.”
”Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya,”
jawab para sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, “Tunjukanlah dia kepadaku
hingga aku dapat memandangnya.” Kemudian para sahabat menunjukan posisi
Rasulullah SAW. “Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau
selamat,” kata perempuan itu kepada Rasulullah SAW.
”Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah
orang-orang yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan
keluarga dan kekayaannya untuk berjumpa denganku,” sabda Rasulullah SAW
sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar).
Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW,
terungkap menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati,
sebab, katanya, “Justru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok
aku akan berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.” Wafatnya
Rasulullah SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan
pencintanya. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam
Rasulullah SAW sampai ia meninggal.
Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para
sahabat kepada Rasulullah SAW. Untuk mengungkapkan rasa cinta itu,
sewajarnyalah jika kaum muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan
sunnahnya, mengikuti kata-kata dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan
menjauhi larangannya.
Itulah
cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 31:
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun
dan Maha Penyayang.” (*****)
DAFTAR PUSTAKA
1.
“Hamzah Fansuri Penyair Aceh”, Prof. A.
Hasymi
3.
Ajid Thohir. 2004. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-Akar Sejarah, Politik, dan Budaya
Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindon Persada
4.
Ahmad Mansyur Suryanegara. 2010. Api
Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
5.
Azyumardi Azra. 1995. Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar
Pembaharuan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
6.
Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008. Sejarah
Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
7.
Moh. Nurhakim. 2004. Sejarah dan
Peradaban Islam, Malang: UMM Press.
8.
Zakaria, Rafiq. 1989. The Struggle
Within Islam, Australia: Penguins Books.
9.
Arsip Ag. 13240, No. 18/8 – 24363/03
(ANRI, Jakarta)
10. Arsip Ag 13240 No. 6/3-6679/05 (ANRI, Jakarta).
11. Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Lampiran besluit No. 31,
Tanggal 24 Oktober 1906.
12. Arsip Ag 26409106 (ANRI, Jakarta), keputusan Gubernur
Jenderal Hindia belanda, Bogor, Tanggal 24 Oktober 1906.
13. Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), No. 10371/80 ,
Surat Residen Batavia 21 Juni 1906, No. 6767/5.
14. Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta) No. 266.15771/08.
15. Arsip Ag 15771/08 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 29 Juni 1908.
16. Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, Bogor, 3 Oktober 1910 (No. 36).
17. Ali Ahmad al-Seqqaf, Lintasan Sejarah Berdirinya Jamiat
Kheir, hal. 2.
18. Oetoesan Hindia, 1-37
(16-12-1917)
19. Anshari, Endang Syaifuddin. 1988. Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media Dakwah
20. Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Gita Pustaka
2005.
21. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
22. Benda, J. 1980. Bulan
Sabit dan Matahari. Jakarta: Pustaka Jaya
23. Busyairi, Badruzzaman. 1995. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka Panji Mas
24. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Pedoman Petunjuk Penilaian. Jakarta:
Depdikbud
25. Gulo,W. 2002. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo
26. Hadi, Sutrisno. 1998. Metode
Research. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada
27. Karim, Rusli. 1985. Perjalanan
Partai Politik di Indonesia Politik Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: CV
Rajawali
28. Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
29. Mudjiono dan Dimyati, 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Depdikbud
30. Majalah. Ishlah. No.
/ 64 tahun / IV 1996
31. Nasir, Muhammad. 2003. Metode
Diktatik. Jakarta: Bina Aksara
32. Noer, Deliar. 1987. Partai
Islam di Pentas Nasional. Jakarta: LP3ES
33. Poerwadarmita. 1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
34. Riclefs. 1995. Sejarah
Indonesia Modern Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
35. Srawiji, Bambang. 2006. Kamus
Pelajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Ganeca exact
36. Suryabrata, Sumadi. 1983. Metode Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
37. Widyosismoyo, Supartono. 1991. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Jakarta. Intan
38. Majalah alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU:
Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72.
39. Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung
Agung, 1987)
40. KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Pernah dimuat Suara Merdeka, 19 Juni 1992.
41. Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya,
Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
42. Brackman, Arnold. Indonesian Communism, (New York:
Preager, 1963.
43. Dengel, Holk. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah
Angan-Angan yang Gagal, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
44. Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU
1952-1967, Yogyakarta: LkiS, 1998.
45. Legge, J.D. Sukarno, Biografi Politik, Jakarta: Sinar
Harapan, 2000.
46. Geertz, Clifford. Santri, Abangan dan Priyayi,
Jakarta: PT Gramedia, 1982.
47. Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan
Nasionalis Indonesia 1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1988
48. Mc.Vey, Ruth. The Rise of Indonesian Communism,
Ithaca.NY: Cornell University Press, 1965.
49. Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997.
50. Komunisme (editor:
Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000.
51. Deliar Noer, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, Jakarta: LP3ES
52. Sartono Kartodirjo, dkk, 1975, Sejarah Nasional
Indonesia, jilid V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
53. M.C.Richlefs, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,
Jakarta: Serambi
54. Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri, Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin
55. Syarah Ainiyah,
Lentera
56. S. Umar Muhdor Syahab, Tuntutan Tanggung Jawab Ahlul Bait
dan Kafa’ahnya, Jakarta: Yayasan
Nusantara, 1999
57.
Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah”, al Markaz
al Islami
58.
M. Hermawan Eriadi 2006, Mahasiswa
Pasca Sarjana Ilmu Politik UI dalam Artikelnya yang berjudul Kiprah dan Jejak
Politik Masyumi
59.
Majalah
alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi,
hal 68-72
BIOGRAFI
PENULIS
Aji Setiawan,ST lahir pada Hari
Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Di lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja,
Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia.
Menempuh pendidikan
formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon,
kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke
kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto.
Selepas dari
Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di
Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas
Islam Indonesia di Yogyakarta.Baginya, pendidikan yang manusiawi justru ada di
luar kampus, bukan di dalam kelas yang beku dan kaku. Justru melalui pergulatan
wacana dan pergesekan dunia intelektual, ia mengasah diri untuk menyambut
tugas-tugas sejarah, kelak di kemudian hari.
Sejak tahun 1997 ia
mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan
Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri
_UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH
Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda
Jogjakarta (1999-2002).
Lulus kuliah tahun
Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah, Anekayess group! tahun
2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan Bangsa Kab Purbalingga
2012-2014.
Memutuskan diri
menjadi kontributor banyak media dari tahun 2009. Mulai dari Majalah alKisah, Majalah
Risalah NU, Tabloid Media Ummat (www.mediaummat.co.id),
Majalah Sufi (www.sufinews.co.id), NU Online http://www.nu.or.id
, Berita9Online www.berita9online.com, mediasantri (www.santrinews.com),
islampos (www.islampos.com), Suraupos (www.suraupos.com), muslimmedia (www.muslimmedia.or.id),
Islam Garis Lurus (www.garislurusnu.com), majalah tabloid online Islam, dan lain-lain.
Tel NO: 081229667400
E-mail: ajisetiawanst@gmail.com
Donasi harap ditransfer ke Account: BANK
MANDIRI: 1390010915175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar