Jumat, 26 Desember 2014

Qalbun Salim


 Oleh: Aji Setiawan

 Qolbun salim berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu qolbun (hati) dan salim (bersih, suci dan lurus). Jika kedua kata ini digabungkan, maka akan membentuk arti ‘hati yang lurus, bersih, suci dan ikhlas dalam segala gerak, fikiran, perasaan, perbuatan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut istilah qolbun salim sebanyak dua kali. Dan keduanya menggambarkan tentang hatinya Nabi Ibrahim AS: dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’arra’; 87 – 89)
Dalam Al Qur’an QS.Ash Shaffaat ayat 83 – 85, Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu?”
Jika kita renungkan, sebenarnya Allah SWT di atas, Allah SWT menginginkan agar seluruh hamba-hamba-Nya dapat memiliki hati yang bersih, yang dapat mengantarkan mereka pada surga Allah SWT, sekligus untuk menyempurnakan segala kenikmatan yang diberikan kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Dan untuk menyucikan hati manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an (agama Islam), guna dijadikan pedoman hidup manusia: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah : 6).
Namun untuk memiliki hati yang bersih, kita terlebih dahulu harus mengetahui seluk beluk hati manusia, sifat-sifatnya dan juga godaan-godaan yang dapat menghanyutkannya. Hati ini merupakan sentral jiwa manusia, yang apabila hatinya baik, maka insya Allah akan baik pula seluruh tubuhnya, dan jika hatinya buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Nu’man ra, Rasulullah SAW bersabda:Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat sekerat darah, yang apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa sekerat darah tersebut adalah hati. (HR. Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas kita dapat memetik satu kesimpulan, yaitu bahwa hati ternyata laksana nahkoda sebuah bahtera. Dimana arah tujuan dari bahtera tersebut sangat ditentukan oleh sang nahkoda. Jika nahkodanya memiliki niatan dan tujuan yang baik, insya Allah akan membawa bahtera tersebut ke arah yang baik. Sebaliknya, jika ia memiliki tujuan yang jahat, maka secara otomatis kapal tersebut sedang berjalan ke arah yang negatif. Oleh karena itulah sangat penting bagi kita memiliki hati yang bersih guna menjadikan kehidupan kita benar-benar sedang melaju ke arah yang baik, yaitu keridhaan Allah SWT.
Imam al-Ghazali mengungkapkan, “Hati merupakan sesuatu yang paling berharga dalam diri manusia. Karena dengan hatilah, seseorang mampu mengenal Allah, beramal untuk mengharapkan ridha-Nya dan juga guna mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan jasad pada hakekatnya hanyalah menjadi pelayan dan pengikut hati, sebagaimana seorang pelayan terhadap tuannya.
Oleh karena itulah terdapat sebuah ungkapan, bahwa siapa yang mengenal hatinya maka ia akan mengenal Rabbnya. Namun disayangkan, karena betapa banyaknya manusia yang tidak mengenal hatinya sendiri. Lalu Allah menjadikannya seolah dirinya terpisah dari hatinya. Pemisahan ini dapat berbentuk penghalang untuk mengenal dan bermuroqobatullah (selalu dalam pengawasan Allah). Dan atas dasar hal inilah, banyak ulama yang menjadikan ma’rifatul qolb sebagai dasar dan pedoman bagi orang-orang saleh yang ingin lebih mendekatkan dirinya kepada Allah.
Namun ternyata banyak rintangan untuk mendekatkan hati kepada Sang Pencipta. Karena godaan syaitan sangat luar biasa terhadap diri manusia. Imam Al-Ghazali menggambarkannya dengan sebuah benteng yang dikepung oleh musuh yang berambisi memasuki dan menguasainya. Benteng tersebut sudah barang tentu harus dijaga pintu-pintunya, guna menghindari desakan musuh yang bergerak menyerbunya. Namun orang yang tidak mengetahui pintu-pintunya sudah barang tentu tidak dapat menjaganya. Maka demikian juga halnya dengan hati. Seseorang tidak mungkin dapat menjaganya bahkan juga mengusir syaitan yang menyerangnya melainkan dengan mengetahui pintu-pintu yang terdapat dalam hatinya tersebut.
Demikian pula dengan hati yang dikuasai hawa nafsu serta jauh dari dzikrullah. Sudah barang tentu ia menjadi mangsa para syaitan yang kelaparan. Dan untuk mengusirnya juga diperlukan tenaga ekstra, berbeda dengan hati yang hampa dari nafsu. Inilah sensitifas hati seorang insan, yang ternyata sangat rentan akan godaan. Oleh karenanya tidak heran, jika Rasulullah SAW sering mengungkapkan doa yang cukup masyhur; “Wahai Pembolak balik hati, tetapkanlah hati kami lingdalam agama-Mu. Wahai Pemutar balik hati, tetapkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”
Nabi Muhammad SAW yang telah di jamin dapat menapakkan kakinya dalam surga, masih dengan khusyu’nya memanjatkan irama doa yang indah. Maka sebagai umat dan pengikutnya, memanjatkan doa guna kelurusan hati merupakan hal yang seyogyanya mendapatkan prioritas. Marilah sejenak kita meninggalkan berbagai keegoisan hati dalam diri kita, baik politik, golongan, jabatan, kekayaaan dan sebagainya. Gunakan jiwa dan raga yang ternyata sangat kecil dan tiada memiliki daya apapun juga di hadapan Yang Maha Perkasa. 
Galibnya, kita harus bergantung kepada Allah SWT. Mulai saat ini, mari kita bersihkan diri dan seluruh anggota badan  kita, mata, tangan, kaki, telinga dan hati dari maksiat. Bersihkan rumah kita dari kemaksiatan dan hal-hal yang dibenci Allah SWT dengan cara; Pertama, hati yang dihiasi dengan ketaqwaan, dzikir, pembersihan jiwa dan muraqabatullah (sikap hati yang selalu merasa berada dalam pengawasan Allah). Hati seperti ini, insya Allah dapat menangkal segala sifat tidak terpuji. Hati seperti ini sering juga disebut dengan hati bersih (Qolbun Salim).
Kedua, hati yang berlumuran hawa nafsu, terselimuti sifat-sifat tercela. Hati seperti inilah yang kerap kali menjadi mangsa syaitan untuk mengobrak abrik sedikit saja sinar terang yang terdapat di dalamnya. Hati akan lambat laun akan menjadi kelam, seperti malam yang tidak berbulan.
Ketiga, hati yang memiliki potensi mengikuti hawa nafsu, namun juga masih terdapat jeritan keimanan untuk berbuat kebaikan. Ia berada diantara kebaikan dan keburukan, walaupun pada akhirnya ia harus menentukan pilihan; hitam atau putih.
Sebagai hamba Allah, hendaknya kita memohon dan memasrahkan hati kita kepada Allah, agar hati ini terhindar dari goresan-goresan kemunafikan menuju keikhlasan-Nya yang abadi. Wahai manusia, wahai diri kita, wahai para pemimpin-pemimpin bangsa, marilah kita kembali mengenali hati kita beserta sensitifitasnya, agar kita dapat memiliki hati yang suci (Qolbun Salim), sebagai mana Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS serta para nabi-nabi lainnya. … Amin. Wallohu ‘alam bis-Shawab.(***)
 

