Fatwa Politik Uang
Politik uang
atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap
seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun
supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.
Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah
sebuah bentuk pelanggaran kampanye[1].
Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai
politik menjelang hari H pemilihan
umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang,
sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan
untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai
yang bersangkutan.
Pasal
73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: “Barang siapa pada waktu
diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian
atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji
berbuat sesuatu.”
Ada
kosakata baru dalam belantara praktik perpolitikan Indonesia yang jika dirujuk
secara verbatim dalam nomenklatur kamus politik mana pun tidak akan
ditemukan. Kosakata dimaksud adalah politik uang. Politik uang biasa dimaknai
sebagai upaya untuk memengaruhi pemilih dengan cara memberikan sesuatu
untuk tidak memelih seseorang atau partai tertentu dalam rangka memilih
orang atau partai yang memberikan sesuatu itu. Dalam praktik sesuatu yang
diberikan itu berupa uang, sembako,pakaian atau konsesi-konsesi tertentu
yang bernilai uang. Semakin besar nilai yang diberikan semakin besar
peluang orang atau partai yang memberi untuk mendulang suara yang
membawanya ke posisi “kursi panas” di legislatif, eksekutif bahkan yudikatif
sekalipun. Ditengarai bahwa praktik sedemikian saat ini merambah organisasi
massa baik Islam maupun non Islam. Hal itu, antara lain, terbaca dari
terpilihnya orang-orang tertentu yang justru tidak dikehendaki umat. Bagaimana
respons Islam terhadap praktik politik uang itu? Tidak akan ditemukan
satu kata seharfiyah kata politik uang dalam Al- Qur’an dan
Al-Hadits. Hemat penulis, kata yang dapat dipadankan dengan praktik
politik uang itu adalah kata arrisywah.Karena itu dalam uraian adits
kali ini penulis ajak para pembelajar untuk membaca kembali dua Hadits
sekaligus berikut ini:
Dari Tsauban ra dia berkata: ”Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi perantara antara penyuap dan penerima suap.” (Hadits Riwayat Ahmad).
Dengan terang Hadits diatas menginformasikan bahwa praktik suap adalah perbuatan yang melanggar agama. Islam menempatkan penyuapan sebagai perbuatan yang dilaknat. Dalam satu tarikan nafas Hadits di atas menegaskan bahwa yang terlaknat itu yang meyuap, penerima suap, juga orang yang menjadi perantara terjadinya penyuapan.
Dari Tsauban ra dia berkata: ”Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi perantara antara penyuap dan penerima suap.” (Hadits Riwayat Ahmad).
Dengan terang Hadits diatas menginformasikan bahwa praktik suap adalah perbuatan yang melanggar agama. Islam menempatkan penyuapan sebagai perbuatan yang dilaknat. Dalam satu tarikan nafas Hadits di atas menegaskan bahwa yang terlaknat itu yang meyuap, penerima suap, juga orang yang menjadi perantara terjadinya penyuapan.
Apa itu arrisywah?
Para ahli hukum Islam menegaskan bahwa salah satu ekspresi korupsi itu adalah perbuatan pidana yang disebut arrisywah. Kata arrisywah berasal dari rasya yarsyu yang dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna yang saling berdekatan sebagaimana dikompilasi oleh Abu al-Fadlal Jamaluddin Muhammad bin Mukrim atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Manzhur al-Mishri, dalam kamus monumentalnya, Lisan al-Arab (IV:322- 323). Satu pendapat mengatakan bahwa kata arrisywah berasal dari kata ar-risyaau yang bermakna al-hablu, tali. Dan arrasyaa- u dikatakan sebagai alladzii yutawassalu bihi ilal-maai sesuatu (tali) yang dapat mengantarkan (ember) pada air. Ar-risywah juga dimaknai sebagai alju’lu artinnya hadiah. Ada juga yang memaknai ar-risywah sabagai al-wushlah ila haajah bilmushaana’ah, cara sampai pada satu keperluan dengan berbagai rekayasa. Dari seluruh pemaknaan yang disajikan diperoleh pengertian bahwa arrisywah adalah sesuatu berupa hadiah, komisi, pemberian, konsesi dan lain sebagainya yang diberikan oleh penyuap (ar-raasyii) yang mempertalikan antara dirinya dengan orang yang menerima suap (al-murtasyii) dengan bantuan perantara (ar-raaisy) untuk merekayasa sesuatu dalam rangka memperoleh sesuatu yang disepakati antarmereka yang terlibat. Sesuatu yang diperoleh oleh penyuap bisa beberupa pekerjaan, barang, kedudukan atau jabatan, bahkan putusan pengadilan (Surat [2] ayat 188) dan lain sebagainya.
