Sabtu, 29 September 2012

Purbalingga Bersholawat 2012



Syeikh Hisyam dan  Habib Syech Shalawatan di Purbalingga
Habib Syeikh Hisyam Al Kabbani bersama Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf (Solo) menggelar Mawlid dan Shalawatan bersama di Alun-Alun Kabupaten Purbalingga. Acara yang bertajuk “Purbalingga Bersholawat” ini pun tak pelak dipenuhi puluhan ribu pengunjung.

Kedatangan Mursyid Thariqah Naqsabandi Al Haqqani Syaikh Hisyam Al Kabbani di Indonesia dari Amerika Serikat, disambut secara semarak oleh jamma’ah umat Islam Indonesia. Sejak kedatangannya di tanah air Indonesia medio 24 September 2012, beserta rombongan Syaikh Hisyam mengadakan silaturahmi di Majid Raya Pondok Indah, Jakarta Selatan. Acara berlanjut Hari Selasa (25/9) di Zawiyah Haqqul Mubbin, Bintaro. Tak kenal lelah, Hari Rabu (26/9) ia bertemu debgan jama’ahnya di Zawiyah Nurul Haq, Cinere dan Hari Kamisnya (27/9) bersama KH Amir Hamzah mengadakan Maulid bersama di Pondok Pesantren Daarul Ishlah, Buncit, Jakarta Selatan. Menurut rencana, Syaikh Hisyam di Indonesia sampai dengan 3 Oktober 2012.
Hari Sabtu bertepatan dengan 29 September kembali Habib Syeikh Hisyam Al Kabbani bersama Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf (Solo) menggelar Mawlid dan Shalawatan bersama di Alun-Alun Kabupaten Purbalingga. Acara yang bertajuk “Purbalingga Bersholawat” ini pun tak pelak dipenuhi puluhan ribu pengunjung. Jama’ah rela berdesak-desakan memadati areal alun-alun Kab Purbalingga sejak ba’da shalat Isya.
Acara dibuka tepat pukul 21.00 dengan pembacaan Simthud Durar yang dibaca secara estafet oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, Habib Alwi bin Ali bin Alwi Al Habsyi, Habib Umar Bilfagih, Habib Ali bin Umar Al Qitban dan diiringi hadrah rebana Ahbabul Musthofa.
Berlanjut dengan sambutan pembuka oleh Wakil Bupati Purbalingga Jawa Tengah H. Sukento Ridho Marhaendrianto MM, MM yang disambung dengan mauidzah hasanah utama oleh Syaikh Hisyam Kabbani dalam berbahasa arab yang diterjamakan oleh Habib Alwi bin Ali bin Alwi bin Muhammad Husein Al Habsyi dari Surakarta.
Dalam tausyiahnya Syaikh Hisyam menyampaikan pesan cinta kepada jama’ah yang hadir.”Kita berkumpul di tempat yang mulia ini karena panggilan cinta kepada Rasulullah SAW,” kata Syaikh Hisyam.
“Wahai para kekasih Rasulullah SAW, kalian datang pada hari ini karena malam ini bersama Rasulullah SAW. Saat ini kita bershalawat bersama dalam majlis mujtama’ yang sangat besar. Malam ini tangan Allah SWT bersama kita. Allah SWT telah memuliakan Nabi Muhammad SAW dadlam kedudukan yang istimewa. Saat kita menyebut nama Rasulullah SAW, Rasulullah SAW membalas setiap shalawat yang kita sampaikan. Rasulullah SAW bersabda,’Orang yang bakhil atau kikir adalah orang yang apabila disebut namaku, orang tersebut tidak bershalawat kepadaku’.”
Syaikh Hisyam juga mengisahkan tentang keberuntungan para sahabat yang hidup semasa Rasulullah SAW.”Lihatlah para sahabat Rasul SAW yang berkumpul dalam majlis-majlis Rasulullah SAW. Mereka mencapai kedudukan mulia karena mereka duduk dan dapat memandang wajah Rasul dan Rasulullah SAW memandang wajah mereka. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat memandang wajah Rasulullah SAW.”
Kemudian Syaikh Hisyam kembali bercerita tentang kedudukan mulianya umat Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Musa AS mengatakan kedudukan yang mulia umat Nabi Muhammad SAW, Nabi Musa memohon kepada Allah SWT agar dipertemukan dengan umat Nabi. Nabi Muhammad SAW lalu mengutus Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali untuk menemui Nabi Musa AS.
Nabi Musa AS bertanya kepada Imam Ghazali,”Siapa namamu?”
Imam Ghazali menjawab,”Abu Hamid bin Muhamad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali.”
Mendapat jawaban yang sedemikian panjang, Nabi Musa AS kembali bertanya,”Kenapa engkau ini? Kenapa engkau sebut semua kakekmu, bapakmu dan moyangmu?”
Al Ghazali menjawab,”Ya Musa, bagaimana aku hendak menjawab namaku yang sedemikian panjang. Karena namaku ada Muhammad. Dengan nama itu, aku diangkat di sisi Allah SWT. Adapun engkau Ya Musa, padahal Allah SWT maha tahu. Apa yang ada di tangan kanan mu. Itu tongkat. Kenapa engkau menjawab panjang lebar?”