Pejabat Muslim Lupa Konsep Qanaah

Oleh: Aji Setiawan 
 http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/12/21/ngwl92-pejabat-muslim-lupa-konsep-emqanaahem

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah SAW pernah berkata kepada Hakim bin Hizam, “Harta memang indah dan manis, barang siapa mengambilnya dengan lapang dada maka dia mendapatkan berkah. Sebaliknya, barang siapa menerimanya dengan kerakusan maka harta itu tidak akan memberikan berkah kepadanya layaknya orang makan yang tak pernah kenyang.”

Dunia nyata semakin menggelorakan nafsu menumpuk harta dan berebut takhta. Karenanya, kita memerlukan treatment menghadapi itu semua, salah satunya dengan mengingat kembali konsep qanaah.

Qanaah adalah merasa puas atas pemberian yang sudah diterimanya. Puas itu ditunjukkan dengan syukur dan menghindari kerakusan. Selain itu, mengekang diri dalam memburu apa yang diinginkannya karena merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh.

Qanaah merupakan salah satu jalur alternatif mengendalikan diri di tengah gemerlap dunia yang semakin menggiurkan. Inilah sikap yang harus dimiliki oleh seorang Muslim pada umumnya dan Muslim pejabat pada khususnya. Hal itu mengingat derasnya cobaan yang silih berganti menawarkan isi dunia.

Bukankah kita sudah maklum bahwa pada akhirnya nanti uang, harta, dan takhta juga akan sirna. Uang akan usang, harta akan binasa, dan jabatan akan digantikan. Mengapa diri ini selalu tertarik untuk mengumpulkannya, bukankah itu sama artinya menimbun busa yang akan lenyap diterpa udara? Orang yang cerdas pastilah lebih suka mencari sesuatu yang lebih tahan lama, sesuatu yang tidak cepat punah dan habis hanya karena pergantian masa. Adakah hal yang demikian itulah qanaah.