Memosisikan politik uang sebagai risywah
Politik
uang yang dipraktikkan oleh para pelakunya merupakan tindakan yang
melanggar norma negara dan agama sekaligus. Pelanggaran ini dalam
kenyataannya seringkali ijumbuhkan dengan sekedar hubungan
timbal balik yang mutualistik berupa pemberian yang diberikan oleh satu
pihak dan diterima oleh pihak lain yang kebetulan memerlukan. Karena
“kebaikan” ini diberikan secara musiman sering juga disebut sebagai
kebaikan lima tahunan. Di lain pihak masyarakat yang menerima taburan politik
uang itu pun menyatakan, bahwa pemberian sembako, uang dan lain
sebagainya kepada masyarakat -apalagi masyarakat yang kelas ekonomi lemahsama
sekali tidak merugikan mereka. “Enak lah wong dapat sembako dan uang gratis
tanpa susah payah apalagi kalau saya dapat dari eberapa orang dan
beberapa partai...” demikian, antara lain yang terucap dari lisan anggota
masyarakat yang terbiasa menerima kucuran sembako, uang, dari para
caleg atau partai yang ikut pemilu. Tentu saja pandangan tersebut di atas
adalah penilaian yang tidak benar karena senyatanya politik uang itu
dikategorikan sebagai tindakan pidana sebagaimana disebutkan alam Undang-
Undang No. 3 tahun 1999 Pasal 73 ayat 3 yang berbunyi “Barangsiapa pada saat diselenggarakannya
pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji
menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu,
dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau
janji terbuat sesuatu”.
Politik uang semacam itu pun tentu saja melanggar ajaran agama, karena pada hakekatnya memberikan sesuatu untuk memperoleh sesuatu secara tidak benar ini pantas dikelompokkan perbuatan arrisywah. Karena unsur-unsur yang terdapat dalam ar-risywah ditemukan dalam tindakan politik uang. Unsur-unsur dimaksud mencakup adanya orang yang memberikan sesuatu (ar-raasyii), adanya orang yang menerima sesuatu (almurtasyii), ada target yang diinginkan dari pemberian itu. Dengan demikian sebagaimana halnya ar-risywah praktik politik uang pun dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya.
Bahaya politik uang
Islam melaknat praktik politik uang yang sesungguhnya merupakan salah satu tindakan penyuapan yang meluluhlantakkan tatanilai dalam masyarakat yangsejatinya dipelihara dan dijunjung tinggi serta diejawantahkan. Karena itu politik uang sama dengan ”virus” yang menggerogoti dan melemahkan moral dan etos kerja asyarakat.”Virus” politik uang yang membahayakan itu setidaknya terlihat dari tiga hal efek negatif yang ditimbulkannya. Pertama, memanjakan dan membuat masyarakat malas. Kedua, menjadi pemicu terjadinya lingkaran setan korupsi. Ketiga,munculnya pemimpin tidak sejati.
Pertama,
politik uang memanjakan sekaligus berpotensi membuat masyarakat malas
ekerja karena sembako, uang dan pemberian yang digelontorkan oleh seorang
kontestan pemilu, pilkada bahkan pemilihan presiden, membuat masyarakat
terbiasa menerima sesuatu tanpa bekerja keras. Jika berlangsung dalam waktu
lama dapat membuat sebagian anggota masyarakat terlatih dan terbiasakan dengan
menerima pemberian-pemberian secara gratis. Jika kondisi ini menjadi
pemandangan umum di tengah masyarakat maka dapat membahayakan sendi-sendi
kemandirian asyarakat, sekaligus akan lebih memiskinkan masyarakat
yang sudah terjatuh dalam kemiskinan.