Musa AS menjawab,”Aku menjawab ini dengan panjang lebar, karena aku lebih nikmat. Demikianpun ketika aku menyebut namamu Abu Hamid bin Muhamad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Karena aku merasakan kenikmatan saat menyebut namamu.”
Dilanjutkan,”Inilah umat sejati yang meraih kedudukan mulia di sisi Allah SWT. Kita adalah para pencinta Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf untuk lebih banyak menyebut nama Rasulullah SAW membuat kita semakin dimuliakan oleh beliau. Rasulullah SAW hadir di tengah-tengah kita saat kita sebut namanya. Ketahuilah Allah SWT melimpahkan rahmat Nya saat kita sebut nama Rasulullah SAW. Sekali kita menyebut Rasul SAW, Allah SWT melimpahkan sepuluh rahmat kepada kita. Kita sebut sepuluh, dibalas seratus. Kita sebut seratus, Allah SWT melimpahkan seribu Rahmat-Nya dan seterusnya. Begitulah yang dialami oleh para sahabat Rasulullah SAW saat mereka menyebut Rasulullah SAW.”
Selanjutnya Syaikh Hisyam Al Kabbani menguraikan makna yang terkandung dalam kalimat basmallah. “Di dalam Basmallah ada tiga tempat (huruf mim) yang mempunyai makna tersendiri. Mim pada bismi, merupakan kedudukan sang kekasih Allah SWT yakni Ahmad. Kedua mim pada Ar-Rahman, adalah panggilan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diabadikan dalam Al Qur’an,”Sungguh Aku mengutus seorang Rasul tiada lain untuk menyebarkan rahmat bagi alam semesta (Rahmatan lil Alamin).  Dan ketiga mim pada Ar-Rahiem adalah menandakan sifat Nabi Muhammad SAW. Sungguh Nabi Muhammad SAW mempunyai sifat yang sangat penyayang kepada umat yang beriman.” 
Sealin mengupas tentang kandungan makna ayat Al Qur’an, Syaikh Hisyam tidak lupa mengajak jamaah untuk semakin mendawamkan shalawat. “Kita menjunjung tinggi Rasulullah SAW itu karena perintah Al Qur’an. Jadikan shawalat sebagai dzikir setiap saat agar hati kita tentram dan tidak lupa kita meneladani ahlak Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari,” demikian pesan terakhir Habib Syeikh.
Selepas beberapa lagu shalawat yang mendapat antusiasme dari jamaah dengan melambaikan bendera atau tangan sambil menggerakan badan ikut bershalawat bersama berbarengan dengan iringan rebana yang rampak. Habib Syech tepat pukul 24.00 menutup Purbalingga Bersholawat dengan mahalul Qiyam dan doa.(*) Aji Setiawan, Purbalingga

Sabtu, 22 September 2012

Merindu Nasionalisasi Indonesia

Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.

Manusia berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidakpeduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin "siapa tahu" dan "kalau-kalau" menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan 'wi' telah menyekunderkan 'Joko'. 'Wi' itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.
Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
"Jokowi" itu nama yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam "harus jelek" bahkan "miskin, bodoh, dan pemarah". Ditambah Bowo pula.
Kalau "Prabowo" masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum "wong Jowo".
Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus "mudik ke Jawa". Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.

Bukan kendaii manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak liniei; meskipun kita menitinya melalui garis Tinier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang balk dan benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka balk terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi "Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah."

Mencari asal.
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur "sangkan paran", bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada din sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka is yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Se-mar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, "Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di, Bumi". Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa "bukan ini Indonesia". Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
(EMHA AINUN NADJIB, KOMPAS, 22 September 2012)