Kita perlu bersandar pada hadis Rasulullah SAW, “Jadilah kamu orang yang wara’, pasti kamu menjadi orang yang rajin beribadah, dan jadilah kamu orang yang qanaah, pastilah kamu menjadi orang yang banyak bersyukur (HR.Bukhari).” Janganlah salah mengartikan qanaah dengan berpangku tangan, berserah diri tanpa usaha, namun penuh harap akan rahmat Allah SWT.

Tidak, bukan demikian maksud qanaah tersebut. Manusia tidak dilarang mencari rezeki, bahkan Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha. Karena hasil usahalah yang akan menopang ibadah seseorang. Usahalah yang menjadi modal perjuangan agama. Tanpa ada hasil usaha, tidak akan ada masjid mewah, tidak ada panti asuhan, tidak ada madrasah dan mushalla. Semua itu memerlukan usaha dan harta.

Hanya saja yang perlu disadari dunia usaha bagaikan hutan belantara yang gelap tanpa arah. Apabila kita berjalan tanpa senjata dan tidak berhati-hati, akan diterkam binatang buas atau tersesat di dalamnya. Sehingga kita tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal ataupun mendapatkannya, tetapi bukan hasil yang halal. Bukankah nafsu syaitan selalu mengarahkan kita ke dalam sesat keharaman.

Oleh karena itu, marilah kita persenjatai diri dalam belantara usaha dengan qanaah, insya Allah dia akan memberikan rambu-rambu ke arah yang benar walaupun tidak disertai dengan hasil maksimal. Bila demikian, adanya usaha yang kita lakukan akan memilki nilai ibadah. Karena, segala macam kegiatan manusia yang disandarkan niatnya kepada Allah SWT akan dihitung sebagai ibadah. Ibadah tidak terbatas bertekur dan berzikir di dalam masjid saja, tetapi menyingkirkan duri dari jalanan juga termasuk ibadah.

Di sinilah kehebatan qanaah, dia tidak mengenal takut dan gentar. Apa pun kondisi yang ada harus kita hadapi dengan sabar dan penuh keyakinan. Seperti janji Allah SWT dalam surah Hud ayat 6, “Tiada sesuatu yang melata di bumi ini, melainkan di tangan Allah rezekinya.”

Memang pada kenyataannya hidup ini tidaklah selalu mulus dan mujur. Terkadang malang dan terkadang berkelok. Dan, ketika berkelok itulah tanda-tanda keberuntungan kita. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh beruntung orang yang Islam dan rezekinya pas-pasan dan dia merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” (***)