Kedua,
politik uang menjadi pemicu pertama terjadinya lingkaran setan korupsi karena
ketika seorang kontestan menginvestasikan jumlah tertentu untuk
meraih emenangannya dia sudah berhitung untuk mendapatkan kembali
uang yang diinvestasikannya itu selama dia bekerja sebagai anggota legislatif,
bupati, gubernur dan lain sebagainya. Dari mana pengembalian uang itu
diperoleh?
Ketiga, politik uang
melahirkan pemimpin tidak sejati, karena pemimpin yang muncul dari hasil
politik uang adalah tipe pemimpin yang sejak awal tidak memiliki kesejatian
untuk memimpin. Ia memerlukan pencitraan yang berbiayamahal.
encitraan ini diperlukan untuk memake up habis dirinya dari seorang yang semula
memang biasa saja menjadi seorang berbeda sehingga tampak layak untuk
dipilih sebagai pemimpin. Dari sisietika fiqih siyasah politik uang jelas
memperlihatkan praktik “pencurian hak”. Karena politik uang yang
dilakukan oleh seseorang mengakibatkan berpindahnya hak memimpin yang
semestinya pantas untuk diperoleh oleh seseorang dan beralih kepada orang yang
bukan berhak menerimanya.
Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah sebagai dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia telah
memfatwakan HARAM untuk politik uang. Dasar ayat Al-qur'an yang menjadi dasar
haramnya praktek jual beli suara dalam Pemilu. "Surat Al-baqarah ayat 188
menjelaskan, yang artinya 'Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui'. Disamping itu, jual beli suara juga termasuk Risywah
yang menurut bahasa berarti, pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim
atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan
atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.
Yang menyuap dan
disuap sama-sama berdosa dan terancam masuk neraka. Jadi, kembalilah ke moral
masing-masing. Anda mau masuk surga atau neraka, tinggal pilih mau masuk lewat
jalan mana?
Gaya ramai-ramai. Mau
masuk surga ramai-ramai dan berombongan, terancam masuk neraka ramai-ramai dan
berombongkan kah?
Ya Ikhwani, suadaraku,
untuk merebut kekuasaan uang memang perlu dan segala-galanya. Namun, tidak
selalu selamanya harus pakai uang. Saya terpilih di berbagai organisasi dan
jabatan partai politik berhadapan dengan berbagai politik uang, tidak se SEN
pun saya memakai uang dan saya MENANG! Saya masih ‘ainul yaqin, Allah SWT akan
memenangkan setiap hamba-Nya yang berjuang dan berjihad di jalan yang di
ridhoi_Nya.
Jabatan justru
menurut saya beban tanggung jawab yang tidak dicari, namun jabatan itu
menghampiri serta berpasrah kelak yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan
Alloh SWT.”Kulllukum ro’in mas’ulu ‘an
roiyatihi…Setiap pemimpin akan dipertanggungjawabkan terhadap apa yang
dipimpinnya, demikian sabda Rasulullah al Amin SAW.”
PPP PAC Bukateja dalam
menghadapi Pemilu 2014 tidak akan membagi-bagi uang kepada pemilih. Sekali
lagi, kami tidak punya printer dan mesin cetak uang dan kalau pun ada, pasti
uang yang kami cetak dijamin palsu dan akan terjerat dalam jaringan uang palsu,
jadi politik bagi-bagi uang itu sama sekali tidak ada di PPP Bukateja.
Tentu kami ingin
berpolitik yang dan dengan cara yang ISLAMY, syiasah sebagai medan berjihad ,
mabda syiasi memperjuangkan aspirasi rakyat. Merebut dan meraih kekuasaan itu
akan tercapai bila ada dukungan dan pilihan mayoritas rakyat. Karena itu, PPP
Bukateja menebar simpati meraih suara sebanyak-banyaknya, namun masih dalam
koridor aturan negara dan cara-cara yang Islamy.
Nashru minnalloh
waftahu qoribu , hasbunnalloh wa nikmal wakil nikmal maula wa nikmal nashiir,
laa haula wala quwwata illa billahil ’aliyil ‘adzim
Aji
Setiawan, ST