Rabu, 17 Desember 2014

Pintu Kebahagiaan



Banyak cara dilakukan manusia untuk meraih kebahagiaan. Sebagian mereka beranggapan bahwa kebahagiaan bisa diraih dengan banyaknya harta, kedudukan yang terpandang, dan popularitas yang pantang surut. Tak heran bila manusia berlomba-lomba mendapatkan itu semua, termasuk dengan menggunakan segala cara. Lantas apakah bila seseorang sudah menjadi kaya raya, terpandang, dan terkenal otomatis menjadi orang yang selalu bahagia? Ternyata tidak! Kalau begitu, bagaimana cara meraih kebahagiaan yang benar?
Sebenarnya kebahagiaan hidup yang hakiki dan ketenangan hanya didapatkan dalam agama Islam yang mulia ini. Sehingga yang dapat hidup bahagia dalam arti yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama ini. Ada beberapa cara yang diajarkan agama ini untuk dapat mencapai hidup bahagia. Allah SWT berfirman: “Siapa yang beramal shalih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)
Allah SWT berjanji untuk memberikan kehidupan yang baik baginya di dunia dan membalasnya di akhirat dengan pahala yang lebih baik daripada amalannya. Kehidupan yang baik mencakup seluruh kesenangan dari berbagai sisi. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA dan sekelompok ulama bahwa mereka menafsirkan kehidupan yang baik (dalam ayat ini) dengan rezki yang halal lagi baik (halalan thayyiban), sementara Ali bin Abi Thalib RA menafsirkannya dengan sifat qana’ah (merasa cukup), demikian pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Wahb bin Munabbih. Berkata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: “Sesunggguhnya kehidupan yang baik itu adalah kebahagiaan.”(Tafsir Ibnu Katsir, 4/421).
Pintu Kebahagiaan lainnya adalah banyak mengingat Allah (berdzikir) karena dengan dzikir kepada-Nya akan diperoleh kelapangan dan ketenangan, yang berarti akan hilang kegelisahan dan kegundah gulanaan. Allah SWT berfirman: “Ketahuilah dengan mengingat (berdzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28).
Bersandar kepada Allah dan tawakkal pada-Nya, yakin dan percaya kepada-Nya dan bersemangat untuk meraih keutamaan-Nya. Dengan cara seperti ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa serta gundah gulana. Allah SWT berfirman: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3).
Jalan menggapai pintu kebahagiaan dapat juga diperoleh dengan perhatian dengan apa yang sedang dihadapi disertai permintaan tolong kepada Allah SWT, tanpa banyak berangan-angan (terhadap perkara dunia) untuk masa yang akan datang karena akan berbuah kegelisahan disebabkan takut/ khawatir menghadapi masa depan (di dunia) dan juga tanpa terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan dan diraih. Rasulullah SAW bersabda: “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpamu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini niscaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaithan.” (HR. Muslim).
Senantiasa mengingat dan menyebut nikmat yang telah diberikan Allah SWT, baik nikmat lahir maupun batin. Dengan melakukan hal ini seorang hamba terdorong untuk selalu bersyukur kepada-Nya sampaipun saat ia ditimpa sakit atau berbagai musibah lainnya. Karena bila ia membandingkan kenikmatan yang Allah SWT limpahkan padanya dengan musibah yang menimpanya sungguh musibah itu terlalu kecil. Bahkan musibah itu sendiri bila dihadapi dengan sabar dan ridha merupakan kenikmatan karena dengannya dosa-dosa akan diampuni dan pahala yang besar pun menanti.
Selalu melihat orang yang di bawah dari sisi kehidupan dunia misalnya dalam masalah rezki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita. Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
“Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang agama ini merupakan penjagaan perkaraku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh kejelekan.” (HR. Muslim). Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab. (***)

Selasa, 16 Desember 2014

Ujian Kehidupan





Oleh : Aji Setiawan

            Hidup memang medan ujian. Setiap kita pasti mengalami kondisi buruk dan sempit sebagai bagian dari kehidupan. Tapi ujian kesempitan itu tidak berarti sebagai beban, hukuman atau kesulitan yang tak mempunyai arti di sisi Allah SWT. Ujian yang di alami setiap hamba Allah SWT, sebenarnya salah satu bentuk kebaikan Allah. Korelasi ujian dan kebaikan Allah SWT itu jelas dipaparkan Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya maka Dia menimpakan cobaan kepadanya. (HR Bukhari).
            Musibah, ujian dan kesulitan dalam hidup ini sebenarnya syarat agar kita bisa meraih sesuatu yang lebih baik, antara lain mendapatkan lipatan pahala dari Allah SWT. Berbeda dengan kenikmatan, kesempitan adalah sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu. Berat rasanya SWT akan mengganjarnya dengan surga. Sesungguhnya surga hanya bisa di raih dengan sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu manusia.
            Rasulullah SAW bersabda, “Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai (i hawa nafsu) dan sedangkan neraka itu dikelilingi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu.”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan dipertegas lagi dalam sabda beliau,”Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai (oleh hawa nafsu) dan sedangkan neraka itu dikelilingi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu.(HR. Bukhari dan Muslim).”
            Kesabaran dan keridhaan kita menerima musibah adalah kunci untuk membuka pintu surga, dan tidak ada baladan bagi orang yang bersabar dan ridha menerima takdir Allah melainkan surga. Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi, tiada suatu balasan yang lebih pantas di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika Aku telah mencabut nyawa seseorang yang disayangi-nya dari penghuni dunia ini kemudian dia bersabar atas hal itu melainkan surga”. (HR. Bukhari)
            Saat kita dilanda musibah apapun bentuknya, ketika kita terbaring sakit, merasakan kesempitan hidup, terluka, terdzalimi, kehilangan orang yang dikasihi, ingatlah bahwa Allah SWT menganugerahkan bentuk cinta-Nya kepada kita. Renungkanlah hadits Rasululullah SAW, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung seberapa beratnya ujian, Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka, barangsiapa yang ridha (menerima cobaan dan ujian itu), maka dia mendapatkan keridhaan, dan barangsiapa yang murka (tidak ridha menerima cobaan dan ujian itu), maka dia mendapat kemurkaan.” (HR. At Tirmizi)
            Kesempitan, rasa sakit secuil apapun bagi seorang Mukmin pasti memberi efek kebaikan pada dirinya. Rasulullah SAW menyebutkan, bahwa semua rasa sakit yang dialami seorang Muslim bisa menaikkan derajat orang tersebut di sisi Allah SWT, dan menghapuskan kesalahan orang tersebut. Perhatikanlah sabdanya, “Adalah seorang Muslim tertusuk duri atau yang lebih dari sekedar itu, melainkan ditetapkan baginya karena hal itu satu derajat dan menghapus pula satu kesalahan karena hal itu. (HR. Muslim)
            Lihatlah sabda Rasulullah SAW lain, yang menyebutkan,”Bencana selalu menimpa seorang Mukmin dan Mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga dia bertemu dengan Allah SWT, dalam keadaan tidak memiliki kesalahan”. (HR. At Tirmizi, Ahmad dan Al Hakim). Rasulullah SAW juga bersabda, ”Tiada seorang mukmin yang mengalami kesusahan terus menerus, kepayahan, penyakit dan juga kesedihan, bahkan sampai kepada kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan hal itu dosa-dosanya”. (HR Muslim).
            Terkadang, ujian itu juga datang melalui beragam tantangan dan pengorbanan yang kita lakukan di jalan Allah SWT, yang tidak habis-habis. Lalu kita bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah SWT. Dan hal itulah yang menyebabkan kita mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah swt. Perhatikanlah baik-baik keterangan terkait hal ini dari hadits yang disampaikan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun tiada suatu amal apapun yang bisa menghantarkannya ke kedudukan tersebut, maka Allah memberikan cobaan kepadanya secara silih berganti dengan sesuatu yang tidak dia sukai, sehingga Allah mengantarkannya untuk sampai kepada kedudukan tersebut”. (HR. Abu Ya’laa, Ibnu Hibban Al-Hakim)
            Al-Qur’an menyebutkan manusia mempunyai karakter zaluumun kaffar, yakni zalim dan kufur terhadap nikmat Allah SWT. Banyak di antara kita yang lupa menjalani kewajiban bersyukur kepada Allah swt, meski telah diberikan guyuran kenikmatan yang banyak. Malah justru yang sering dirasakan manusia adalah, menganggap diri sendiri selaku orang yang paling berat masalahnya, paling berat beban hidupnya, paling sulit kondisinya. Kita kerap merasakan mendapat musibah, kesulitan, ujian yang sungguh berat, tapi melupakan ragam kenikmatan, kemudahan, dan kemurahan Allah swt yang sangat jauh lebih banyak. Dan kenikmatan, kemudahan serta kemurahan itu bisa dirasakan ketika kondisi sudah berubah menjadi sebaliknya.
            Kenikmatan dan kemudahan sering memancing diri untuk bersikap sombong, angkuh, bangga dan ujub lantaran seseorang merasa ia bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Namun dengan adanya musibah dan ujian yang Allah SWT berikan, maka penyakit-penyakit hati seperti itu bisa sirna, lalu jiwa menjadi bersih karena rahmat dan karunia Allah. Imam Ibnul Qayyim RA mengatakan, Hati dan ruh bisa mengambil pelajaran yang bermanfaat dari penderitaan dan penyakit, kebersihan hati dan ruh itu tergantung sejauh mana penderitaan jasmani dan kesulitannya. Lebih lanjut, Ibnu Qayyim RA mengatakan, Kalau bukan karena cobaan dan musibah di dunia ini, niscaya manusia terkena penyakit hati seperti: al kibr (kesombongan), al ujub (bangga diri), dan al qaswah (keras hati). Padahal sifat-sifat itulah uang menyebabkan kehancuran bagi seseorang di dunia dan di akhirat. Di antara rahmat Allah, kadang-kadang manusia tertimpa musibah, shingga dirinya terlindungi dari berbagai penyakit hati dan terjaga kemurnian ubudiyyah (kepada Allah). Mahasuci Allah yang merahmati manusia dengan musibah dan ujian”.
            Maka, harusnya kesulitan dan musibah mendorong kita lebih merasakan kekerdilan di hadapan Allah swt. Ketika itulah kita lebih mendalami makna ketundukan, kepasrahan dan ketawakkalan kepada Allah SWT. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami timpa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan, supaya merka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri.” (QS. Al-An’am:42) (***)

Honorarium via tranfer melalui Rek Bank Mandiri KCP Purbalingga
dengan Nama:   Aji Setiawan, ST   No Rekening: 139-00-1091517-5